Sekar merentangkan kakinya di sofa sambil menatap layar laptop yang menampilkan drama Korea favoritnya, *Goblin*. Sudah hampir lima jam dia duduk di sana, tenggelam dalam kisah cinta yang tragis namun romantis.
“Hah, gombal banget sih! Tapi kok bisa bikin baper,” gumamnya sambil mengingat kalimat yang baru saja didengarnya di episode lima. Dia tertawa sendiri, membayangkan bagaimana kalau dia ada di posisi si pemeran utama perempuan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nama Angga muncul di layar. Sahabatnya sejak SMP itu sudah lama tidak menghubunginya. Sekar tersenyum kecil. Angga, orang yang selalu ada untuknya, tetapi tidak pernah ia sadari lebih dari sekadar teman.
“Sek, lagi ngapain?” tanya Angga di telepon, suaranya selalu ceria seperti biasa.
“Lagi marathon 'drakor' lah. Goblin lagi seru banget! Kamu harus nonton, Angga!” Sekar berseru penuh semangat.
“Aku? Nonton 'drakor' ? Hahaha, yang bener aja,” jawab Angga sambil tertawa.
“Eh, jangan salah! Kamu mungkin suka. Ada adegan seru tadi, kalimatnya kayak, ‘hatiku bergetar seperti pendulum, dan aku tahu dia cinta pertamaku.’” Sekar mengulang kalimat itu dengan dramatis, membuat Angga tertawa.
“Haha, gombal banget. Kamu cocok banget deh kalo jadi aktris drama Korea, Sek.”
Sekar tertawa mendengar candaan itu, tetapi di dalam hati, ada sesuatu yang mengusik. Bagaimana kalau kalimat itu bukan cuma dari drama, tapi ada seseorang yang benar-benar membuat hatinya bergetar? Namun, siapa?
“Eh, Angga, kapan-kapan kita nonton bareng ya. Siapa tahu kamu ketagihan,” kata Sekar mengalihkan topik, meski hatinya mulai bingung sendiri.
Angga menghela napas pelan. “Sek, sebenarnya aku mau ngomong sesuatu.”
Sekar bisa mendengar nada serius di balik suara Angga, membuatnya tiba-tiba waspada. "Apaan nih, serius banget suaranya."
"Besok aku pindah, Sek."
Sekar terdiam sejenak, bingung. “Pindah? Ke mana?”
“Ke luar kota. Aku dapat kerja di Bandung. Sudah fix, aku berangkat besok pagi.”
Sekar tertegun. "Kok mendadak banget? Kenapa gak bilang dari kemarin-kemarin?"
"Maaf, aku juga baru dapat kepastian kemarin. Aku nggak mau bikin kamu khawatir."
Hati Sekar berdebar, seperti ada yang jatuh tiba-tiba. Angga, yang selalu ada di sisinya selama ini, akan pergi? Dan selama ini dia tidak pernah benar-benar menghargai keberadaan Angga. Apakah ini yang disebut cinta? Atau cuma perasaan takut kehilangan sahabat?
“Kita masih bisa ketemu kan? Kamu sering balik ke Jakarta kan?” tanya Sekar, mencoba menenangkan hatinya.
“Ya, mungkin. Tapi nggak bakal sesering dulu,” jawab Angga lirih.
Malam itu, Sekar tak bisa tidur. Pikirannya terus berputar pada Angga, pada semua kenangan mereka, dan pada perasaan yang tak pernah ia sadari selama ini. Apakah Angga cinta pertamanya? Apakah hatinya juga bergetar seperti pendulum setiap kali Angga ada di dekatnya?
Besok pagi, Sekar nekat. Dia mengambil kunci mobil dan melaju menuju stasiun, berharap masih bisa mengejar Angga sebelum kereta berangkat.
Saat dia tiba, kereta sudah hampir meninggalkan peron. Sekar berlari sekuat tenaga, berusaha mencari sosok Angga di tengah kerumunan.
“Angga!” Sekar berteriak, napasnya terengah-engah.
Angga, yang baru saja masuk ke dalam kereta, menoleh. Wajahnya terkejut melihat Sekar yang berdiri di ujung peron, tampak bingung dan cemas.
Sekar tak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba, semua kalimat yang ingin ia sampaikan menghilang begitu saja. Haruskah dia bilang bahwa hatinya bergetar? Bahwa mungkin Angga adalah cinta pertamanya?
“Sek, ngapain kamu di sini?” tanya Angga sambil mendekat ke pintu kereta.
Sekar hanya bisa menatap Angga dalam-dalam, seperti menunggu kata-kata muncul dari pikirannya. Akhirnya, dengan suara pelan, dia berkata, “Aku… aku nggak mau kamu pergi tanpa tahu sesuatu.”
Angga mengernyitkan dahi. “Apa itu, Sek?”
Sekar menelan ludah, hatinya berdebar kencang. “Aku... aku nggak tahu kenapa, tapi sejak kamu bilang akan pergi, aku merasa ada yang hilang. Kayak, kamu lebih dari sekadar teman buat aku.”
Angga terdiam sejenak, tampak terkejut. Kereta mulai bergerak pelan, membuat Angga semakin jauh dari tempat Sekar berdiri. Dia menatap Sekar dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Angga! Kamu cinta pertamaku!" Sekar akhirnya berteriak, tak peduli lagi dengan orang-orang di sekitarnya.
Angga tersenyum kecil dari balik jendela, kemudian mengangkat tangannya untuk melambai. "Sek, kamu juga selalu jadi sesuatu yang spesial buat aku. Tapi, kita lihat aja nanti, ya?"
Sekar berdiri terpaku, menatap kereta yang semakin menjauh. Meskipun jawaban Angga tidak langsung memberinya kepastian, dia tahu, setidaknya, perasaan itu tak hanya satu arah.
Dalam hatinya, Sekar tahu bahwa cinta pertamanya mungkin tidak berakhir seperti di drama Korea. Tapi kali ini, dia siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
Dan mungkin, suatu hari nanti, ketika dia menonton episode terakhir dari *Goblin*, Angga akan ada di sebelahnya, tertawa dan menggombal seperti biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar