Thalita pagi ini merasa tubuhnya seberat batu. Selimut tebal menutupi tubuhnya yang meringkuk di tempat tidur, dan jendela kamar yang menghadap ke arah timur masih memancarkan cahaya pagi yang seharusnya membuatnya bersemangat. Namun, ada yang mengganjal hatinya, membuatnya enggan untuk bangun, apalagi bersiap-siap ke sekolah.
Pelajaran Bahasa Indonesia adalah favoritnya. Ia selalu menantikan hari-hari di mana ia bisa mempelajari karya sastra, menulis puisi, atau mendiskusikan novel-novel klasik bersama teman-temannya. Namun, kali ini semua itu tidak lagi memberi semangat yang sama. Sebuah bayangan sosok pria menguasai pikirannya—Cahyo. Sosok yang pernah ia kagumi diam-diam, namun sekarang seolah mencampakkannya.
Cahyo, teman sekelasnya, pernah membuat Thalita merasa istimewa. Tatapan matanya yang penuh perhatian, senyumannya yang lembut, dan caranya mendengarkan cerita-cerita Thalita membuat gadis itu merasa ada harapan. Namun, semua itu berubah dalam sekejap. Beberapa minggu terakhir, Cahyo selalu terlihat bersama Tasya. Tasya, gadis yang selalu ceria, cerdas, dan penuh energi. Mereka berdua sering bercanda di kelas, dan sesekali, Cahyo tertawa lepas, sesuatu yang belum pernah Thalita lihat saat ia bersama Cahyo.
Hati Thalita terasa hancur. Semua perhatian Cahyo yang dulu pernah ia terima kini hilang, digantikan oleh kehadiran Tasya. Thalita merasa dicampakkan, seolah tidak pernah ada di dunia Cahyo. Pagi ini, ia mempertimbangkan untuk tidak pergi ke sekolah, tidak perlu lagi melihat Cahyo dan Tasya yang selalu bersama.
Namun, ia tahu betul jika ia absen, maka ia akan ketinggalan pelajaran Bahasa Indonesia. Tidak datang ke sekolah bukanlah pilihan, apalagi saat pelajaran favoritnya sedang menunggu. Tapi bagaimana ia bisa fokus jika hatinya terus terganggu oleh bayangan Cahyo dan Tasya?
Dengan perlahan, Thalita bangun dari tempat tidur, merasa sedikit lebih kuat dari sebelumnya. Ia tahu, meskipun rasa sakit ini begitu nyata, ia tidak bisa membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan ini. Kehidupan harus terus berjalan, dan pelajaran Bahasa Indonesia tidak akan menunggunya.
Di kelas, Thalita duduk di kursinya, mencoba mengalihkan pikirannya pada materi yang disampaikan oleh guru. Tapi suasana hati yang berat itu tetap melekat. Cahyo duduk di seberang ruangan, tepat di sebelah Tasya. Sesekali, keduanya terlihat tertawa bersama, dan setiap kali tawa itu terdengar, hati Thalita terasa seperti disayat.
Saat istirahat, Thalita merasa enggan untuk keluar dari kelas. Ia merasa terlalu lelah untuk menghadapi kenyataan bahwa Cahyo tidak lagi peduli padanya. Tapi yang lebih membuatnya terkejut, Tasya mendekatinya.
"Thalita, ada yang mau aku omongin," ujar Tasya dengan senyum yang biasanya hangat, namun kali ini terasa dingin di mata Thalita.
Thalita mengangguk pelan, meskipun hatinya meronta-ronta untuk pergi.
"Maaf ya kalau aku dan Cahyo membuatmu nggak nyaman. Aku nggak bermaksud buat kamu merasa tersisih," kata Tasya dengan nada yang tampak tulus.
Thalita terdiam sejenak. Kata-kata Tasya seperti angin dingin yang menerpa hatinya. Ia merasa semakin hancur mengetahui bahwa perasaannya begitu jelas terlihat hingga Tasya pun menyadarinya.
"Aku... Aku cuma mau fokus ke pelajaran aja, Tas," jawab Thalita akhirnya, berusaha menghindari topik yang menyakitkan.
Tasya mengangguk. "Aku ngerti, tapi aku harap kamu tahu kalau aku nggak pernah bermaksud buat menyakiti perasaan kamu. Cahyo juga teman yang baik buat aku, dan aku juga pengen kalian berdua tetap berteman."
Thalita tidak tahu harus berkata apa. Rasanya perutnya bergejolak, campuran antara marah, sedih, dan rasa tidak berdaya. Apa Tasya tidak mengerti bagaimana sakitnya melihat Cahyo yang dulu perhatian padanya, kini beralih ke orang lain?
"Terima kasih udah ngomong," hanya itu yang bisa Thalita ucapkan, sebelum akhirnya ia bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Tasya sendirian di kelas.
Dalam perjalanan pulang, Thalita merasa hatinya semakin berat. Semua yang terjadi hari ini membuatnya bertanya-tanya, apakah ia pernah benar-benar punya tempat di hati Cahyo? Ataukah semua ini hanya ilusinya semata? Ia ingin marah, tetapi ia tidak tahu pada siapa. Pada Tasya yang tidak bersalah? Pada Cahyo yang kini seolah melupakannya? Atau pada dirinya sendiri yang terlalu berharap?
Malam itu, Thalita menulis diari, mencoba menumpahkan semua perasaannya di atas kertas. Ia menulis tentang rasa sakitnya, tentang bagaimana ia merasa tersisih, dan tentang betapa sulitnya menghadapi kenyataan ini. Namun, di akhir tulisannya, ia membuat sebuah keputusan penting—ia tidak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa sakit ini. Pelajaran adalah hal yang penting baginya, dan ia akan fokus pada itu.
Meskipun berat, Thalita tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Cahyo mungkin telah meninggalkan ruang di hatinya, tapi ia tidak akan membiarkan itu menghancurkan hidupnya. Ia akan terus belajar, terus maju, dan siapa tahu, suatu hari nanti mungkin ia akan menemukan seseorang yang benar-benar menghargai dirinya, bukan hanya sekadar bayangan yang datang dan pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar