Natasha duduk di tepi tempat tidur, menatap lembaran kosong di buku diarinya. Jemarinya perlahan-lahan mulai menari di atas kertas, menuliskan sesuatu yang berdenyut dari hatinya. Pikiran tentang Indra, cowok yang diam-diam mencuri perhatiannya setiap hari, terus berputar di kepalanya.
"Indra..." gumam Natasha pelan sambil memikirkan wajahnya. Cowok itu, dengan kulitnya yang putih bak salju dan mata bulan sabit yang selalu membuat Natasha tersenyum setiap kali mereka bertemu. Dia seperti tak nyata, pikir Natasha. Setiap kali melihatnya, seolah dunia berhenti sejenak, dan hanya ada mereka berdua di tengah keramaian.
Indra selalu tampil sempurna. Dengan kulitnya yang putih mulus, alis tebal yang terlihat seperti hasil sempurna dari dokter kecantikan, serta bibirnya yang selalu tampak seperti terawat sempurna tanpa usaha apa pun. Namun, Natasha selalu tertawa sendiri tiap kali mengingat hidung pesek Indra yang menurutnya sangat lucu. Pesek tapi tetap memesona, pikirnya.
Natasha kemudian merenung. Bagaimana bisa cowok sesempurna itu tertarik padanya? Tapi aku juga cantik, kan? rambut panjangku selalu rapi, mataku mungkin sipit, tapi aku suka tampil percaya diri. Natasha membayangkan dirinya berdiri di depan cermin dengan senyuman. Ya, dia merasa percaya diri dengan siapa dirinya.
Saat Natasha teringat pertemuan terakhir mereka, senyumnya melebar. Waktu itu, mereka sedang duduk di taman kampus, angin sepoi-sepoi menggerakkan rambut panjang Natasha, sementara Indra tertawa dengan gaya yang khas—tawa yang membuat mata bulan sabitnya semakin menonjol. Mereka berbicara tentang banyak hal, tetapi yang Natasha ingat adalah cara Indra memperlakukannya, seolah Natasha adalah satu-satunya orang yang penting di dunia.
Namun, Natasha tahu dirinya mulai jatuh terlalu dalam. Makin hari, dia makin tak bisa menahan perasaannya. Dia ingin mengatakan semuanya pada Indra, tentang bagaimana dia selalu memikirkan cowok itu, bagaimana setiap kali Indra tersenyum, hatinya serasa berdebar lebih cepat. Tapi, ketakutan selalu membayanginya.
Satu sore, Natasha memutuskan untuk bertemu dengan Indra. Dia sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya yang makin kuat. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di dekat kampus. Hatinya berdebar saat melihat Indra sudah duduk di meja, menatapnya dengan senyuman yang khas.
"Natasha, sini duduk," panggil Indra, suaranya lembut namun penuh antusiasme. Seperti biasa, setiap kali Indra berbicara, Natasha merasa dirinya terseret ke dalam pusaran pesonanya.
Setelah beberapa menit mengobrol ringan, Natasha merasakan jantungnya mulai berdebar lebih keras. Inilah waktunya, pikirnya. Dia harus mengungkapkan perasaannya sebelum rasa takut mengambil alih lagi.
"Indra," Natasha mulai, suaranya sedikit gemetar, "Aku sebenarnya sudah lama ingin bilang sesuatu."
Indra menatapnya, alis tebalnya sedikit terangkat, memberi isyarat bahwa dia siap mendengar apapun yang Natasha katakan. "Apa itu, Nat? Kamu bisa bilang apa saja ke aku."
Natasha mengambil napas dalam-dalam. "Aku… aku nggak tahu gimana harus bilangnya, tapi selama ini aku selalu merasa nyaman setiap kali kita bersama. Kamu bikin aku tertawa, bikin aku merasa dihargai, dan… aku rasa aku sudah jatuh cinta sama kamu."
Setelah kata-kata itu keluar, Natasha merasa seperti batu besar yang jatuh dari pundaknya. Namun, kini ada ketegangan baru yang menggantung di udara. **Bagaimana kalau Indra tidak merasakan hal yang sama?** pikirnya panik.
Indra terdiam sejenak, tetapi senyumnya tidak memudar. Dia menatap Natasha dengan tatapan lembut yang seakan-akan menenangkannya. "Natasha," katanya akhirnya, "Aku sudah tahu. Aku bisa merasakan semua itu dari caramu memandang aku. Dan sebenarnya, aku juga punya perasaan yang sama."
Hati Natasha berdebar keras, namun kali ini bukan karena ketakutan. Dia menatap Indra, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Aku juga sudah lama suka sama kamu, Natasha," lanjut Indra sambil menggenggam tangan Natasha di atas meja. "Kamu selalu menjadi orang yang membuat hari-hariku lebih berwarna. Aku mungkin terlihat sempurna di matamu, tapi setiap kali kita bersama, aku merasa lebih nyata. Kamu buat aku merasa nyaman dengan siapa diriku sebenarnya."
Mendengar itu, Natasha tersenyum lebar, merasa bahagia dan lega. Semua kekhawatiran dan ketakutannya perlahan menghilang.
Sore itu berakhir dengan mereka berdua tertawa dan berbicara lebih lama dari biasanya, tanpa ada lagi keraguan yang menyelimuti. Natasha tahu, bahwa dia dan Indra, meskipun mungkin tidak sempurna di mata dunia, adalah pasangan yang sempurna untuk satu sama lain.
Dan pada akhirnya, Natasha menyadari satu hal—cinta bukan tentang seberapa sempurna seseorang, melainkan tentang bagaimana perasaan mereka saat bersama. Indra mungkin tidak sempurna, tetapi di mata Natasha, dia adalah segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar