Istirahat siang itu, Dinda dengan langkah ringan menuju kelas sahabatnya, Lia. Mereka berdua memang selalu punya topik seru untuk dibahas, terutama yang sedang hangat—drama terbaru di sekolah. Kali ini, topik utamanya adalah draktor terbaru, yang katanya lebih memukau dari yang pernah mereka bayangkan. Dinda larut dalam obrolan seru, tak terasa waktu istirahat hampir habis. Bel masuk pun berbunyi, dan Dinda buru-buru kembali ke kelasnya.
Sampai di depan pintu kelas, mata Dinda langsung tertuju pada sosok Kevin. Cowok itu baru saja keluar dari kelas dengan gaya tengilnya yang khas. Rambutnya yang sedikit berantakan, tapi justru terlihat keren, membuat jantung Dinda berdetak lebih cepat dari biasanya. Hatinya dag-dig-dug tak karuan, apalagi saat mata mereka bertemu. Sejenak, Kevin tersenyum kecil, dan seketika pipi Dinda memerah. "Wah, wasshoi... dia tampan banget," pikirnya dalam hati. Tapi, Dinda tahu satu hal: meskipun tampan, Kevin juga terkenal sedikit tengil. Itu yang membuatnya ragu, tapi perasaannya justru semakin dalam setiap kali mereka berpapasan.
Hari-hari berlalu, dan Dinda merasa dirinya makin sulit mengendalikan perasaannya. Setiap kali Kevin ada di dekatnya, dia tak bisa menahan jantungnya yang berdegup kencang. Setiap gerak-gerik Kevin seakan menghipnotisnya. Kevin memang sering tersenyum atau menyapa, tapi Dinda selalu merasa Kevin melakukan itu kepada semua orang, bukan hanya dirinya.
Suatu hari, saat sedang duduk di kantin bersama Lia, Dinda melihat Kevin sedang berbicara dengan teman-temannya di meja sebelah. Sekali lagi, jantung Dinda berdebar keras. “Kapan sih, gue berhenti salting begini?” gumamnya, merasa malu pada dirinya sendiri. Lia, yang mendengar itu, hanya tertawa kecil. "Dinda, kamu tuh lucu banget. Kevin itu ya, sama semua orang sikapnya gitu. Jangan kebanyakan berharap deh."
Kata-kata Lia terngiang-ngiang di kepala Dinda. Semakin dia memikirkan hal itu, semakin dia merasa kecil. Kenapa dia selalu berharap lebih pada Kevin? Padahal, Kevin tidak pernah memberikan sinyal yang jelas. Setiap kali Dinda berusaha mendekati Kevin, rasanya ada tembok yang tidak bisa dia tembus. Kevin memang ramah, tapi hanya sebatas itu. Tak ada hal spesial yang Kevin tunjukkan padanya.
Puncaknya, suatu sore saat pulang sekolah, Dinda melihat Kevin sedang berbicara dengan seorang cewek dari kelas lain. Cewek itu, Maya, cantik dan populer. Senyum Kevin tampak begitu tulus saat mereka bercanda bersama. Hati Dinda serasa remuk. Dia mulai merasakan bahwa Kevin mungkin bukanlah orang yang selama ini dia bayangkan. Semua harapan dan khayalan tentang Kevin tampak sia-sia.
Dinda pulang dengan perasaan kacau. Di kamar, dia merenung, bertanya-tanya kenapa selama ini dia begitu terpaku pada Kevin. Apakah hanya karena tampangnya yang tampan? Atau mungkin karena bayangan yang Dinda buat sendiri tentang siapa Kevin? Semakin dipikirkan, semakin dia merasa bodoh. Ternyata, selama ini dia hanya terperangkap dalam perasaannya sendiri, berharap menjadi seseorang yang spesial untuk Kevin, padahal Kevin bahkan tidak pernah menganggapnya istimewa.
Malam itu, Dinda menangis. Tapi di balik air matanya, ada rasa lega. Lega karena akhirnya dia sadar, Kevin bukanlah orang yang tepat untuknya. Kevin hanyalah sosok idola semu yang tak pernah benar-benar peduli. Dinda akhirnya memutuskan untuk berhenti berharap pada Kevin, berhenti membayangkan hal-hal yang tidak akan pernah terjadi.
Keesokan harinya, Dinda pergi ke sekolah dengan perasaan baru. Meski masih ada sedikit rasa kecewa, tapi dia tahu satu hal: dia tak butuh Kevin untuk merasa istimewa. Dia bisa menjadi spesial dengan caranya sendiri, tanpa harus berharap pada orang lain yang bahkan tidak pernah memperhatikannya lebih dari sekadar teman biasa.
Dan dengan senyum tipis, Dinda berjalan melewati Kevin tanpa merasakan debaran yang sama seperti sebelumnya. Hari itu, Dinda akhirnya bisa melangkah tanpa bayang-bayang Kevin di hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar