Serly tak pernah menyangka bahwa senyuman seseorang bisa begitu membekas di hatinya. Sejak pertama kali melihat Bimo, siswa seangkatan yang berbeda kelas, perasaannya selalu terusik. Ada sesuatu dalam diri Bimo yang memikatnya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Setiap kali bertemu di lorong sekolah atau saat tak sengaja berpapasan di kantin, Serly merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Teman-temannya sudah mulai menyadari, meski Serly berusaha menutupi perasaannya.
Di sisi lain, Bimo tak begitu mengenal Serly. Dia tahu Serly hanya sebatas nama, karena mereka jarang berinteraksi. Hingga suatu hari, Dewa, teman sekelasnya yang juga teman dekat Serly, menyampaikan kabar yang mengagetkan.
"Dengar-dengar, Serly suka sama kamu, Mo," kata Dewa sambil tersenyum licik.
Bimo terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Senyuman itu tak bisa ditebak, apakah itu senyum senang, terkejut, atau mungkin meremehkan. "Oh ya? Menarik," jawab Bimo singkat. Namun di balik senyum itu, pikirannya mulai menjelajah ke arah yang tak pernah ia duga. Ia tak pernah memikirkan Serly sebelumnya, tetapi sekarang, ia mulai memerhatikannya.
Hari demi hari berlalu, Bimo mulai memperhatikan setiap gerak-gerik Serly. Diam-diam, dia mengamati Serly dari kejauhan, menunggu kesempatan untuk berbicara. Serly, di sisi lain, mulai merasa diperhatikan. Setiap kali Bimo berada di dekatnya, suasana menjadi lebih canggung, namun juga penuh ketegangan yang tak bisa dijelaskan.
Suatu hari, Bimo memutuskan untuk mendekati Serly. Ketika mereka berdua berada di perpustakaan, Bimo mengambil kesempatan itu. "Serly, ada yang mau aku tanyakan," katanya, suaranya terdengar tenang tapi tegas.
Serly terkejut, tetapi dia mencoba menyembunyikan keterkejutannya. "Apa itu, Bimo?"
"Apa yang kamu rasakan tentang aku? Aku dengar dari Dewa, tapi aku ingin mendengarnya langsung dari kamu."
Pertanyaan itu menghantam Serly seperti badai. Ia tak pernah menyangka Bimo akan menghadapinya secara langsung. Jantungnya berdetak kencang, hampir tak bisa bernapas. Namun, di balik ketakutannya, ada keberanian yang muncul.
"Ya, aku suka kamu, Bimo," jawab Serly, suaranya bergetar. "Tapi aku tidak mengharapkan apapun dari kamu. Aku hanya ingin jujur dengan perasaanku."
Bimo terdiam sejenak, menatap dalam mata Serly. Ada sesuatu yang berubah dalam diri Bimo, sesuatu yang membuatnya bingung. Ia tak menyangka Serly akan seberani ini, dan itu membuatnya terkesan. Tapi di balik itu semua, Bimo juga merasakan ada sesuatu yang salah.
Beberapa hari kemudian, Dewa kembali menghampiri Bimo. "Gimana, Mo? Sudah ada perkembangan dengan Serly?"
Bimo mendesah. "Dewa, kenapa kamu bilang ke aku soal Serly? Apa kamu punya maksud lain?"
Dewa tertawa kecil. "Aku cuma ingin melihat bagaimana reaksi kamu. Lagipula, Serly kan temanku juga. Aku ingin tahu apakah perasaannya dibalas atau tidak."
Bimo merasa ada yang ganjil dengan Dewa. "Jangan bermain-main dengan perasaan orang, Dewa. Ini bukan sesuatu yang bisa kita anggap enteng."
Namun, Dewa hanya tersenyum penuh misteri. "Kita lihat saja nanti, Mo."
Hari-hari berikutnya, Bimo merasa semakin bingung. Ia ingin mendekati Serly, tetapi perasaan ragu terus menghantui. Apakah ini hanya permainan dari Dewa? Ataukah perasaannya terhadap Serly benar-benar tulus? Semakin lama, Bimo merasa semakin terjebak dalam situasi yang ia sendiri tak pahami.
Pada suatu sore, Serly melihat Dewa dan Bimo sedang berbicara di taman sekolah. Ia mendekat, ingin mengetahui apa yang mereka bicarakan. Tanpa sengaja, Serly mendengar percakapan mereka.
"Serly itu terlalu mudah ditebak," kata Dewa sambil tertawa kecil. "Aku bisa saja bermain-main dengan perasaannya, dan dia takkan tahu apa-apa."
Serly terdiam di tempatnya. Tubuhnya gemetar mendengar kata-kata itu. Ternyata selama ini, Dewa hanya bermain-main dengannya, dan Bimo... Apakah Bimo juga terlibat dalam permainan ini?
Bimo menoleh ke arah Serly yang berdiri kaku di belakang mereka. Wajahnya berubah seketika, menyadari bahwa Serly mendengar semuanya. "Serly, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," katanya cepat.
Tapi Serly sudah terlanjur hancur. Tanpa berkata apa-apa, dia berbalik dan berlari meninggalkan mereka. Hatinya dipenuhi dengan rasa sakit dan kekecewaan yang mendalam.
Bimo mencoba mengejarnya, tetapi Dewa menahan lengannya. "Biarkan dia, Mo. Toh dia hanya seorang gadis yang terlalu serius."
Bimo menepis tangan Dewa dengan kasar. "Kamu salah, Dewa. Serly lebih dari itu." Tanpa mempedulikan Dewa lagi, Bimo berlari mengejar Serly.
Ketika Bimo akhirnya menemukannya, Serly sedang duduk di bangku taman sekolah, menangis tersedu-sedu. Bimo menghampirinya dengan hati-hati. "Serly, aku minta maaf. Aku tidak tahu kalau Dewa hanya bermain-main denganmu. Tapi aku serius, Serly. Aku benar-benar ingin mengenalmu lebih jauh."
Serly mengangkat wajahnya, menatap Bimo dengan mata yang penuh air mata. "Kamu serius, Bimo? Atau ini hanya bagian dari permainan kalian?"
Bimo menggeleng. "Tidak, Serly. Aku memang tertarik padamu. Aku ingin kita memulai dari awal, dengan jujur dan tanpa ada permainan."
Serly terdiam, masih ragu. Tapi di hatinya, ada sedikit harapan yang mulai muncul. "Baiklah, Bimo. Tapi aku ingin kita berjanji satu hal. Tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi permainan."
Bimo mengangguk. "Aku berjanji, Serly."
Namun, mereka tidak menyadari bahwa di kejauhan, Dewa sedang mengawasi mereka dengan senyuman penuh arti. Permainan ini belum selesai, pikir Dewa dalam hati. Belum selesai sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar