Minggu, 01 September 2024

Rasa Berdebar




Hari itu langit cerah di atas Jakarta. Rombongan kelas 8 SMP Nurul Huda baru saja tiba di Dunia Fantasi, atau lebih dikenal dengan sebutan Dufan. Anak-anak bersorak riang, siap menjelajahi setiap sudut taman hiburan terbesar di kota itu. Di antara mereka, Nurul dan Sekar melangkah beriringan, tak henti-hentinya membahas wahana yang akan mereka coba.

"Kayaknya kita harus coba Kora-Kora dulu deh, Nurul," Sekar bersemangat sambil menunjuk ke arah kapal raksasa yang berayun di kejauhan.

Namun, Nurul hanya tersenyum tipis. Pikirannya tidak sepenuhnya pada wahana. Sejak tadi, matanya mencari-cari seseorang di kerumunan. Gustaf, anak laki-laki yang selama ini mengisi hatinya dengan rasa yang tak bisa dijelaskan, ternyata sedang bersama teman-temannya di dekat wahana Halilintar. Mereka tertawa dan tampak antusias mencoba segala sesuatu.

"Nurul, lo dengerin gue nggak sih?" Sekar menyadari bahwa sahabatnya tidak sepenuhnya fokus.

"Eh, iya, Sekar. Coba Kora-Kora dulu, ya?" Nurul buru-buru menutupi kegugupannya.

Sekar tertawa kecil, sepertinya sudah paham ke mana arah pandangan Nurul. "Ya ampun, jangan bilang lo masih ngincer Gustaf. Ingat pesan Bu Guru, nggak boleh pacaran di sini. Bisa kena hukuman kita nanti."

"Tapi kan... Aku cuma mau ngobrol sebentar, enggak lebih," Nurul merajuk, meski dalam hatinya ia tahu apa yang sebenarnya ia inginkan.

Mereka memutuskan untuk menaiki Kora-Kora. Selama perjalanan menuju wahana, Nurul terus memikirkan bagaimana caranya bisa mendekati Gustaf tanpa menimbulkan kecurigaan. 

Ketika mereka sampai di Kora-Kora, Nurul dan Sekar duduk di deretan tengah. Ayunan mulai bergerak perlahan, dan lambat laun semakin tinggi. Nurul mencoba menikmati wahana itu, tapi bayangan Gustaf terus menghantuinya. Setiap ayunan yang menghantam udara, hatinya ikut berdebar lebih keras.

Setelah wahana selesai, Nurul memutuskan untuk mencoba keberuntungannya. "Sekar, gue mau beli minum dulu deh," katanya, mencoba alasan untuk memisahkan diri.

"Tapi kan tadi baru beli? Ya udah, jangan lama-lama ya," Sekar setengah percaya, setengah curiga.

Nurul berjalan cepat ke arah Halilintar, di mana ia terakhir melihat Gustaf. Rombongan Gustaf masih di sana, terlihat sedang bercanda. Dengan hati-hati, Nurul mendekat, berusaha terlihat santai. Namun, sebelum ia bisa menghampiri Gustaf, sebuah tangan tiba-tiba menariknya ke samping.

"Nurul, kamu mau ngapain?" suara yang familiar menggetarkan hatinya. Itu Pak Rizal, salah satu guru pendamping yang terkenal tegas.

Nurul terkejut, wajahnya memerah karena ketahuan. "Ehm, saya cuma mau... mau lihat-lihat wahana aja, Pak."

Pak Rizal mengerutkan kening, "Ingat pesan Ibu Guru, ya. Jangan sampai keluar dari kelompokmu tanpa izin. Dan jangan macam-macam."

Nurul menunduk, mengangguk pelan. "Iya, Pak. Maaf."

Setelah Pak Rizal pergi, Nurul merasa lebih gugup. Tapi keinginannya untuk bisa berbicara dengan Gustaf tak surut. Ia memutuskan untuk bersembunyi di balik sebuah stan makanan, menunggu kesempatan ketika Gustaf mungkin akan terpisah dari kelompoknya.

Tak lama kemudian, kesempatan itu datang. Gustaf terlihat menuju ke sebuah wahana permainan ketangkasan sendirian. Nurul melihat ini sebagai kesempatan emas. Ia mengumpulkan keberaniannya, lalu mendekati Gustaf.

"Hai, Gustaf," Nurul menyapa, mencoba terdengar tenang meski hatinya berdegup kencang.

Gustaf terkejut, lalu tersenyum ramah. "Oh, hai Nurul! Lagi ngapain sendirian?"

"Eh, aku cuma mau jalan-jalan aja. Kelompokku lagi di Kora-Kora," Nurul berbohong, meski dalam hatinya ia tahu itu untuk tujuan yang lebih dari sekadar jalan-jalan.

Mereka berbicara sebentar, berbasa-basi tentang wahana yang sudah dicoba dan yang ingin dicoba. Nurul merasa berdebar setiap kali Gustaf tertawa atau menatapnya. Namun, obrolan mereka terhenti ketika suara Pak Rizal kembali terdengar.

"Nurul! Apa kamu tidak dengar apa yang saya bilang tadi?" Suaranya terdengar lebih keras, dan kali ini beberapa siswa lain mulai memperhatikan.

Nurul panik, mencoba mencari alasan, tapi Pak Rizal sudah tidak mau mendengar. "Kamu harus kembali ke kelompokmu sekarang juga! Dan Gustaf, kamu juga, jangan berkeliaran sendirian."

Dengan rasa malu dan kecewa, Nurul mengangguk. Ia dan Gustaf berpisah tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal dengan benar. Nurul berjalan kembali ke arah Sekar, merasa seperti dunianya runtuh. Ia telah mengabaikan peringatan, dan kini dirinya berhadapan dengan konsekuensi.

Sesampainya di kelompoknya, Sekar menatap Nurul dengan prihatin. "Lo kena marah, ya? Gue udah bilang..."

Nurul hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata. Hari itu, ia belajar bahwa terkadang, perasaan tak selalu bisa diutamakan, apalagi jika berhadapan dengan aturan dan tanggung jawab.

Meskipun hatinya masih berdebar setiap kali mengingat Gustaf, Nurul berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati. Bukan hanya soal perasaan, tapi juga dalam memahami batas-batas yang harus dijaga. Karena di antara semua wahana di Dufan, yang paling menantang ternyata bukanlah Halilintar atau Kora-Kora, melainkan mengendalikan hati yang bergejolak di tengah aturan yang harus dipatuhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makan Tuh Janji

  Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan waja...