Aku masih ingat Amul. Teman dekatku saat SD yang kini sudah duduk di kelas 9 SMP. Dulu, aku biasa saja melihatnya, tak ada yang spesial. Dia hanya seorang teman, anak yang selalu datang ke sekolah dengan senyum ceria, rambut ikal khasnya yang membuat guruku kerap memanggilnya "Lintang," seperti tokoh dalam **Laskar Pelangi**.
Dulu, aku, Livi, yang tak tertarik sedikit pun. Pintar? Iya, Amul memang pintar, tapi waktu itu aku lebih sibuk dengan dunia kecilku—main lompat tali, kumpul dengan geng cewek, atau sekadar ngobrol hal-hal remeh. Sedangkan Amul? Dia hanyalah anak yang sering menyelesaikan soal matematika lebih cepat dari orang lain. Bagiku, itu bukan sesuatu yang menarik.
Tapi waktu, seperti biasa, punya cara licik untuk mengubah perasaan. Sekarang, di kelas 9, aku melihat Amul dengan cara yang berbeda. Mungkin karena dia tumbuh lebih tinggi, mungkin karena senyum cerianya kini terlihat lebih dewasa, atau mungkin karena rambut ikalnya yang dulu terkesan berantakan kini malah membuatnya terlihat lebih keren.
Setiap kali melihatnya berjalan di koridor sekolah, entah mengapa, aku selalu teringat masa-masa SD. Dulu, aku selalu duduk di sebelahnya saat jam makan siang. Kami sering berbagi bekal, meskipun aku selalu mengeluh karena bekalnya selalu lebih menarik dari milikku. "Livi, kamu mau nggak donat buatan mamaku?" dia sering bertanya, dan tanpa pikir panjang, aku pasti mengangguk dengan antusias.
Tapi saat itu aku tak pernah berpikir jauh. Amul hanyalah teman SD. Paling juga nanti SMP atau SMA, dia akan lenyap dari hidupku seperti teman-teman lainnya. Tapi, takdir ternyata suka bermain-main. Kami masuk SMP yang sama.
Aku ingat suatu pagi, ketika aku terlambat datang ke sekolah. Nafasku masih tersengal-sengal saat aku sampai di kelas, dan di sana, Amul duduk di bangkunya, terlihat sibuk mengerjakan tugas. Aku sempat berhenti di pintu kelas, memperhatikan bagaimana dia dengan tekun menulis. Ada sesuatu yang berbeda. Ada yang membuatku... gugup. Padahal dulu, kami sering ngobrol tanpa beban. Tapi sekarang? Rasanya dunia jungkir balik.
Hari-hari berlalu, dan aku makin sering mencuri pandang ke arah Amul. Dia tidak berubah terlalu banyak dari dulu, hanya saja, entah kenapa kini dia terlihat lebih menarik. Mungkin aku baru sadar betapa cerdasnya dia. Atau mungkin, aku baru sadar bahwa aku suka caranya tertawa, caranya bicara, bahkan caranya memiringkan kepala saat berpikir.
Yang jelas, satu hal telah berubah—perasaanku.
"Lintang," guruku masih memanggilnya begitu. Tapi kali ini, setiap kali nama itu disebut, jantungku seperti ikut berdetak lebih cepat. Tiba-tiba saja aku ingin sekali bersahabat lagi dengannya, lebih dekat seperti dulu. Dan kalau bisa... yah, lebih dari itu. Hehe.
Tapi masalahnya, bagaimana caranya memulai? Aku yang dulu cuek, kini malah jadi kikuk. Setiap kali melihat Amul, aku seperti kehilangan kata-kata. Bahkan, ketika dia sekadar tersenyum menyapaku, aku hanya bisa membalas dengan senyum gugup, sementara di dalam hatiku, rasanya ada gemuruh yang tidak bisa dijelaskan.
Satu hari, saat istirahat, aku duduk di bangku taman sekolah, merenung. Aku mengingat semua kenangan bersama Amul, bagaimana dia selalu ada di sisiku saat SD, bagaimana kami pernah tertawa dan bercanda tanpa peduli dunia. Tapi sekarang? Mengapa semuanya terasa canggung?
Tiba-tiba, Amul muncul di sampingku. "Livi, kamu lagi ngelamun ya?" tanyanya, dengan senyum khasnya.
Aku terkesiap, tidak menyangka dia akan muncul begitu saja. "Eh, nggak kok... cuma lagi inget-inget masa lalu," jawabku dengan gugup.
"Masa lalu?" Dia mengangkat alisnya, lalu duduk di sebelahku. "Masa-masa SD ya? Seru banget ya dulu."
Aku mengangguk pelan, tak berani menatap matanya. "Iya... aku inget banget. Kita sering makan bekal bareng, dan... donat buatan mamamu enak banget.
Amul tertawa kecil. "Kamu masih inget donat itu?
"Masih dong," jawabku, kali ini lebih berani menatapnya. "Kamu juga masih inget kan?"
Amul menatapku dengan senyum yang hangat, dan tiba-tiba saja, aku merasa jantungku berdetak lebih cepat. "Tentu aja aku inget, Livi. Banyak kenangan kita yang aku inget, kok."
Dan saat itu, aku sadar. Kenangan yang kusimpan selama ini bukan hanya milikku. Amul juga menyimpan kenangan yang sama, dan mungkin, perasaanku selama ini bukan hal yang aneh. Mungkin saja, ada harapan lebih di antara kami.
Siapa tahu? Dunia ini penuh kejutan, dan mungkin, "Lintang" yang dulu hanyalah teman dekat, kini bisa jadi lebih dari sekadar kenangan masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar