Di bawah langit senja yang merah membara, Nurul Isna memandang jauh ke arah yang berserakan di kota. Ketika matahari mulai meredup, dia merasa seolah dunia sekitarnya juga ikut memudar. Dalam pikirannya, hanya ada satu hal yang harus diperjuangkan—mencari sekolah yang tepat. Dia merasa berat hati harus meminggirkan Gusti, pacarnya yang selama ini menjadi belahan jiwanya.
"Aku harus fokus pada studi. Aku tidak bisa terus begini," gumam Nurul pada dirinya sendiri, sambil mengatur jadwal pendaftaran sekolah yang harus diurus. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya: ketakutan akan reaksi Gusti jika dia mengungkapkan niatnya untuk sementara waktu menjauh dari hubungan mereka.
Di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Gusti duduk menunggu dengan wajah penuh keraguan. Dia tahu bahwa Nurul sedang mengalami dilema besar, tetapi dia tidak tahu betapa beratnya keputusan yang dihadapi Nurul. Sementara itu, Najwa, teman SMP Nurul yang terkenal aktif sebagai pengurus OSIS, mendekati Gusti dengan senyum yang tampaknya tidak tulus.
"Gusti, lama tidak bertemu," kata Najwa, duduk di meja yang sama. "Bagaimana kabar Nurul?"
Gusti menjawab dengan nada dingin, "Dia sibuk dengan urusan sekolah. Kenapa, ada yang bisa dibantu?"
Najwa memandang Gusti dengan tatapan penuh arti. "Sebenarnya, aku mau ngobrol tentang sesuatu yang mungkin kamu belum tahu."
Gusti mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?"
"Rumor di sekolah bilang bahwa Nurul dan kamu mungkin sudah tidak bersama lagi," Najwa mengungkapkan, seolah hanya ingin memberitahukan kabar cuaca. "Aku hanya ingin memastikan."
Gusti merasa dadanya mengencang. "Rumor? Maksudmu apa?"
Najwa melanjutkan, "Aku mendengar bahwa Nurul mulai menjauh, fokus pada sekolah, dan mungkin ada seseorang yang dekat dengan dia. Aku tahu kamu baik-baik saja, tapi jika memang ada sesuatu yang perlu dibicarakan..."
Gusti tidak dapat menahan kemarahannya. "Jadi, kamu datang ke sini hanya untuk memberitahuku tentang rumor? Dan siapa orang yang kamu maksud itu?"
Najwa terlihat tenang, seolah tidak terganggu oleh kemarahan Gusti. "Aku hanya memberitahukan apa yang aku tahu. Jangan terlalu cepat marah."
Sementara itu, Nurul berdiri di depan pintu kamar dengan surat pendaftaran sekolah di tangannya. Hatinya bergejolak saat dia memasukkan surat itu ke dalam amplop dan menutupnya. Namun, sebelum dia sempat mengirimkan surat tersebut, dia mendapat pesan dari Gusti.
Gusti: "Kita perlu bicara. Temui aku di kafe tempat kita biasanya bertemu."
Nurul merasa sesuatu yang buruk akan terjadi, tetapi dia tetap pergi ke kafe tersebut. Setibanya di sana, dia melihat Gusti dan Najwa yang duduk di meja yang sama, suasana tampak tegang.
"Nurul, akhirnya kamu datang," kata Gusti dengan nada yang lebih keras dari biasanya. "Apa kamu benar-benar mau meninggalkanku untuk fokus pada sekolah? Kenapa harus sampai seperti ini?"
Nurul merasa tenggorokannya kering. "Gusti, ini bukan tentang meninggalkanmu. Ini tentang masa depanku. Aku harus membuat keputusan yang benar."
Najwa, yang duduk di sudut, tidak bisa menahan diri untuk ikut campur. "Sepertinya kamu sudah memutuskan, kan, Nurul? Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kalian, tapi aku merasa kamu tidak sepenuhnya jujur."
Nurul menatap Najwa dengan marah. "Apa maksudmu? Kenapa kamu harus ikut campur?"
Gusti berdiri dan mendekat pada Nurul dengan tatapan penuh kemarahan. "Jadi, semua ini tentang Najwa? Kamu lebih memilih dia daripada aku?"
"Ini bukan tentang Najwa," Nurul berusaha menjelaskan. "Ini tentang diriku dan masa depanku."
Najwa berdiri dan mengalihkan perhatian ke Gusti. "Gusti, aku tahu kamu marah, tapi kita semua harus jujur tentang perasaan kita."
Gusti menatap Nurul dengan mata yang penuh kekecewaan. "Jadi ini adalah akhir? Kita tidak bisa membicarakannya lebih lanjut?"
Nurul merasa air mata mulai menggenang di matanya. "Aku tidak bisa terus berlari dari kenyataan. Aku harus membuat keputusan yang benar untuk diriku sendiri."
Ketegangan di kafe itu semakin meningkat. Ketiga tokoh utama itu, dengan perasaan masing-masing, berusaha untuk saling memahami namun pada akhirnya hanya menyebabkan perpecahan lebih dalam.
Dalam hati Nurul, dia merasa ada jarak yang semakin lebar antara dia dan Gusti, antara dia dan Najwa, serta antara dirinya dan impian-impian yang harus dikejar. Sementara Gusti dan Najwa merasa terabaikan dalam putaran waktu yang penuh konflik dan keputusan sulit.
Di bawah langit merah yang sama, masing-masing dari mereka meninggalkan kafe itu dengan hati yang hancur, tetapi juga dengan pemahaman bahwa kadang-kadang, keputusan yang paling sulit adalah bagian dari perjalanan menuju masa depan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar