Senin, 02 September 2024

Di Balik Senyuman Afifah

 




Afifah, yang sering dipanggil begitu oleh teman-temannya, adalah siswa kelas 9 di sebuah SMP favorit di kotanya. Ia dikenal sebagai pribadi yang ceria, selalu ramah, dan mudah bergaul. Namun, di balik senyumnya, ada sesuatu yang berubah dalam beberapa hari terakhir.

Semua berawal dari sahabatnya, Nisa. Mereka sudah berteman sejak kelas 7, selalu bersama dalam suka dan duka. Nisa adalah tempat Afifah berbagi cerita, baik tentang kebahagiaan kecil sehari-hari maupun kekecewaan yang tak bisa ia ungkapkan kepada orang lain. Nisa selalu ada, sampai satu kejadian mengubah segalanya.

Hari itu, sepulang sekolah, Afifah menerima pesan dari Nisa. Isi pesannya sangat singkat, hanya sebuah kalimat, tapi cukup untuk membuat hati Afifah berdebar.

"Kita perlu bicara."

Afifah langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mereka jarang sekali menggunakan nada serius seperti itu. Dengan perasaan campur aduk, ia segera membalas pesan tersebut dan setuju untuk bertemu di taman dekat sekolah.

Saat tiba di taman, Nisa sudah duduk di bangku favorit mereka. Wajahnya yang biasanya ceria terlihat muram, dan itu membuat Afifah semakin cemas.

"Ada apa, Nis?" tanya Afifah, mencoba tersenyum meski hatinya gelisah.

Nisa menghela napas panjang sebelum menjawab. "Afifah, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi, aku nggak bisa terus terang ke kamu selama ini."

Afifah merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Tentang apa?"

Nisa menatap mata Afifah dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Tentang Reza."

Reza adalah teman sekelas mereka, sosok yang diam-diam disukai oleh Afifah. Selama ini, ia hanya berani menceritakan perasaannya kepada Nisa, sahabat yang paling ia percayai. Tapi dari cara Nisa bicara, Afifah tahu ada sesuatu yang tidak beres.

"Apa maksudmu?" tanya Afifah, suaranya hampir berbisik.

Nisa menggigit bibirnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku… Aku sudah lama menyukai Reza, Fih. Aku nggak bisa menahan perasaan ini lebih lama lagi. Aku tahu ini salah, tapi aku nggak bisa bohong ke kamu lagi."

Seakan dihantam gelombang besar, Afifah merasa dunianya runtuh seketika. Hatinya sakit, dan air mata yang berusaha ia tahan mulai menggenang di pelupuk mata. Sahabat yang selama ini selalu menjadi tempatnya bersandar, ternyata diam-diam menyimpan perasaan yang sama terhadap orang yang ia sukai.

Afifah berusaha merangkai kata, namun tak ada yang keluar dari mulutnya. Ia merasa tertipu, dikhianati oleh orang yang paling ia percaya. Mengapa Nisa tidak pernah mengatakannya sejak awal? Mengapa harus sekarang, ketika Afifah sudah terlalu dalam menyimpan perasaan itu?

"Aku… Aku nggak tahu harus bilang apa," ucap Afifah akhirnya, suaranya bergetar.

Nisa menunduk, merasa bersalah. "Maafkan aku, Fih. Aku tahu aku salah. Aku nggak bermaksud menyakiti kamu. Tapi perasaan ini terlalu kuat, dan aku nggak bisa mengabaikannya lagi."

Afifah ingin marah, tapi yang ia rasakan hanyalah kesedihan yang mendalam. Ia merasa kehilangan, bukan hanya karena perasaannya pada Reza, tetapi juga karena pengkhianatan dari sahabat yang selama ini ia percaya.

Setelah momen panjang yang penuh keheningan, Afifah akhirnya mengangguk pelan. "Aku nggak tahu apakah aku bisa menerima ini, Nis. Tapi aku akan mencoba untuk ikhlas."

Nisa menatapnya dengan air mata di mata. "Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai sahabat, Fih."

Afifah tersenyum tipis, meski hatinya terasa sakit. "Aku juga nggak mau, tapi aku butuh waktu."

Setelah pertemuan itu, hubungan mereka berubah. Afifah merasa ada dinding yang tak terlihat di antara mereka, sesuatu yang membuatnya sulit untuk kembali seperti dulu. Ia berusaha menerima kenyataan ini dengan ikhlas, tapi setiap kali melihat Nisa, rasa sakit itu kembali menyeruak.

Hari demi hari berlalu, dan Afifah mencoba fokus pada pelajaran dan kegiatan lainnya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa luka ini belum sepenuhnya sembuh. Meskipun ia berusaha untuk mengikhlaskan semuanya, bayangan Reza dan pengkhianatan Nisa terus menghantui pikirannya.

Namun, satu hal yang Afifah pelajari dari semua ini adalah bahwa ikhlas bukan berarti harus melupakan, melainkan menerima bahwa tidak semua hal akan berjalan sesuai keinginan. Meskipun sulit, ia percaya bahwa waktu akan menyembuhkan luka hatinya, dan mungkin suatu hari nanti, ia dan Nisa bisa kembali seperti dulu—atau setidaknya, menemukan jalan untuk melanjutkan hidup masing-masing tanpa rasa sakit yang sama.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makan Tuh Janji

  Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan waja...