Naema duduk di bangku taman, pandangannya terpaku pada sosok Fariz yang sedang berbicara dengan teman-temannya di kejauhan. Lelaki itu memang selalu berhasil mencuri perhatianku, pikirnya. Dengan rambutnya yang berantakan namun tetap terlihat sempurna, senyumnya yang lebar dan penuh kehangatan, Fariz selalu mampu membuat jantung Naema berdebar tanpa kendali.
Setiap kali Fariz tertawa, matanya berkilau, seolah-olah ada cahaya khusus yang hanya dia miliki. Binar di matanya itu, yang membuat Naema semakin jatuh dalam perasaannya sendiri. Ah, andai saja dia tahu apa yang kurasakan.
Naema hanya bisa menikmati kehadiran Fariz dari kejauhan. Setiap hari mereka bertemu, berbicara sekilas atau bertukar senyum singkat, tetapi tak lebih dari itu. Meski perasaannya kian kuat, Naema terlalu takut untuk mengungkapkannya. Dia selalu bertanya-tanya apakah Fariz merasakan hal yang sama. Atau mungkin ada perempuan lain yang telah berhasil menarik perhatiannya?
Saat Fariz berbalik dan tanpa sengaja menangkap pandangan Naema, mereka bertatapan sejenak. Naema tersentak, tak siap dengan kontak mata itu, tetapi Fariz tersenyum, senyum yang selalu membuat Naema merasa seolah dunia berhenti sejenak. Senyum itu cerah, menawan, dan begitu tulus. Seolah mengundang Naema untuk turut merasakan kebahagiaan yang Fariz rasakan.
Naema menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. Kenapa aku selalu seperti ini? batinnya.
Ketika dia mengangkat kepala lagi, Fariz sudah melangkah mendekat, senyumnya tetap tak berubah. Naema merasakan dadanya berdegup lebih kencang. Apa yang dia lakukan? Kenapa dia ke sini?
“Hei, Naema!” Fariz menyapanya, suaranya selalu ceria dan penuh semangat. "Lagi sendiri aja?"
Naema menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Iya, lagi santai aja. Kamu gimana?"
“Ah, sama aja. Cuma lagi butuh udara segar setelah kelas tadi,” jawabnya sambil duduk di sebelah Naema, tanpa ada jeda ragu.
Kehangatan tubuhnya terasa begitu dekat, membuat Naema semakin gugup. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan melihat ke sekitar taman, tetapi matanya selalu kembali ke Fariz.
Fariz tampak santai, mengayunkan kakinya ringan sambil memandangi langit biru di atas mereka. "Kamu suka banget duduk di taman sini, ya?" tanya Fariz tiba-tiba.
Naema mengangguk pelan. "Iya, adem di sini. Aku suka suasananya."
Fariz mengangguk, tersenyum lagi. "Aku suka cara kamu menikmati hal-hal kecil, Naema. Kamu selalu kelihatan tenang."
Naema terkejut mendengar kalimat itu. Dia memperhatikan? pikirnya. Jantungnya berdegup makin kencang, tetapi dia mencoba tersenyum. “Oh, gitu ya? Aku nggak nyangka kamu bakal ngeh.”
Fariz tertawa kecil. "Ya jelas lah, aku perhatiin kamu sering banget di sini. Tapi kamu selalu kelihatan asyik sendiri, jadi aku nggak mau ganggu."
Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan yang justru terasa nyaman. Naema, yang biasanya canggung saat berhadapan dengan Fariz, merasa anehnya kali ini dia bisa lebih tenang. Mungkin karena kehangatan di sekelilingnya, atau mungkin karena kali ini, Fariz yang mendekat terlebih dulu.
“Naema,” suara Fariz memecah keheningan, sedikit lebih serius dari sebelumnya. “Aku mau tanya sesuatu.”
Naema menoleh, hatinya langsung was-was. "Tanya apa?"
Fariz terlihat ragu sejenak, tetapi kemudian menghela napas dan berkata, "Aku tahu ini mungkin agak mendadak, tapi aku sudah lama mikirin ini. Kamu… kamu merasa nyaman nggak sih tiap kali kita bareng?"
Naema mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaannya. “Nyaman gimana maksudnya?”
Fariz menggaruk belakang kepalanya, tampak sedikit gugup. “Ya, maksudku… kamu sering senyum tiap kali kita ketemu, tapi aku nggak tahu apakah kamu merasa sama seperti yang aku rasakan.”
Naema merasa jantungnya hampir berhenti. Apakah ini yang kupikirkan? Apakah Fariz juga punya perasaan yang sama? Dia menatap Fariz, berusaha membaca ekspresi wajahnya, tetapi Fariz terus menatap tanah, seolah menunggu jawaban yang mungkin sulit diterimanya.
Dengan suara pelan, Naema akhirnya berkata, "Fariz… aku merasa sangat nyaman tiap kali kita bersama. Malah, aku sering banget mikirin tentang kamu."
Fariz akhirnya mendongak, menatap Naema dengan mata yang berkilau. “Serius?”
Naema mengangguk pelan. "Iya. Aku juga selalu berharap kamu merasakan hal yang sama."
Senyum Fariz melebar, senyum yang begitu menawan dan tulus, membuat Naema merasa begitu lega. "Naema," katanya pelan, "Aku sudah lama nunggu kamu ngomong gitu. Aku juga udah lama suka sama kamu, tapi aku nggak tahu gimana cara bilangnya."
Naema terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Fariz juga suka padaku? Hatinya meledak dengan kebahagiaan, seolah-olah semua ketakutannya selama ini menghilang dalam sekejap.
Fariz meraih tangan Naema, menggenggamnya lembut. "Aku harap kita bisa terus kayak gini, bareng-bareng. Nggak perlu buru-buru, tapi aku pengen kita saling jaga satu sama lain."
Naema mengangguk, senyumnya lebar, tak bisa disembunyikan lagi. "Aku juga pengen, Fariz."
Dan di bawah langit biru sore itu, dengan tangan mereka saling menggenggam, Naema dan Fariz tahu bahwa mereka akhirnya menemukan apa yang selama ini mereka cari—seseorang yang bisa membuat mereka merasa nyaman, bahagia, dan saling melengkapi. Binar di mata Fariz, yang selalu membuat Naema jatuh hati, kini lebih berarti dari sekadar senyuman indah. Itu adalah cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar