Selasa, 07 Januari 2025

Jejak yang Tertinggal di Balik Debu



Langit senja berpendar jingga ketika Pak Wiryo menumpukan tubuh lelahnya di kursi kayu di teras rumah. Tangannya yang penuh kapalan menggenggam gelas teh hangat, namun matanya nanar menatap jalanan depan rumah. Sudah beberapa hari Ambar, putri semata wayangnya, pulang tanpa menyapanya. Kata-kata yang diucapkan gadis itu lebih sering berupa cercaan daripada sapaan penuh kasih.

"Kenapa, Pak? Uang jajanku kurang lagi?" Ambar pernah membentaknya dengan tatapan penuh benci.
"Kenapa, Pak? Kenapa aku harus malu punya ayah tukang batu seperti Bapak?"

Pak Wiryo hanya diam, menyimpan luka di dalam hati yang tak pernah ia suarakan.

Di sekolah, Ambar duduk di bangku deretan depan dengan tatapan penuh kejengkelan. Tawa teman-temannya menghiasi ruangan, tetapi setiap canda yang diarahkan padanya adalah ejekan yang merobek hatinya.

"Ambar, jangan lupa, nanti kalau rumahmu dibangun lagi, suruh bapakmu bikin kastil!"
"Ya, kastil dari batu bata yang retak!"

Ambar tertawa hambar, mencoba bergabung dalam canda, tapi hatinya terbakar. Setiap kali ia mengingat wajah penuh peluh ayahnya, ia semakin geram. Di rumah, ia melampiaskan semua kemarahan itu.

"Semuanya salah Bapak!" teriaknya suatu malam. "Kalau saja Bapak bukan tukang batu, aku tidak akan malu di sekolah!"

Pak Wiryo, yang sedang membersihkan alat-alat kerjanya, terdiam. Ia hanya menatap gadis itu dengan mata penuh kasih, tapi mulutnya tetap terkunci.

Malam itu hujan deras mengguyur kota. Ambar yang baru pulang dari pesta ulang tahun temannya memutuskan untuk berjalan kaki. Rasa kesal membanjiri dadanya. Saat melintasi jalan licin, sebuah mobil melaju kencang dan…

Brakkk!

Tubuh Ambar terpelanting ke pinggir jalan. Suara klakson memekakkan telinga, dan orang-orang mulai berkerumun. Namun, segalanya memudar menjadi gelap.

Ketika Ambar terbangun, matanya perlahan-lahan menangkap bayangan buram di sisinya. Wajah kusut dengan mata sembap. Ayahnya duduk di sana, tangannya menggenggam erat jemarinya yang kecil. Setiap detik yang berlalu meninggalkan jejak kecemasan di wajah lelaki itu.

"Bapak…?" suara Ambar serak.

Pak Wiryo tersentak, senyum mengembang di wajah yang dipenuhi keriput. "Nak, kamu sadar…?"

Ambar menatap wajah ayahnya lama. Wajah itu, yang dulu dipandangnya penuh hina, kini tampak penuh kasih dan kelelahan. Ia menyadari bahwa di balik setiap debu yang menempel di tangan ayahnya, ada cinta yang tak pernah pudar.

"Dari tadi Bapak di sini?" bisik Ambar.

Pak Wiryo mengangguk pelan, senyum tulus tak pernah pudar dari wajahnya. "Bapak selalu di sini, Nak."

Air mata Ambar mulai mengalir, membasahi pipinya. "Aku... Aku jahat sama Bapak..."

Pak Wiryo hanya menggeleng, tangan kasarnya membelai lembut rambut putrinya. "Bapak hanya ingin kamu bahagia. Apa pun yang Bapak lakukan, itu semua untuk kamu."

Dan di sanalah, di antara suara mesin dan aroma antiseptik, sebuah kesadaran tumbuh dalam hati Ambar. Bahwa cinta sejati tidak diukur dari pekerjaan atau harta, tetapi dari pengorbanan dan ketulusan yang tak pernah diminta kembali.

Setelah keluar dari rumah sakit, Ambar tidak lagi menunduk malu saat berjalan bersama ayahnya. Ketika teman-temannya mulai mengejek, ia tersenyum tipis dan berkata, "Bapak memang tukang batu, dan aku bangga. Dia membangun dunia dengan tangannya."

Dan sejak saat itu, Ambar tidak pernah lagi merasa malu. Sebaliknya, ia berjalan dengan kepala tegak, karena di balik debu dan peluh seorang ayah, ada cinta yang tak pernah pudar—jejak yang tak akan pernah hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Haiiii Opa

Di sebuah sekolah menengah pertama yang penuh semangat, ada seorang gadis berusia 14 tahun bernama Oche. Cerdas, tekun, dan penuh ambisi. ...