Nurul memandang ke luar jendela kelasnya, merenung. Ia teringat masa-masa saat bersama Gusti, remaja SMP yang sempat mengisi hari-harinya. Awalnya, Gusti adalah sosok yang menurut Nurul sempurna—tenang, adem, tidak banyak bicara. Mereka sempat menjalin hubungan, walau semuanya berjalan serba canggung. Komunikasi tak pernah lancar, dan Gusti lebih sering diam daripada bicara.
Saat mereka pacaran, Gusti sering kali terlihat sibuk dengan dunianya sendiri. Nurul mencoba membuka percakapan, tapi selalu berakhir dengan senyum tipis dari Gusti tanpa jawaban. Hingga akhirnya, Gusti menyerah. Ia mengirim pesan singkat kepada Nurul, “Maaf ya, aku rasa kita nggak cocok.”
Nurul kecewa, tentu saja. Tapi dia bukan tipe orang yang lama larut dalam kesedihan. Setahun berselang, Nurul mulai membuka diri lagi. Ia browsing di media sosial, berkenalan dengan beberapa orang baru, tapi tak ada yang benar-benar menarik hatinya. Sampai suatu hari, nama Zeva muncul dalam perbincangan teman-temannya.
Zeva, seorang lelaki yang lebih sering berada di lapangan basket ketimbang di dalam kelas. Sosoknya tinggi, berkulit sawo matang, dan terlihat atletis. Teman-teman Nurul sering bercerita tentangnya—tentang bagaimana Zeva selalu fokus bermain basket, atau bagaimana dia sering kali menghindari sorotan perhatian. Zeva pemalu, bahkan mungkin lebih pendiam daripada Gusti. Namun ada satu hal yang membedakannya dari Gusti: Zeva sangat sportif. Dia punya semangat yang tinggi dalam segala hal, terutama di olahraga.
Hari demi hari, Nurul semakin tertarik dengan Zeva. Ia memperhatikan Zeva dari kejauhan—saat Zeva berlatih basket, saat dia tertawa bersama teman-temannya, atau sekadar lewat di koridor sekolah. Setiap melihatnya, ada sesuatu yang membuat hati Nurul bergetar. Tapi sayangnya, perasaan itu tak pernah berani ia ungkapkan. Zeva terlalu jauh dari jangkauannya, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka.
Suatu sore, Nurul sedang duduk di bangku dekat lapangan basket sambil membaca buku. Pandangannya tak sengaja tertuju pada Zeva yang sedang latihan sendirian. Tiba-tiba bola basket yang dimainkan Zeva meluncur ke arahnya. Refleks, Nurul menangkap bola itu dengan kedua tangannya. Zeva berjalan mendekat.
"Maaf, bola nyasar," kata Zeva sambil tersenyum tipis, tapi jelas terlihat gugup.
“Nggak apa-apa,” jawab Nurul sambil menyerahkan bola itu kembali.
Mereka berdua saling bertatapan sejenak. Nurul ingin sekali membuka percakapan lebih lanjut, tapi lidahnya kelu. Zeva, di sisi lain, hanya tersenyum gugup sebelum kembali ke lapangan. Seperti itulah Zeva—pendiam dan pemalu, tapi ada sisi hangat yang Nurul rasakan dari pertemuan singkat itu.
Hari-hari berikutnya, Nurul semakin sering berada di sekitar lapangan basket. Ia berharap bisa bertemu Zeva lagi, meskipun hanya sekadar melihat dari kejauhan. Tapi Nurul tahu, ini bukan hal yang mudah. Zeva bukan tipe yang dengan mudah membuka diri kepada orang lain.
“Aku nggak mau kejadian sama Gusti terulang lagi,” pikir Nurul suatu hari.
Nurul tahu, jika ia ingin hubungan ini berkembang, ia harus berani mengambil langkah pertama. Tapi keberanian itu masih belum juga ia temukan.
Waktu terus berjalan, dan perasaan Nurul pada Zeva semakin mendalam. Meski mereka belum pernah berbicara lebih dari dua kalimat, Nurul merasa ada sesuatu yang spesial di antara mereka. Hanya saja, semuanya masih dalam angannya. Di balik tatapan malu-malu Zeva, Nurul tahu ada rasa yang terpendam. Tapi siapa yang akan memulai? Nurul, atau Zeva?
Sore itu, Nurul memutuskan untuk menunggu. Kadang, cinta tidak harus dipaksakan. Seperti halnya bola basket yang akhirnya sampai di tangannya, mungkin takdir juga akan membawa Zeva mendekat.
Dan sementara itu, Nurul akan tetap tersenyum setiap kali melihat Zeva bermain basket, meskipun hanya dari kejauhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar