Minggu, 22 September 2024

Debat Hati Asyifa


Asyifa duduk dengan anggun di samping panggung kecil itu, jemarinya dengan lincah memegang microphone. Hari itu, sekolahnya mengadakan acara debat SMP dalam rangkaian pembelajaran P5 bertema “Suara Demokrasi”. Sebagai MC, tugasnya adalah memastikan acara berjalan lancar dan teratur. Namun, di balik profesionalisme yang ia jaga, ada sesuatu yang menggetarkan hatinya hari itu—Barry.

Sosok lelaki remaja itu adalah salah satu peserta debat. Barry, dengan timnya, berdiri di depan podium, bersiap untuk adu argumen dengan kelompok lawan. Dengan postur tegap dan percaya diri, ia tampak tak terintimidasi oleh suasana formal. Malahan, ia memancarkan semangat yang membuat Asyifa diam-diam terpukau. Tidak hanya wajahnya yang teduh dan caranya berbicara yang tenang, tetapi cara Barry mengemukakan pendapat membuat jantung Asyifa berdebar lebih cepat dari biasanya.

Debat dimulai. Suara Barry mengalun tegas saat ia menyampaikan argumennya. Matanya tajam, memancarkan keyakinan akan pendapat yang ia perjuangkan. Asyifa, yang seharusnya fokus pada jalannya acara, mendapati dirinya mulai hanyut dalam argumen-argumen Barry. Rasanya, setiap kata yang keluar dari mulut Barry begitu masuk akal dan mengesankan. Ada ketertarikan yang semakin kuat, yang tak bisa ia abaikan.

Sesekali, Asyifa mencuri pandang ke arah Barry, dan di setiap pandangannya, ia mendapati hatinya berdegup kencang. “Apa yang terjadi padaku?” batinnya. Setiap detik terasa semakin sulit untuk mengendalikan perasaannya yang tiba-tiba mekar. Barry, dengan segala kesederhanaan dan karismanya, tanpa sadar telah menempati ruang khusus di hati Asyifa.

Debat itu berjalan sengit, tapi bagi Asyifa, perhatian utamanya hanya tertuju pada satu orang. Setiap kali Barry berbicara, Asyifa mendengarkan dengan saksama. Saat lawan bicaranya melontarkan argumen balasan, Barry tak goyah. Ia mampu mempertahankan pendapatnya dengan sangat baik, seolah tidak ada yang bisa menandinginya. Hati Asyifa semakin kagum. 

Ketika debat berakhir, Asyifa kembali ke tugasnya sebagai MC. Namun, kali ini ada kegugupan yang tidak biasa. Biasanya, ia mampu menutup acara dengan penuh percaya diri dan keceriaan, tapi kali ini berbeda. Ia berjalan ke panggung dengan langkah yang sedikit ragu. Di dalam hatinya, terjadi konflik antara profesionalisme dan perasaannya yang sedang bergejolak.

“Asyifa, fokus!” bisiknya dalam hati. Namun, itu tak mudah. Barry masih ada di sana, berdiri di barisan depan bersama timnya. Sorotan mata Asyifa tak bisa berpaling dari sosoknya. 

“Terima kasih kepada seluruh peserta debat yang sudah tampil luar biasa pada hari ini,” ucap Asyifa dengan suara sedikit bergetar. “Dan tentunya kepada penonton yang sudah hadir, serta semua pihak yang telah membantu jalannya acara.”

Saat matanya tak sengaja bertemu dengan pandangan Barry, Asyifa merasa seolah dunia berhenti sejenak. Jantungnya berdebar kencang. Wajahnya sedikit memerah, dan ia mulai merasa salah tingkah. Tanpa sadar, senyumnya yang ceria berubah menjadi senyum yang lebih lembut, hampir centil. Semua orang yang mengenal Asyifa pasti tahu, ada yang berbeda darinya hari itu.

Dengan sedikit grogi, Asyifa menutup acara. “Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya, dan... semoga kita bisa bertemu lagi di acara berikutnya.”

Begitu acara selesai, Asyifa segera meninggalkan panggung dengan langkah terburu-buru. Wajahnya merona, dan hatinya tak karuan. “Apa aku terlalu jelas tadi?” tanyanya dalam hati. Ia tersenyum sendiri, malu pada perasaannya yang tiba-tiba muncul. Barry mungkin tak menyadari, tapi bagi Asyifa, hari itu adalah momen spesial yang tak akan ia lupakan.

Barry telah berhasil memukau banyak orang dengan keterampilannya berdebat. Tapi di hati Asyifa, ia telah memenangi debat lain—debat perasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Haiiii Opa

Di sebuah sekolah menengah pertama yang penuh semangat, ada seorang gadis berusia 14 tahun bernama Oche. Cerdas, tekun, dan penuh ambisi. ...