Senja telah jatuh ketika Arya mengangkat kepalanya dari buku catatan, matanya teduh, namun menyimpan sesuatu yang tak dapat Naema tebak. Hatinya berdebar, seperti biasa, setiap kali mereka tenggelam dalam obrolan panjang. Kali ini, di sebuah kafe kecil di pinggir kota, mereka kembali duduk berhadapan, meja kecil yang memisahkan mereka terasa terlalu jauh bagi Naema.
"Kamu tahu, aku selalu suka caramu menyusun kata," Naema membuka pembicaraan, berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak tidak karuan.
Arya tersenyum, senyum yang begitu familiar tapi tetap saja membuat Naema merasa ada ribuan kupu-kupu dalam perutnya. "Kamu selalu tahu bagaimana membuat obrolan kita menarik, Ne," jawab Arya dengan nada rendah.
Naema hanya bisa menunduk, menatap cangkir kopi yang sudah setengah kosong di depannya. Seringkali, dia ingin mengungkapkan lebih, tentang perasaannya, tentang bagaimana dia tak pernah bisa berhenti memikirkan tatapan mata Arya yang dalam dan penuh misteri itu. Tapi setiap kali kata-kata itu mendekati bibirnya, dia menariknya kembali, takut merusak semua yang sudah ada.
"Mungkin... ada sesuatu yang ingin aku sampaikan, Arya," kata Naema perlahan, mencoba memecah kebekuan.
Arya mengangkat alis, menyilangkan lengannya di atas meja. "Apa itu? Kamu selalu bisa bilang apa saja ke aku."
Naema menelan ludah, merasa lidahnya mendadak kelu. "Ah, tidak. Lupakan. Aku hanya sedang bingung dengan perasaanku sendiri."
Arya tersenyum tipis, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. "Put, kamu tahu? Aku sudah lama ingin bilang sesuatu juga."
Jantung Naema semakin berdebar. Apakah Arya akan mengatakan sesuatu yang selama ini Naema harapkan?
Tiba-tiba, ponsel Arya berdering. Dia melihat nama di layar dan wajahnya berubah. "Maaf, aku harus angkat telepon ini. Ini penting," ucapnya, kemudian berdiri dan melangkah menjauh, meninggalkan Naema dengan segudang tanya.
Naema memperhatikan punggung Arya yang menjauh, mencoba menenangkan hatinya yang mulai diliputi kecemasan. Siapa yang menelepon? Mengapa raut wajahnya berubah begitu?
Tak lama, Arya kembali. Ekspresinya datar, senyumnya tak lagi tergambar. "Naema, aku... ada sesuatu yang harus aku selesaikan dulu. Aku nggak bisa lama di sini."
Hati Naema serasa jatuh ke lantai. "Oh, oke. Apa ada masalah?"
Arya hanya menggeleng pelan, "Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Aku akan cerita lain kali."
Malam itu berakhir lebih cepat dari biasanya. Naema merasa ada sesuatu yang tidak beres, namun dia tidak berani bertanya lebih jauh. Sesampainya di rumah, Naema menulis di buku diarinya seperti biasa.
"Teduhnya mata Arya selalu berhasil membuatku tenang. Namun kali ini, ada badai di sana yang tidak mampu kupecahkan. Apa yang kau sembunyikan, Arya?"
Hari-hari berlalu, dan Arya semakin jarang menghubungi. Naema merasa dunianya yang penuh dengan obrolan panjang dan tatapan dalam dari Arya perlahan menghilang. Hingga suatu malam, Arya mengirim pesan.
"Ne aku harus jujur. Ada seseorang yang kembali ke hidupku. Seseorang dari masa lalu yang belum sepenuhnya selesai. Aku harus membereskan ini sebelum aku bisa melanjutkan dengan siapapun, termasuk kamu."
Nama membaca pesan itu berulang kali. Hatinya remuk. Arya, lelaki dengan tatapan teduh dan tutur kata yang selalu ia kagumi, ternyata menyimpan sesuatu yang tak pernah ia duga.
Beberapa minggu berlalu tanpa kabar dari Arya. Nama berusaha kembali seperti biasa, meski sulit. Namun, suatu sore yang tenang, ketika dia sedang duduk di meja belajarnya, sebuah surat tiba.
"Untuk Naema, pemilik hati yang tak pernah aku sadari betapa berharganya. Aku ingin kau tahu, tidak ada satu pun percakapan kita yang tidak berkesan bagiku. Namun, sebelum aku benar-benar bisa kembali, aku harus menyelesaikan kisah lama yang tertinggal. Maaf, kalau aku belum bisa ada untukmu sekarang. Tapi, jika nanti kita diberi kesempatan lagi, aku ingin kita bisa memulai dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu."
Putri membaca surat itu dengan hati yang sedikit lebih ringan. Meskipun terasa pedih, setidaknya kini dia tahu, Arya bukan menjauh karena dia. Ada hal yang memang harus diselesaikan.
Senja berikutnya, Putri duduk di kafe yang sama, kali ini sendiri. Di balik semua rasa sakit, dia menyadari satu hal—kadang, tidak semua hal harus segera selesai. Ada kalanya, kita harus memberi ruang pada waktu untuk menyembuhkan, dan mungkin, suatu hari nanti, Arya akan kembali dengan mata teduhnya, tanpa ada lagi badai di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar