Di sebuah sekolah menengah yang tenang, kehidupan kelas 8E selalu penuh warna. Di antara para siswa yang menonjol, Tafif adalah salah satu yang paling mencuri perhatian. Sosoknya yang tinggi, atletis, dan berjiwa sporti membuatnya mudah disukai banyak orang. Salah satunya adalah Zic, gadis pendiam yang selama ini hanya mampu memendam perasaannya dalam-dalam.
Zic selalu mengagumi Tafif dari jauh, memperhatikan setiap gerak-geriknya saat bermain basket di lapangan sekolah. Namun, ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Bagi Zic, menjadi perempuan berarti harus menjaga gengsi dan tak boleh sembarangan mengutarakan hati. Ia merasa terlalu malu untuk berterus terang, takut jika Tafif hanya akan menganggapnya sebagai teman biasa.
Hari-hari berlalu, dan Zic terus memendam perasaannya. Hingga suatu hari, Ely, teman sekelas mereka yang dikenal centil namun manis, mulai mendekati Tafif. Ely selalu berhasil membuat suasana di sekitar Tafif menjadi lebih ceria. Mereka sering terlihat tertawa bersama, dan keakraban mereka semakin lama semakin terlihat jelas.
Melihat kedekatan mereka, hati Zic terasa perih. Ia merasa jengkel setiap kali melihat Ely menggoda Tafif dengan caranya yang penuh pesona. Dalam hati, Zic merutuki dirinya sendiri. Mengapa ia harus menahan diri selama ini? Mengapa ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya?
Kegundahan Zic semakin menjadi ketika Ely dan Tafif mulai sering menghabiskan waktu bersama di luar sekolah. Hatinya semakin tersiksa melihat sosok yang selama ini ia kagumi justru dekat dengan orang lain. Dalam kegalauannya, Zic mencari pelarian.
Di saat seperti ini, pikirannya kembali pada seseorang dari masa lalu—mantannya. Mantan yang pernah membuatnya tertawa, menangis, dan merasakan cinta untuk pertama kalinya. Dengan perasaan campur aduk, Zic memutuskan untuk menghubungi mantannya. Entah mengapa, ia merasa jika kembali ke masa lalu mungkin bisa mengobati luka di hatinya.
Mantan Zic menyambut ajakannya dengan senang hati. Hubungan mereka yang sempat terputus kini kembali terjalin. Namun, Zic tahu dalam hati, semua ini hanya pelarian. Ia tak pernah benar-benar kembali mencintai mantannya. Setiap kali mereka bersama, pikirannya selalu melayang pada Tafif dan Ely.
Hari-hari berlalu, hubungan Zic dengan mantannya tampak berjalan baik. Tapi semakin lama, Zic semakin merasa kehilangan arah. Hubungan ini terasa kosong, dan meskipun mantannya berusaha keras, Zic tahu bahwa hatinya tak lagi sama. Mantan Zic, meskipun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, merasakan ada yang ganjil dalam hubungan mereka.
Di tengah kebimbangan itu, suatu sore, Zic dan mantannya bertemu di sebuah taman. Sore itu, angin berhembus lembut, daun-daun berjatuhan dari pepohonan. Zic duduk bersama mantannya, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Mantannya menggenggam tangan Zic, berharap bisa merasakan kembali kehangatan yang dulu ada.
“Zic, aku tahu ini mungkin bukan yang kamu inginkan. Tapi aku cuma mau kamu tahu, aku akan selalu ada di sini untukmu,” ucap mantannya dengan penuh kesungguhan.
Zic terdiam. Dalam hati, ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan. Ia tak bisa terus terjebak dalam perasaan yang tak pasti ini. Ia harus jujur, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada mantannya.
“Maaf… Aku pikir dengan kembali padamu, aku bisa melupakan rasa sakitku. Tapi kenyataannya… aku malah semakin bingung,” Zic berkata dengan suara yang bergetar.
Mantan Zic menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Aku mengerti, Zic. Kalau itu yang terbaik buat kamu, aku akan selalu mendukung.”
Dengan air mata yang mulai menetes, Zic memeluk mantannya. Di pelukan itu, Zic menyadari bahwa ia harus melepaskan masa lalu dan menghadapi perasaannya yang sesungguhnya.
Setelah pertemuan itu, Zic merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa meskipun tak mudah, ia harus mulai menerima kenyataan bahwa Tafif dan Ely mungkin memang ditakdirkan bersama. Dan ia harus berhenti menjadikan orang lain sebagai pelarian dari rasa sakitnya sendiri.
Waktu terus berjalan, dan meskipun hati Zic masih terkadang terasa perih melihat Tafif dan Ely bersama, ia mulai bisa menerima. Zic belajar untuk mencintai dirinya sendiri lebih dulu sebelum mencintai orang lain. Ia tahu bahwa suatu hari nanti, seseorang yang benar-benar tulus akan datang mengisi hatinya—bukan sebagai pelarian, tapi sebagai cinta sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar