Minggu, 08 September 2024

Antara PR dan Perasaan



Pagi itu, langit masih gelap saat Irma memutuskan untuk berangkat lebih awal ke sekolah. Kepalanya penuh dengan rasa cemas karena PR matematika yang belum sempat dikerjakannya tadi malam. Dia berharap bisa tiba di sekolah sebelum teman-temannya datang, agar bisa fokus menyelesaikan soal-soal yang masih kosong. 

Sesampainya di sekolah, langkahnya cepat menuju kelas. Sesaat sebelum membuka pintu, Irma merasa lega karena suasana sekolah masih sepi. Namun, ketika dia membuka pintu kelas, matanya langsung tertuju pada sosok yang sudah duduk di bangkunya, jauh sebelum teman-teman lain tiba.

Heri.

Irma tertegun. Jantungnya berdegup kencang. Heri adalah seseorang yang tak pernah bisa lepas dari pikirannya. Setiap kali melihatnya, ada perasaan aneh yang membuat Irma gugup dan tidak bisa berpikir jernih. Tapi satu hal yang membuatnya lebih gelisah adalah kenyataan bahwa Heri sudah memiliki pacar. Heri dan pacarnya sudah terkenal sebagai pasangan yang serasi di sekolah.

Sejenak, Irma ingin berbalik dan keluar lagi dari kelas. Namun, Heri sudah melihatnya. “Pagi, Irma,” sapanya sambil tersenyum.

Irma memaksakan senyum, berusaha agar tidak terlihat gugup. “Pagi, Heri,” jawabnya cepat. Dengan tangan gemetar, dia membuka tasnya, mencoba mengambil buku PR tanpa memikirkan apa yang ada di hadapannya.

“Tugas matematika udah dikerjain?” tanya Heri sambil melirik buku yang baru saja dibuka Irma. 

Irma terdiam. **Astaga**, dia lupa PR itu yang menjadi alasannya datang lebih awal. Sekarang, dengan Heri yang duduk di sana, bagaimana dia bisa fokus?

“Belum sih… aku baru mau ngerjain,” jawab Irma jujur, meski dalam hati ingin berbohong bahwa semuanya sudah selesai.

Heri tersenyum, lalu mengeluarkan bukunya. “Aku juga belum selesai. Mau ngerjain bareng?”

Detik itu juga, Irma merasa perutnya seperti diaduk. Berdua? Mengerjakan PR? Dengan Heri? Pikiran itu membuatnya semakin gugup, tapi dia mengangguk, berharap Heri tidak menyadari kegugupannya.

Mereka mulai membuka soal, namun yang ada di pikiran Irma bukanlah angka-angka atau rumus matematika, melainkan tatapan Heri, senyumnya yang terkadang muncul di sela-sela mereka membahas soal. Di saat-saat seperti ini, hatinya berteriak, "Kenapa aku harus merasakan ini? Dia bukan untukku!"

Namun, ketika Irma berusaha untuk fokus, tiba-tiba suara ponsel Heri berbunyi. Dia melihat ke layar ponsel dan senyum itu berubah menjadi canggung.

“Pacar kamu, ya?” tanya Irma, mencoba bersikap biasa saja meski hatinya remuk.

Heri tersenyum tipis. “Iya, dia tanya aku udah sampai mana.”

Jelas. Setiap kali Irma mulai merasa nyaman, kenyataan selalu menyeretnya kembali. **Dia milik orang lain.

“Ah, sepertinya aku harus balas dulu. Maaf, Irma,” kata Heri sambil berdiri dan keluar kelas untuk menelepon.

Saat pintu tertutup, Irma menghela napas panjang. Matanya menatap soal matematika yang tak tersentuh, tapi pikirannya jauh dari itu. Perasaan campur aduk antara cemburu, kecewa, dan juga sadar bahwa semua ini tidak pernah bisa dia ungkapkan.

Ketika Heri kembali, suasana di antara mereka terasa berbeda. Irma berusaha sekuat tenaga menutupi kegelisahannya, sementara Heri terus bercanda seperti biasa. Tapi bagi Irma, tiap kali Heri bicara, ia hanya bisa berpikir, "Kapan perasaan ini bisa berhenti?"

Irma menyadari, di antara PR dan perasaannya yang rumit, perasaanlah yang selalu membuatnya kalah. Dan kali ini, lebih dari sekadar tugas, dia harus menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih sulit—hatinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makan Tuh Janji

  Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan waja...