Selasa, 17 September 2024

Lita dan Rasa Beraninya

 


Lita adalah seorang remaja yang tergolong pemalu. Ketika di sekolah, dia lebih suka duduk di belakang kelas, menunduk, dan menghindari kontak mata dengan siapa pun. Jika ada sesuatu yang ingin dia katakan kepada temannya, dia lebih memilih menuliskannya di WhatsApp daripada berbicara langsung. Namun, sesuatu yang aneh terjadi saat dia chatting. Di sana, Lita seperti berubah. Dia bisa berbicara apa saja, tanpa takut atau ragu.

Di antara semua guru, ada satu sosok yang membuatnya sangat gugup, yaitu Pak Indra, guru BK di kelasnya. Setiap kali melihat Pak Indra, Lita merasa takut dan gugup tanpa alasan yang jelas. Bahkan saat Pak Indra sekadar lewat di depannya, Lita merasa seperti ingin hilang dari pandangan. Rasa tidak berani itu semakin menjadi-jadi setiap kali Pak Indra memanggilnya ke depan kelas. Saat itu terjadi, Lita hanya bisa mengerut, menundukkan kepala, dan berharap pertemuan itu segera selesai.

Namun, berbeda ketika Lita berhadapan dengan guru lain, terutama Bu Rini, guru yang sangat dia sukai. Ketika bersama Bu Rini, Lita seperti orang yang berbeda. Dia bercakap-cakap tanpa henti, tertawa lepas, dan terlihat nyaman seperti berbicara dengan teman sebaya. Ini membuat sahabatnya, Sekar, merasa bingung. Sekar sering memperhatikan Lita yang bisa begitu takut dengan Pak Indra tapi begitu ceria dengan Bu Rini. Dia tahu bahwa Lita perlu menemukan keseimbangan, terutama dalam menghadapi orang-orang yang membuatnya merasa gugup.

Suatu hari, Sekar memberanikan diri untuk berbicara dengan Lita.

"Lita, kamu tahu nggak, kamu harus bisa berubah. Pak Indra itu nggak seseram yang kamu pikirkan. Aku perhatikan, kamu terlalu takut sama dia, padahal dia cuma pengen kamu lebih berani dan jujur sama diri kamu sendiri," kata Sekar lembut.

Lita hanya mengangguk pelan, namun di dalam hatinya, dia tahu Sekar benar. "Tapi gimana caranya? Aku selalu takut setiap kali melihat Pak Indra," jawab Lita dengan nada ragu.

"Aku pernah dengar bahwa ketakutan itu sering kali hanya ada di pikiran kita. Coba deh kamu berani bicara duluan sama Pak Indra, siapa tahu dia malah bisa bantu kamu," Sekar memberi saran.

Hari-hari berlalu, dan nasihat Sekar terus berputar di kepala Lita. Sampai suatu hari, ketika ada tugas dari Pak Indra yang menuntut mereka untuk menyelesaikan masalah pribadi dalam bentuk diskusi kelas, Lita merasa ini adalah kesempatan baginya. Dengan gemetar, dia mengangkat tangannya untuk pertama kalinya dalam diskusi itu.

"Pak Indra... saya mau coba bicara soal masalah yang saya hadapi," kata Lita pelan, tetapi cukup terdengar.

Pak Indra tersenyum. "Silakan, Lita. Aku senang kamu akhirnya mau berbicara."

Dengan perasaan gugup tapi bersemangat, Lita mulai menceritakan ketakutannya, terutama tentang bagaimana dia merasa takut untuk berbicara di depan umum dan mengakui bahwa dia selalu merasa tertekan saat harus berhadapan dengan Pak Indra.

Pak Indra mendengarkan dengan seksama dan memberi respons yang tak terduga. "Lita, aku nggak pernah berniat untuk menakut-nakuti kamu. Tugas guru BK adalah membantu kalian merasa nyaman dan bisa menjadi versi terbaik dari diri kalian. Aku bangga kamu sudah mulai berani."

Mendengar itu, hati Lita terasa lega. Dia menyadari bahwa rasa takutnya selama ini hanya ada dalam pikirannya, dan bahwa Pak Indra, seperti yang dikatakan Sekar, sebenarnya sangat ingin membantunya.

Sejak hari itu, Lita perlahan berubah. Dia mulai berani berbicara di kelas, tidak hanya dengan Bu Rini, tetapi juga dengan guru-guru lain, termasuk Pak Indra. Sekar terus mendukung Lita dalam perubahannya, dan mereka sering tertawa bersama tentang betapa lucunya ketakutan Lita dulu.

Lita belajar bahwa rasa takut hanya bisa dilawan dengan keberanian untuk mencoba. Dan dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus berkembang dan menjadi contoh bagi teman-temannya, bahwa tidak ada ketakutan yang tidak bisa diatasi dengan usaha dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makan Tuh Janji

  Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan waja...