Jumat, 06 September 2024

Pecahnya Rasa

 


Hari itu Nurul merasa sangat lelah, tapi bukan lelah fisik. Rasanya seolah seluruh tubuhnya tak bisa lagi bergerak dengan normal. Sebuah perasaan berat menghimpit dadanya. Pikirannya tak bisa fokus ke hal lain, hanya satu hal yang memenuhi benaknya—Gusti telah membohonginya.

Semua dimulai ketika Zica, sahabat baik Nurul, datang dengan wajah serius dan mata penuh perhatian. “Nurul, aku harus ngomong sesuatu sama kamu,” kata Zica dengan nada hati-hati.

Nurul menatap Zica dengan penasaran. “Apa, Ci?”

“Gusti… dia bilang sayang sama Thalita.”

Kata-kata itu menghantam Nurul seperti badai. Hening sejenak melingkupi mereka berdua. Jantung Nurul berdegup kencang, sementara wajahnya tiba-tiba memanas.

“Kamu dengar sendiri?” Nurul nyaris tak percaya.

Zica mengangguk pelan. “Aku dengar sendiri pas lewat di depan mereka tadi siang. Mereka lagi ngobrol berdua di taman sekolah. Aku nggak bisa tinggal diam, Nurul. Kamu berhak tahu ini.”

Nurul tak berkata-kata. Di dalam kepalanya, kenangan bersama Gusti melintas—perhatian kecil yang ia berikan, senyum malu-malu, janji-janji yang pernah mereka ucapkan. Semuanya mendadak terasa palsu. Bagaimana bisa Gusti mengkhianati perasaannya? Dia percaya pada Gusti, meski hubungan mereka sempat canggung, dia selalu merasa ada kejujuran di balik sikap diamnya.

“Mungkin kamu salah dengar,” Nurul mencoba mencari alasan, berharap Zica salah.

“Aku nggak salah dengar, Nurul,” Zica menatap Nurul dengan penuh rasa iba. “Aku nggak mau kamu dibohongin lebih lama.”


***

Keesokan harinya, Nurul datang ke sekolah dengan hati yang sudah dipenuhi amarah. Ia melihat Gusti di koridor, sedang berbicara dengan teman-temannya, termasuk Thalita. Tanpa ragu, Nurul menghampiri mereka.

“Gusti, aku mau ngomong sama kamu,” kata Nurul dengan nada tegas.

Gusti terkejut melihat Nurul yang biasanya tenang kini berdiri di depannya dengan tatapan penuh kemarahan. “Ada apa, Nurul?”

“Benar nggak kamu bilang sayang ke Thalita?” Nurul langsung pada inti pembicaraan, tanpa basa-basi.

Seketika suasana menjadi tegang. Teman-teman Gusti, termasuk Thalita, terdiam menunggu reaksi. Gusti tampak gugup, sesaat mencari kata-kata yang tepat. “Nggak seperti itu, Nurul…”

“Jadi kamu nggak bilang?” Nurul mendesak. “Zica dengar sendiri, Gusti! Kamu bilang sayang ke Thalita! Apa maksudnya itu?”

Thalita yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. “Nurul, ini salah paham. Kita cuma ngobrol biasa kok. Gusti cuma bilang aku sahabatnya…”

“Sahabat?” Nurul mendengus sinis. “Kamu pikir aku bodoh? Aku tahu kalian lebih dari itu!”

“Aku nggak pernah nyakitin kamu, Nurul,” Gusti akhirnya bicara, meski suaranya bergetar. “Aku sama Thalita cuma temenan. Aku sayang sama kamu…”

“Tapi kamu juga bilang sayang ke dia, kan?!” Nurul tak bisa lagi menahan emosinya. Matanya berkilat marah, rasa sakit yang tertahan selama ini kini meluap begitu saja. “Kamu pikir itu nggak menyakitkan buat aku? Kamu buat aku merasa kayak orang bodoh!”

Gusti terdiam. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tatapan Thalita pun berubah, seolah ia merasa bersalah berada di tengah-tengah konflik ini. Sementara itu, teman-teman mereka hanya menyaksikan dengan mata terbuka lebar, tak berani ikut campur.

Melihat Gusti yang hanya diam, Nurul merasa hatinya benar-benar hancur. Orang yang ia percaya sepenuh hati kini membuatnya merasa tak berharga. Tanpa bicara lebih lanjut, Nurul berbalik dan pergi meninggalkan mereka semua. Zica yang sejak tadi menyaksikan dari jauh, segera berlari menyusul.

“Nurul!” Zica mencoba mengejar, tapi Nurul terlalu cepat. 

Malam itu, Nurul duduk di kamar dengan mata sembab. Amarah dan kekecewaan menyelimuti hatinya. Ia merasa sudah cukup—cukup dengan kebohongan, cukup dengan Gusti. Sementara di luar sana, dunia mungkin terus berputar, tapi di dalam hatinya, ada perang yang belum selesai.

Namun satu hal yang Nurul tahu, ia tidak akan membiarkan orang lain menyakiti hatinya lagi. Persahabatannya dengan Zica memberinya kekuatan. Bersama sahabatnya itu, Nurul akan bangkit. 

Dan esok hari, Nurul akan kembali berdiri dengan kepala tegak, meski tanpa Gusti di sisinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Haiiii Opa

Di sebuah sekolah menengah pertama yang penuh semangat, ada seorang gadis berusia 14 tahun bernama Oche. Cerdas, tekun, dan penuh ambisi. ...