Malam itu, Cintia duduk di meja belajarnya, menggoreskan pena di atas buku harian. Hatinya berdebar-debar, teringat pertemuannya dengan Dewa, cowok yang selama ini diam-diam ia kagumi. Dewa bukan sekadar teman dekat, dia juga idola kelas. Setiap kali Dewa lewat, banyak cewek yang diam-diam mencuri pandang, termasuk Cintia. Tapi malam ini berbeda. Dewa mengajaknya keluar besok malam—ini pertama kalinya mereka pergi hanya berdua.
Keesokan harinya, di sekolah, Cintia tak bisa menahan senyum. Teman-teman sekelas mulai curiga, apalagi ketika mereka melihat Dewa dan Cintia berbicara dengan lebih dekat. Saat istirahat, Gina, sahabat Cintia, tiba-tiba mendekatinya dengan wajah yang tak biasa.
“Cint, aku denger dari anak-anak kalau kamu mau keluar sama Dewa,” kata Gina dengan nada datar.
Cintia sedikit terkejut. “Iya, kenapa? Kamu tahu dari mana?”
Gina tertawa kecil, tapi ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. “Ah, anak-anak ngomong aja. Cuma... kamu tahu kan, aku juga suka sama Dewa? Aku udah cerita lama banget soal ini.”
Hati Cintia seperti tertusuk. Ternyata, sahabatnya sendiri menyukai Dewa juga. Sebuah dilema besar membentang di hadapannya. Di satu sisi, perasaannya pada Dewa begitu kuat, namun di sisi lain, ia tak ingin merusak persahabatannya dengan Gina.
Malam itu, saat akan bertemu dengan Dewa, Cintia masih dihantui rasa bersalah. Ia berdiri di depan cermin, berkali-kali bertanya pada dirinya sendiri apakah yang dilakukannya benar. Ketika akhirnya Dewa tiba untuk menjemput, Cintia berusaha menyembunyikan kegundahannya di balik senyum.
Mereka pergi ke taman kota, duduk di bangku yang cukup sepi. Di bawah cahaya bulan, Dewa mulai bercerita tentang hal-hal yang ringan, membuat suasana terasa hangat. Namun, Cintia merasa ada sesuatu yang harus ia katakan.
“Dewa, aku harus jujur,” kata Cintia akhirnya. “Gina suka sama kamu, dan aku... aku nggak bisa ngelanjutin ini kalau bakal nyakitin dia.”
Dewa terdiam sejenak. Tatapannya lembut, seolah memahami perasaan Cintia. “Aku tahu, Cint. Gina udah bilang soal perasaannya ke aku. Tapi, aku harus jujur juga. Aku suka sama kamu, bukan Gina. Kita sahabatan bertiga, aku nggak mau nyakitin siapa pun, tapi perasaan ini nggak bisa aku paksain.”
Hati Cintia bergetar. Di satu sisi, ia merasa bahagia karena Dewa memiliki perasaan yang sama. Namun, di sisi lain, bayangan Gina terus menghantuinya.
Beberapa hari berlalu, Cintia menghindari Gina. Ia takut merusak hubungan mereka. Namun, di suatu sore, Gina tiba-tiba datang ke rumahnya.
“Cint, aku udah tahu semuanya,” kata Gina dengan senyuman tipis. “Awalnya aku sakit hati, tapi setelah aku pikir-pikir, mungkin Dewa memang lebih cocok sama kamu. Kamu sahabat terbaik aku, dan aku nggak mau kehilangan kamu cuma karena masalah ini.”
Cintia meneteskan air mata haru. “Gina, maaf banget. Aku nggak pernah bermaksud ngerebut Dewa darimu.”
Gina memeluk Cintia erat. “Sudah, nggak perlu minta maaf. Yang penting, kita tetap sahabat. Aku yakin suatu hari aku juga bakal nemu cowok yang tepat.”
Akhirnya, Cintia merasa lega. Persahabatannya dengan Gina selamat, dan perasaannya pada Dewa berbalas. Meski sempat ada konflik, mereka akhirnya bisa melewatinya bersama-sama. Persahabatan dan cinta pun bisa berjalan seiring, tanpa ada yang harus dikorbankan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar