Sekar adalah gadis yang selalu ceria, senyumnya mudah menyebar, dan tawa riangnya sering terdengar di setiap sudut sekolah. Ia bersahabat dengan Thalita, teman sekelas yang sudah seperti saudara baginya. Mereka berdua selalu berbagi cerita, baik yang ringan hingga yang mendalam. Namun, ada satu cerita yang Sekar simpan erat-erat dalam hatinya, sebuah cerita yang berharap suatu hari bisa tertulis seperti kisah Thalita.
Kisah Sekar berpusat pada sosok Vina, teman sekelasnya saat kelas 8, yang memiliki seorang kakak laki-laki bernama Rangga. Rangga saat ini duduk di bangku SMA dan menjadi idola banyak siswi di sekolahnya. Bagi Sekar, Rangga bukan hanya sekadar kakaknya Vina, tetapi juga sosok yang sering hadir dalam mimpinya.
Sekar pertama kali bertemu Rangga saat ia dan Thalita berkunjung ke rumah Vina untuk mengerjakan tugas kelompok. Saat itu, Rangga hanya menyapa mereka sekilas, tetapi ada sesuatu dalam caranya tersenyum yang membuat Sekar tidak bisa melupakannya. Sejak saat itu, setiap kali Sekar melihat Vina, yang terbayang di kepalanya adalah sosok Rangga.
Sampai pada suatu hari, Sekar memberanikan diri untuk menceritakan perasaannya kepada Vina. Mereka sedang duduk di bangku taman sekolah, menunggu bel istirahat berakhir.
"Vin, aku mau cerita sesuatu," Sekar membuka percakapan dengan nada ragu.
Vina, yang sedang sibuk dengan bukunya, menoleh. "Apa tuh, Sek? Serius amat kayaknya."
Sekar menggigit bibirnya, merasa canggung. "Ini tentang kakakmu, Rangga."
Mendengar nama kakaknya disebut, Vina mengangkat alisnya, sedikit terkejut. "Kak Rangga? Memangnya kenapa?"
Sekar menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku... aku suka sama dia, Vin. Dan aku sering memimpikan dia jadi pacarku."
Vina terdiam sejenak, memandang Sekar dengan tatapan campur aduk antara kaget dan bingung. "Kamu serius, Sek?"
Sekar mengangguk, menatap Vina dengan penuh harap. "Iya, Vin. Aku suka sama kakakmu sejak pertama kali kita ke rumahmu. Aku tahu ini mungkin aneh, tapi aku nggak bisa berhenti memikirkannya."
Vina menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. "Sekar, aku nggak tahu harus bilang apa. Aku nggak pernah ngira kalau kamu bisa suka sama Kak Rangga."
Sekar menunduk, merasa sedikit malu. "Aku cuma... ya, aku pengen kamu bisa bantu aku. Paling nggak kasih tahu aku, Kak Rangga punya perasaan yang sama atau nggak."
Vina terdiam, memikirkan permintaan Sekar. Di satu sisi, ia merasa kasihan melihat sahabatnya berharap seperti ini. Tapi di sisi lain, ia tahu kakaknya bukan tipe orang yang mudah terbuka tentang perasaannya.
"Kalau aku ngomong ke Kak Rangga, dia pasti bakal heran, Sek," kata Vina akhirnya. "Tapi aku bisa coba tanya-tanya dikit, mungkin aja dia ada perasaan yang sama."
Sekar tersenyum lebar, merasa sedikit lega. "Serius, Vin? Kamu bakal tanya ke dia?"
Vina mengangguk. "Iya, aku bakal coba. Tapi kamu jangan terlalu berharap dulu ya. Kak Rangga itu nggak gampang dipahami."
Hari-hari berlalu, dan Sekar menunggu dengan penuh harap. Setiap kali bertemu Vina, hatinya selalu berdebar, berharap mendengar kabar baik. Hingga suatu sore, saat mereka pulang bersama dari sekolah, Vina akhirnya berbicara.
"Jadi, aku udah ngomong sama Kak Rangga," kata Vina, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.
Sekar langsung menoleh, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Terus? Apa yang dia bilang?"
Vina menunduk, tampak berpikir keras untuk mencari kata-kata yang tepat. "Dia bilang... dia belum pernah mikirin kamu kayak gitu, Sek. Dia bilang kamu teman baik buat aku, tapi dia nggak yakin bisa punya perasaan yang sama."
Perasaan Sekar langsung terjun bebas, seperti langit runtuh di atasnya. Harapan yang ia bangun selama ini, tiba-tiba lenyap begitu saja. Namun, ia berusaha tetap tersenyum, meski hatinya terasa hancur.
"Oh... ya nggak apa-apa, Vin. Mungkin aku emang cuma terlalu berharap," jawab Sekar pelan.
Vina menepuk bahu Sekar dengan lembut. "Maaf ya, Sek. Aku nggak bermaksud bikin kamu sedih."
Sekar mengangguk, mencoba menelan rasa sakit itu. "Aku tahu, Vin. Terima kasih udah mau nanya ke dia."
Malam itu, Sekar menulis di buku hariannya, menumpahkan segala perasaan yang tak bisa ia ungkapkan kepada siapapun. Ia menulis tentang mimpinya yang kandas, tentang harapan yang kini hanya menjadi kenangan, dan tentang bagaimana ia harus menerima kenyataan ini.
Meski perasaannya pada Rangga tidak terbalas, Sekar belajar sesuatu yang penting dari kejadian ini. Cinta memang tidak selalu berjalan sesuai keinginan, tapi itu tidak membuatnya menjadi kurang berharga. Ia akan terus melangkah, meski dengan hati yang terluka, dan suatu hari nanti, ia yakin akan menemukan seseorang yang bisa menghargai perasaannya.
Sekar menutup buku hariannya, memandang ke luar jendela. Malam yang tenang mengingatkannya bahwa tidak semua mimpi harus terwujud, tetapi setiap mimpi yang pernah ada tetap memiliki tempat istimewa di hatinya. Dan dengan senyum tipis, ia akhirnya mengikhlaskan perasaannya, siap untuk melangkah maju tanpa beban di hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar