Sinar matahari sore menembus jendela ruang OSIS, memberikan kehangatan pada ruang yang dipenuhi oleh siswa-siswi aktif yang sedang membahas persiapan acara sekolah. Frea duduk di barisan tengah, tepat di sebelah Lila, sahabatnya yang juga anggota OSIS. Namun, kali ini pikirannya tidak sepenuhnya berada di ruangan itu. Frea, si gadis berkulit putih yang tak pernah terlambat datang ke sekolah dan selalu dijemput oleh mamanya, tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Sejak mengenal arti cinta beberapa waktu lalu, Frea mulai menyadari betapa hatinya sering berdebar-debar saat berpapasan dengan seorang cowok kelas sebelah yang sering dilihatnya di kantin. Namanya Reza. Dia bukan tipe cowok yang mencolok, tapi bagi Frea, senyuman Reza adalah sesuatu yang sulit untuk diabaikan. Namun, keberanian Frea untuk mendekati Reza masih tertahan oleh pesan mamanya, "Frea, fokus dulu dengan sekolah, nanti soal cinta akan datang pada waktunya."
Di tengah pembahasan OSIS tentang acara perpisahan, Frea tanpa sadar mulai melamun. Bayangan Reza muncul di benaknya. Bagaimana jika Reza juga punya perasaan yang sama? Mungkinkah? Frea tersenyum kecil membayangkan jika suatu hari nanti mereka bisa berbicara lebih dekat. Namun, seketika itu juga, Frea mengingat pesan mamanya dan segera menepis bayangan tersebut, meskipun senyum tipis masih tersisa di wajahnya.
Lila yang duduk di sebelahnya menyenggol pelan lengan Frea, “Frea, kamu ngapain sih senyum-senyum sendiri? Pikirin Reza ya?”
Frea terperanjat, pipinya memerah karena malu. “Eh, enggak kok, cuma… cuma kepikiran acara perpisahan nanti aja,” jawabnya cepat sambil berusaha menghindari tatapan tajam Lila.
Namun, Lila bukan orang yang mudah ditipu. “Jangan bohong! Aku tahu kamu lagi mikirin Reza! Eh, tapi serius, kenapa kamu nggak coba ngomong sama dia? Dia kayaknya juga suka ngelirik kamu, lho.”
Frea terdiam. Lila selalu bisa melihat melalui ekspresi wajahnya, dan kali ini Frea merasa seperti sebuah buku terbuka di hadapan sahabatnya. “Aku… aku nggak berani, Lil. Lagian, mama bilang aku harus fokus dulu sama sekolah.”
Lila tertawa kecil, “Aduh, Frea… kamu terlalu nurut sih. Kan cuma ngomong biasa aja, nggak ada salahnya, kan?”
Frea kembali terdiam, merenungi kata-kata Lila. Ada rasa takut yang menjalari hatinya, takut melanggar nasihat mamanya. Namun, di sisi lain, ada rasa penasaran yang begitu besar. Bagaimana jika Reza benar-benar suka padanya?
Pertemuan OSIS berlanjut, tapi pikiran Frea terus berputar-putar. Lila yang memperhatikan sahabatnya itu bisa melihat ada pertempuran kecil di dalam diri Frea. Sebenarnya, Lila senang menggoda Frea karena dia tahu betapa manisnya sahabatnya itu saat terjebak dalam perasaan seperti ini.
Di akhir pertemuan, saat semua anggota OSIS mulai beranjak keluar, Lila menggenggam tangan Frea, “Ayo, kita ke kantin! Aku mau lihat apakah Reza ada di sana.”
Frea terkejut, “Lila, jangan! Nanti gimana kalau dia lihat aku terus...”
“Tersenyum?” Lila menyela dengan cengiran jahil. “Itu kan bagus!”
Frea tak kuasa menolak tarikkan Lila. Mereka berjalan menuju kantin, dan benar saja, Reza sedang duduk di sana bersama teman-temannya. Frea menunduk, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Namun, sebelum mereka sampai ke tempat Reza, Lila berhenti dan berbisik, “Tenang aja, Frea. Kalau kamu nggak siap ngomong, cukup berikan senyuman kecil. Siapa tahu, dia akan mulai duluan.”
Frea hanya mengangguk, menahan malu. Saat mereka melewati Reza, Lila sengaja memperlambat langkahnya. Frea merasa kakinya berat untuk melangkah, tapi dia memberanikan diri untuk menoleh sedikit dan memberikan senyuman tipis. Saat itulah, Reza menatapnya dan… membalas senyuman itu!
Frea merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Apa ini nyata? Reza benar-benar membalas senyumnya! Namun, sebelum pikirannya bisa melayang lebih jauh, Lila menariknya pergi.
Di luar kantin, Lila langsung memeluk Frea, “Kamu lihat kan? Dia balas senyummu! Sekarang, tinggal tunggu aja, siapa tahu dia akan mulai bicara duluan.”
Frea tersenyum lebar, perasaannya campur aduk antara malu, bahagia, dan sedikit gugup. “Iya, terima kasih, Lil… karena sudah mendorongku.”
“Ah, kamu ini, kalau nggak ada aku, mungkin kamu nggak akan maju-maju,” jawab Lila sambil tertawa.
Dan sore itu, Frea pulang dengan perasaan yang berbeda. Meskipun dia masih belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, setidaknya dia sudah melakukan satu langkah kecil, dan itu sudah cukup untuk membuatnya tersenyum sepanjang jalan pulang.
Saat tiba di rumah, mamanya menyambutnya seperti biasa, “Frea, gimana hari ini?”
Frea hanya tersenyum dan menjawab, “Baik, Ma… hari ini baik sekali.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar