Cathrin duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela yang terbuka. Angin malam yang sejuk berhembus pelan, menggerakkan tirai putih di kamarnya. Pikiran Cathrin terus berputar-putar, dipenuhi bayangan dua sosok yang tak pernah bisa hilang dari pikirannya: Tafif dan Cahyo. Dua nama itu telah mengisi hari-harinya dengan perasaan yang bercampur aduk, membuatnya bingung dan sulit tidur setiap malam.
Tafif adalah sosok yang memesona. Ganteng, sporty, dan selalu berhasil menarik perhatian semua orang dengan caranya yang karismatik. Setiap kali Cathrin melihatnya bermain basket di lapangan sekolah, jantungnya berdegup lebih kencang. Tafif memiliki cara untuk membuat segalanya terlihat begitu mudah, termasuk ketika ia dengan santai berbicara dengan Cathrin, membuat gadis itu merasa istimewa hanya dengan satu senyuman.
Namun di sisi lain, ada Cahyo. Berbeda dari Tafif, Cahyo adalah sosok yang lembut, penuh perhatian, dan selalu ada untuk Cathrin. Setiap kali Cathrin merasa sedih atau butuh seseorang untuk berbicara, Cahyo adalah orang pertama yang muncul dalam pikirannya. Cahyo tidak pernah gagal untuk membuat Cathrin merasa nyaman, seolah dunia ini tidak pernah seberat yang dia rasakan. Cahyo adalah tempat Cathrin bersandar, seseorang yang selalu mengerti dirinya.
Cathrin tahu bahwa perasaannya terhadap Tafif dan Cahyo bukan sekadar "cinta monyet." Dia bisa merasakan bagaimana hatinya tertarik kepada kedua pemuda itu dengan cara yang berbeda, namun sama-sama kuat. Tapi, memilih di antara mereka adalah pilihan yang sangat sulit. Setiap kali dia mencoba untuk memutuskan, pikirannya kembali terbelah—antara kegembiraan yang dia rasakan bersama Tafif dan kenyamanan yang dia temukan bersama Cahyo.
Suatu hari, semuanya mencapai puncaknya. Tafif mengajaknya untuk menonton pertandingan basket di akhir pekan. Tawaran yang begitu menggoda, apalagi Cathrin memang selalu menikmati momen-momen di mana dia bisa melihat Tafif di lapangan, menunjukkan kemampuannya yang luar biasa. Di sisi lain, Cahyo mengajak Cathrin untuk menghadiri acara musik di taman kota, sesuatu yang mereka berdua nikmati karena kecintaan mereka pada musik. Cathrin bingung. Bagaimana dia bisa memilih di antara dua acara yang sama-sama dia ingin hadiri? Lebih dari itu, bagaimana dia bisa memilih di antara dua pemuda yang telah mengisi hatinya dengan cara yang begitu berbeda?
Hari itu Cathrin memutuskan untuk merenung lebih dalam. Dia berjalan ke taman dekat rumahnya, tempat yang selalu dia datangi ketika dia membutuhkan waktu untuk berpikir. Duduk di bangku kayu, dia memejamkan matanya dan membiarkan pikirannya mengalir bebas. Dia mencoba membayangkan hidupnya tanpa Tafif, dan kemudian tanpa Cahyo. Kedua bayangan itu sama-sama menyakitkan. Seolah-olah ada sesuatu yang hilang dari hidupnya jika salah satu dari mereka tidak ada.
Saat Cathrin sedang tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ketika dia membuka matanya, dia melihat Tafif berdiri di depannya, dengan senyum lebar yang selalu membuat hatinya berdebar.
"Heh, Cathrin! Sedang apa di sini? Kelihatannya serius sekali," kata Tafif dengan nada menggoda.
Cathrin tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kebingungannya. "Aku hanya berpikir... tentang banyak hal."
"Apa itu termasuk tentang pertandingan akhir pekan ini? Aku harap kamu akan datang, aku butuh semua dukungan yang bisa kudapat," kata Tafif sambil mengedipkan mata.
Cathrin merasa hatinya bergetar, tapi sebelum dia bisa menjawab, dia melihat Cahyo datang dari arah lain, tampaknya baru saja tiba di taman.
"Cathrin, aku mencarimu. Kau tidak lupa kan, kita ada acara di taman kota akhir pekan ini?" Cahyo berbicara dengan lembut, tetapi ada kekhawatiran yang tergambar jelas di wajahnya.
Cathrin merasakan dunia seolah berputar lebih cepat. Kedua pemuda ini, dengan kepribadian mereka yang begitu berbeda, sekarang berdiri di depannya, seolah meminta jawaban yang selama ini dia hindari. Perasaannya berkecamuk, dan untuk pertama kalinya, dia tidak tahu harus berkata apa.
Cahyo menatap Tafif dengan sedikit rasa ingin tahu, seolah-olah dia baru menyadari keberadaan pemuda itu. "Oh, Tafif. Aku tidak tahu kau juga di sini."
Tafif tersenyum tipis, tetapi ada ketegangan yang mulai terlihat di matanya. "Ya, aku sedang berbicara dengan Cathrin tentang akhir pekan ini. Aku berharap dia bisa datang untuk menonton pertandinganku."
Cathrin merasa semakin tertekan di antara keduanya. Dia bisa merasakan bagaimana situasi ini bisa berubah menjadi sesuatu yang tidak diinginkannya. Dalam keheningan yang canggung itu, Cathrin mengambil napas dalam-dalam dan mencoba menemukan suaranya.
"Aku... Aku tidak tahu harus bagaimana," Cathrin berkata dengan suara pelan, hampir tidak terdengar. "Aku sangat menghargai kalian berdua, dan aku ingin ada untuk kalian, tapi..."
Cahyo melangkah lebih dekat, mencoba meredakan ketegangan. "Cathrin, kami tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa apa pun yang kau pilih, aku akan menghormati keputusanmu."
Tafif menambahkan dengan nada yang lebih serius, "Aku juga, Cathrin. Aku tahu ini tidak mudah bagimu, dan aku tidak ingin membuatmu tertekan."
Cathrin terdiam. Dia tahu bahwa apa pun yang dia pilih, ada risiko menyakiti salah satu dari mereka. Dia tidak ingin kehilangan Tafif atau Cahyo. Tapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa terus-menerus berdiri di tengah-tengah, tanpa membuat keputusan.
Dengan berat hati, Cathrin akhirnya berbicara. "Aku... Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku sangat peduli pada kalian berdua, tapi aku tidak bisa membuat keputusan sekarang. Aku harap kalian bisa memahami."
Keduanya menatap Cathrin dengan tatapan yang penuh pengertian, meskipun ada sedikit kekecewaan yang tersirat di wajah mereka.
"Kami akan menunggu, Cathrin," kata Cahyo dengan lembut. Tafif mengangguk setuju. "Ya, ambillah waktu yang kau butuhkan."
Cathrin merasa lega mendengar kata-kata mereka. Meski begitu, dia tahu bahwa waktu tidak akan menghapus perasaan yang dia miliki untuk keduanya. Namun, dia juga sadar bahwa perasaan ini mungkin hanya sebagian dari perjalanan hidupnya sebagai seorang remaja—perasaan yang mungkin akan berubah seiring waktu.
Cathrin menghabiskan beberapa hari berikutnya merenung, mencoba mencari jawaban di dalam hatinya. Dia menimbang perasaannya terhadap Tafif dan Cahyo, mencoba membayangkan masa depan yang mungkin bersama salah satu dari mereka. Tetapi semakin dia berpikir, semakin dia menyadari bahwa tidak ada jawaban yang benar atau salah dalam situasi ini.
Pada akhirnya, Cathrin memutuskan untuk tidak memilih di antara mereka. Dia menyadari bahwa dia masih muda, dan perasaannya mungkin berubah seiring waktu. Tafif dan Cahyo adalah bagian penting dalam hidupnya, tapi dia tidak ingin terburu-buru memutuskan sesuatu yang bisa merusak persahabatan mereka.
Cathrin bertemu dengan Tafif dan Cahyo secara terpisah, dan dengan hati-hati menjelaskan perasaannya. Dia berterima kasih kepada mereka atas perhatian dan cinta yang mereka berikan, tapi dia juga jujur bahwa dia tidak siap untuk memilih. Dia berharap mereka bisa tetap berteman, meskipun situasinya rumit.
Keduanya menerima keputusan Cathrin dengan hati yang besar. Meskipun ada sedikit kekecewaan, mereka menghormati kejujuran Cathrin dan memutuskan untuk tetap mendukungnya sebagai teman. Seiring berjalannya waktu, Cathrin belajar banyak dari pengalaman ini—tentang cinta, persahabatan, dan pentingnya memahami perasaan diri sendiri sebelum membuat keputusan besar.
Dan meskipun cinta monyet mungkin akan berlalu, persahabatan mereka tetap bertahan, mengingatkan Cathrin bahwa terkadang, tidak memilih juga merupakan sebuah pilihan yang bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar