Sabtu, 07 Desember 2024

Makan Tuh Janji

 


Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan wajah yang sudah lebih dari muram. Rian, pacarnya, baru saja pulang dengan bau rokok yang melekat di tubuhnya.

“Lagi?” tanya Talita dengan nada rendah namun tajam.

Rian menghela napas, mencoba mencari pembenaran. “Aku cuma satu batang tadi. Stres hari ini, Tal. Kamu ngerti kan?”

Talita menatapnya dingin. “Satu batang? Besok dua, lusa tiga. Janji-janji kamu semuanya cuma ucapan kosong. Berapa kali aku bilang, aku gak suka kamu ngerokok.”

“Tal, aku berusaha—”

“Berusaha? Makan tuh janji!” potong Talita. Suaranya meledak seperti petasan, memecah ketenangan sore.

Rian terdiam. Mata Talita mulai berkaca-kaca, tapi kemarahannya menutup kemungkinan air mata itu jatuh.

“Aku marah bukan karena aku benci sama kamu, Rian. Aku marah karena aku peduli. Rokok itu pelan-pelan bunuh kamu, dan aku gak mau jadi saksi kamu menghancurkan diri sendiri,” lanjutnya, suara bergetar.

Rian merasa bersalah, tapi egonya menahannya untuk mengakuinya. “Kamu selalu bikin ini jadi masalah besar, Tal. Semua orang juga ngerokok, tapi hidup mereka baik-baik aja.”

Talita menggelengkan kepala, kecewa. “Masalahnya bukan orang lain, Rian. Masalahnya kamu. Dan aku gak mau terus-terusan begini.”

Dia masuk ke rumah, membanting pintu. Suasana berubah sunyi, hanya suara angin yang terdengar.

Malam itu

Talita duduk di tempat tidur dengan mata sembap. Dia tahu Rian mungkin tidak akan berubah. Dia kasihan melihat Rian terus membiarkan kebiasaan buruk itu merusak dirinya, tapi rasa kasihan itu tidak cukup untuk menutupi kekecewaannya.

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Dengan malas, Talita bangkit dan membukanya.

Rian berdiri di sana, memegang sekotak kecil. “Aku tahu aku banyak salah. Aku tahu aku sudah mengecewakan kamu, Tal.”

“Apa ini?” Talita bertanya dingin.

“Lihat aja sendiri,” katanya sambil menyerahkan kotak itu.

Talita membuka kotaknya dan menemukan sebatang rokok—yang dipatahkan menjadi dua. Ada catatan kecil di dalamnya: ‘Ini yang terakhir. Aku janji.’

“Rian…” Talita menatapnya, bingung.

“Aku tahu aku gak bisa cuma ngomong, jadi aku mulai dari sini. Aku tahu kamu marah karena kamu peduli, dan aku gak mau kehilangan itu,” katanya dengan serius.

Talita memeluk Rian tanpa berkata apa-apa. Di dalam pelukan itu, ia hanya bisa berharap kali ini Rian benar-benar menepati janjinya.

Namun, di dalam hatinya, Talita tahu ini bukan akhir dari perjuangan mereka. Ini baru permulaan.

Jumat, 29 November 2024

Gudeg, Cinta, dan Pak Nardi



Di sudut kantin sekolah, Dinda duduk gelisah. Matanya mencuri pandang ke arah Rizki, siswa yang diam-diam membuat hatinya berdetak lebih cepat. Rizki sedang asyik bercanda dengan teman-temannya, sama sekali tidak sadar bahwa ada seorang gadis yang menaruh perhatian padanya.

“Dinda, kamu suka Rizki ya?” suara berat tiba-tiba mengejutkan Dinda. Ia menoleh dan melihat Pak Nardi, penjaga kantin yang sudah seperti detektif bagi siswa-siswi di sekolah itu.

“Eh...enggak kok, Pak!” Dinda buru-buru menepis.

Pak Ardi tersenyum penuh arti. “Halah, saya sudah tahu semuanya. Kalau kamu benar-benar ingin dekat dengan Rizki, saya ada caranya.”

Dinda mengerutkan kening. “Caranya gimana, Pak?”

Pak Nardi mendekatkan wajahnya dan berbisik, “Sebungkus nasi gudeg dari warung Bu Lastri. Rizki itu penggemar berat gudeg, tapi dia jarang beli karena katanya malu.”

Dinda terdiam, antara bingung dan geli. “Cuma sebungkus nasi gudeg aja?”

“Betul! Saya yang kasih tahu ke Rizki kalau kamu yang beliin. Sisanya biar saya atur,” ucap Pak Nardi dengan yakin.

***

Hari berikutnya, Dinda datang lebih pagi ke kantin dengan sebungkus nasi gudeg di tangan. Ia menyerahkannya kepada Pak Nardi yang menyeringai penuh kemenangan.

“Percayakan semuanya pada Pak Nardi!” katanya sambil membawa gudeg itu ke arah Rizki yang baru tiba di kantin.

Dari kejauhan, Dinda memperhatikan adegan itu. Pak Nardi memberikan gudeg kepada Rizki sambil berbisik sesuatu. Rizki tampak terkejut, lalu tersenyum.

Beberapa menit kemudian, Rizki berjalan ke arah Dinda dengan sebungkus nasi gudeg di tangannya.

“Dinda, makasih ya. Pak Nardi bilang kamu yang beliin ini buat aku,” kata Rizki sambil tersenyum lebar.

Dinda merasa wajahnya memanas. “I-ih, enggak kok. Itu cuma... ya... aku dengar kamu suka gudeg, jadi…”

“Berarti kamu perhatian sama aku ya?” Rizki menggoda dengan nada bercanda.

Dinda hanya bisa tersenyum malu.

***

Sejak hari itu, hubungan mereka berubah. Rizki mulai sering menyapa Dinda, bahkan mengajaknya belajar bersama di perpustakaan. Perlahan, perasaan yang dulu hanya tersimpan di hati mulai menemukan jalan untuk saling diungkapkan.

Pak Nardi yang memperhatikan mereka dari kejauhan tersenyum puas. “Gudeg memang ajaib. Tapi cinta lebih ajaib lagi.”

Sabtu, 02 November 2024

Cinta yang Ditinggalkan



Malam itu, Nina berdiri di bawah langit malam yang pekat, menatap ke arah lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Hatinya terasa kosong. Semua kenangan, janji-janji, dan kata-kata manis kini hanya tersisa sebagai luka yang membekas dalam. Rasa sakit itu datang lagi, menghantam hatinya yang sudah retak.

Dia mengingat wajah Bani, pria yang selama ini menjadi sumber cintanya. Mereka pernah berjanji saling setia, berjuang bersama dalam suka dan duka. Tapi, entah bagaimana, semua berubah. Bani memilih untuk pergi, meninggalkan Nina demi seseorang yang baru, yang mungkin lebih menarik di matanya.

Nina menelan ludah, pahit di tenggorokannya. "Apa yang kurang dari aku? Mengapa harus dia?" pikirnya berkali-kali. Ia merasa ditinggalkan, diabaikan, dan kehilangan harga diri. Di dalam pikirannya, ia bertanya-tanya apakah Bani menyadari pengorbanannya selama ini. Tapi nyatanya, semua yang Nina lakukan tidak berarti apa-apa bagi Bani.

Hari itu, tanpa sepengetahuan Nina, Bani kembali pergi dengan wanita itu. Mereka terlihat mesra, bercanda dan tertawa, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Nina sempat melihat mereka dari kejauhan, dan matanya berair. Bukan hanya cemburu yang ia rasakan, tapi juga rasa hina – seolah-olah ia hanyalah bayangan masa lalu yang tak lagi diinginkan.

"Aku sudah jadi beban bagi dia," bisiknya lirih, menahan perasaan yang meluap-luap. Dalam hati, ia merasa dipermalukan, bukan hanya oleh Bani, tetapi oleh dirinya sendiri yang masih merindukan pria yang jelas-jelas sudah berpaling.

Tak lama, Nina mendapat kabar bahwa Bani mulai mengalami masalah dalam kehidupannya. Orang-orang mulai menjauhinya, dan wanita itu yang awalnya dekat dengannya, perlahan-lahan juga mulai menghilang. Seperti yang sering ia dengar, keadilan memang selalu datang dengan caranya sendiri.

Namun Nina tak tersenyum atau merasa puas melihat penderitaan Bani. Baginya, itu hanya membuktikan betapa sia-sianya cinta yang ia berikan untuk seseorang yang tidak pantas menerimanya. Dia sadar bahwa cinta sejati tidak akan pernah tergerus oleh godaan sesaat. Dan Bani telah membuktikan, cintanya kepada Nina selama ini hanya fatamorgana.

Nina menghela napas dalam, memutuskan untuk melangkah maju tanpa menoleh lagi ke masa lalu. Meski hati masih terasa perih, dia tahu suatu hari akan tiba saatnya ia menemukan kebahagiaan yang lebih sejati, bersama seseorang yang tak akan pernah melepaskan genggaman tangannya.

 

Jumat, 11 Oktober 2024

Rasa dan Ambisi

 


Shifah menatap pantulan dirinya di cermin dengan senyum tipis. Hari ini adalah hari terakhir kampanye Pemilihan Ketua OSIS (Ketos) di SMP-nya, dan dia merasa yakin. Ini adalah kesempatan besar baginya untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa dia bisa memimpin. Meski harus bersaing dengan dua calon lain, Yuanas yang selalu mendapat perhatian siswa karena karismanya, dan Ismun, sosok yang tenang namun memiliki pengikut setia, Shifah tetap optimis.

Namun, ada hal lain yang membuat pikirannya terpecah. Shifah menyimpan perasaan yang tak pernah dia ungkapkan, bahkan kepada sahabat terdekatnya. Dia memiliki hati untuk Ismun—lawan politiknya. Meskipun mereka bersaing dalam ajang ini, setiap malam mereka sering saling berkirim pesan. Hubungan mereka yang terasa akrab di dunia maya, membuat Shifah semakin sulit mengabaikan apa yang dia rasakan. Tapi dalam situasi seperti ini, perasaan harus disimpan rapat-rapat.

Di kantin sekolah, Shifah melihat Yuanas yang tengah berbicara dengan sekelompok siswa. Semua mata tampak tertuju pada Yuanas, penuh kagum dan antusiasme. Shifah menghela napas panjang, merasa sedikit terguncang. Popularitas Yuanas tak bisa dianggap remeh. Sedangkan Ismun, duduk di ujung kantin, berbicara dengan beberapa teman dekatnya. Saat Ismun menoleh dan melihatnya, mereka bertukar senyum.

Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Ismun: "Gimana kampanye hari ini? Kamu pasti keren deh."

Shifah tersenyum kecil sambil mengetik balasan, "Lumayan, tapi masih harus kerja keras biar bisa saingin kamu."

Ismun membalas cepat, "Ah, aku yakin kamu bisa, Shifah. Kamu kuat."

Pesan singkat itu seolah memberi kekuatan lebih pada Shifah. Namun, di dalam hatinya ada konflik yang berkecamuk. Bagaimana mungkin dia bisa merasa nyaman dengan Ismun sementara mereka berdua bersaing memperebutkan posisi yang sama? Sebuah dilema besar yang tak mudah dipecahkan.

Saat debat kandidat dimulai di aula, ketiga calon diberi kesempatan untuk memaparkan visi dan misi mereka. Yuanas tampil percaya diri, memberikan gagasan yang berani tentang kegiatan OSIS yang modern dan dinamis. Siswa-siswa bertepuk tangan meriah setelah ia selesai berbicara. Kemudian giliran Ismun, yang dengan tenang menjelaskan rencananya untuk menciptakan OSIS yang lebih inklusif dan memperhatikan seluruh siswa. Gayanya yang tenang dan bijak membuat banyak orang tertarik.

Dan akhirnya, giliran Shifah. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke podium. Hatinya berdebar kencang, tetapi wajahnya tetap tenang. Dia memaparkan idenya tentang kepemimpinan yang lebih terbuka dan transparan, di mana setiap siswa bisa berkontribusi aktif dalam pengambilan keputusan. Tepuk tangan riuh mengisi ruangan saat dia mengakhiri pidatonya. Ada rasa bangga yang menyelimuti hatinya—dia tahu dia telah memberikan yang terbaik.

Namun, malam harinya, saat dia tengah merenung, ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari Ismun: *"Kamu tadi luar biasa. Aku jadi semakin nggak yakin bisa menang lawan kamu, haha."*

Shifah tertawa kecil membaca pesannya. Tapi, ada hal yang menggantung di pikirannya. Perasaan ini tak bisa terus dia sembunyikan.

”Ismun, ada sesuatu yang mau aku bilang..." 

Pesannya terhenti. Dia tak tahu apakah ini saat yang tepat. Namun, sebelum dia sempat memikirkan lebih jauh, pesan balasan dari Ismun masuk: "Aku juga sebenarnya mau bilang sesuatu. Ini soal kita... Mungkin nggak pas sih di momen ini, tapi aku merasa ada sesuatu di antara kita."

Jantung Shifah berdebar lebih cepat. Dia tidak sendirian dalam merasakan ini. Ismun juga merasakan hal yang sama.

Namun, kenyataan kembali menghantam. Mereka adalah lawan politik di ajang Pemilos ini. Apa yang akan terjadi jika orang-orang tahu? Bagaimana jika hal ini memengaruhi hasil pemilihan?

Di hari pemilihan, ketegangan terasa di seluruh sekolah. Shifah terus berusaha fokus pada misinya. Namun, saat melangkah ke TPS untuk memberikan suara, dia bertemu pandang dengan Ismun di kejauhan. Mereka bertukar pandang sejenak, senyum kecil menghiasi wajah mereka.

Saat penghitungan suara dimulai, detik demi detik terasa sangat lambat. Shifah menggenggam erat ponselnya, menunggu hasil akhir. Suara Yuanas dan Ismun sama-sama tinggi, namun suara untuk Shifah juga tak kalah banyak. Hingga akhirnya, pengumuman resmi disampaikan: Shifah terpilih sebagai Ketua OSIS.

Sekolah riuh dengan tepuk tangan. Namun di tengah kegembiraan itu, hati Shifah dipenuhi rasa bingung. Dia baru saja memenangkan pemilihan, tetapi pikirannya langsung tertuju pada satu orang—Ismun.

Ketika semua orang mulai meninggalkan aula, Ismun menghampirinya. “Selamat, Shifah,” katanya dengan senyum tulus, meski ada rasa sedikit getir dalam suaranya.

Shifah tersenyum, meski hatinya dipenuhi berbagai emosi. “Makasih, Ismun. Tapi... tentang kita...”

Ismun mengangguk, seolah tahu apa yang akan dia katakan. “Kita bisa bicara nanti. Sekarang, kamu nikmati dulu kemenanganmu.”

Mereka saling menatap untuk beberapa saat, sebelum Ismun perlahan berbalik pergi, meninggalkan Shifah yang berdiri di tengah aula yang sepi. Meski hatinya penuh kemenangan, Shifah tak bisa mengabaikan rasa lain yang kini muncul—bahwa mungkin, ada hal yang lebih besar dari sekadar kemenangan ini.

Rabu, 25 September 2024

Antara Cinta dan Teman

 


Hari-hari Salsa di SMP favoritnya di Demak selalu penuh keceriaan. Dengan teman-teman yang ceria, ia menikmati setiap detik di kelas 9. Namun, di balik senyumannya, ada cerita yang tidak ia sadari: seorang teman pria bernama Resky selalu mengikuti langkahnya dari jauh.

Resky adalah sosok yang pendiam, sering terlihat tersenyum setiap kali Salsa lewat. Salsa mengira Resky hanya tertarik pada Livi, teman baiknya yang ceria dan penuh pesona. Livi, dengan senyuman menawannya, selalu menarik perhatian banyak orang, termasuk Resky. Namun, Salsa tak tahu bahwa di balik sikapnya yang tenang, Resky sebenarnya menyimpan perasaan mendalam untuknya.

Suatu hari, saat Salsa dan Livi duduk di taman sekolah, Livi mengungkapkan harapannya. “Salsa, aku suka sama Resky. Kamu pikir dia juga suka sama aku?” Salsa terkejut mendengar pengakuan itu. Dalam hatinya, ia berusaha menenangkan diri, padahal ia tahu bahwa Resky sebenarnya tidak memperhatikan Livi seperti yang diharapkannya.

“Saya rasa… Resky tidak tertarik pada siapapun, Livi. Dia lebih sering melihat ke arahku,” jawab Salsa dengan ragu, merasa bingung antara ingin jujur dan melindungi perasaan temannya. 

Malam harinya, Salsa tidak bisa tidur. Ia teringat tatapan Resky yang sering tertangkapnya. Ada sesuatu yang berbeda di antara mereka, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Rasa bingungnya semakin dalam ketika keesokan harinya, Resky berani menghampirinya.

“Hey, Salsa. Boleh kita bicara sebentar?” tanya Resky, suaranya lembut namun tegas. Jantung Salsa berdebar kencang. Ia mengangguk, berusaha menahan rasa gugupnya.

Di pojok sekolah, di bawah pohon rindang, Resky mulai berbicara. “Salsa, aku… aku suka kamu. Selama ini aku mengikuti kamu, dan aku tidak bisa menahan perasaanku lagi,” ungkapnya. Kata-kata itu seperti petir menyambar dalam benak Salsa. Semua asumsi dan kebingungan akhirnya terjawab.

Namun, saat rasa bahagia itu muncul, ia teringat pada Livi. “Resky, aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Livi menyukaimu,” jawabnya dengan suara bergetar. Ekspresi Resky berubah, tampak kecewa, tetapi dia berusaha tersenyum.

“Aku hanya ingin jujur padamu. Jika kamu tidak merasa sama, aku akan menghormatinya,” katanya. Dalam hati, Salsa merasa terjebak. Di satu sisi, ia ingin menerima perasaan Resky, tetapi di sisi lain, ia tidak ingin menyakiti Livi.

Hari-hari berikutnya, ketegangan terus menyelimuti hubungan mereka. Salsa merasa bersalah karena mengabaikan Livi yang berharap mendapatkan Resky. Sementara itu, Resky semakin menjaga jarak, mencoba menghormati keputusan Salsa. 

Suatu sore, Salsa memutuskan untuk berbicara dengan Livi. “Livi, ada sesuatu yang perlu aku katakan. Resky suka padaku, tapi aku juga tidak ingin menyakitimu,” ungkapnya. Livi terkejut, tetapi setelah beberapa saat, ia menghela napas dan tersenyum. “Salsa, aku tidak ingin memperjuangkan seseorang yang tidak mencintaiku. Jika Resky mencintaimu, aku akan mendukung kalian.”

Pernyataan Livi mengubah segalanya. Salsa merasa beban di hatinya berkurang, dan ia menyadari bahwa ia harus memilih untuk mengikuti perasaannya sendiri. Dengan keberanian baru, ia mencari Resky dan mengatakan, “Aku juga suka padamu. Mari kita coba bersama.”

Resky tersenyum lebar, dan dari situ, mereka mulai menjalin hubungan yang tulus. Walaupun ada ketegangan di awal, mereka belajar untuk saling menghargai satu sama lain, termasuk Livi yang tetap menjadi teman baik mereka. 

Dalam perjalanan cinta yang rumit ini, Salsa menyadari bahwa hidup tak selalu mudah, tetapi dengan keberanian dan kejujuran, mereka bisa menemukan kebahagiaan bersama.

Minggu, 22 September 2024

Debat Hati Asyifa


Asyifa duduk dengan anggun di samping panggung kecil itu, jemarinya dengan lincah memegang microphone. Hari itu, sekolahnya mengadakan acara debat SMP dalam rangkaian pembelajaran P5 bertema “Suara Demokrasi”. Sebagai MC, tugasnya adalah memastikan acara berjalan lancar dan teratur. Namun, di balik profesionalisme yang ia jaga, ada sesuatu yang menggetarkan hatinya hari itu—Barry.

Sosok lelaki remaja itu adalah salah satu peserta debat. Barry, dengan timnya, berdiri di depan podium, bersiap untuk adu argumen dengan kelompok lawan. Dengan postur tegap dan percaya diri, ia tampak tak terintimidasi oleh suasana formal. Malahan, ia memancarkan semangat yang membuat Asyifa diam-diam terpukau. Tidak hanya wajahnya yang teduh dan caranya berbicara yang tenang, tetapi cara Barry mengemukakan pendapat membuat jantung Asyifa berdebar lebih cepat dari biasanya.

Debat dimulai. Suara Barry mengalun tegas saat ia menyampaikan argumennya. Matanya tajam, memancarkan keyakinan akan pendapat yang ia perjuangkan. Asyifa, yang seharusnya fokus pada jalannya acara, mendapati dirinya mulai hanyut dalam argumen-argumen Barry. Rasanya, setiap kata yang keluar dari mulut Barry begitu masuk akal dan mengesankan. Ada ketertarikan yang semakin kuat, yang tak bisa ia abaikan.

Sesekali, Asyifa mencuri pandang ke arah Barry, dan di setiap pandangannya, ia mendapati hatinya berdegup kencang. “Apa yang terjadi padaku?” batinnya. Setiap detik terasa semakin sulit untuk mengendalikan perasaannya yang tiba-tiba mekar. Barry, dengan segala kesederhanaan dan karismanya, tanpa sadar telah menempati ruang khusus di hati Asyifa.

Debat itu berjalan sengit, tapi bagi Asyifa, perhatian utamanya hanya tertuju pada satu orang. Setiap kali Barry berbicara, Asyifa mendengarkan dengan saksama. Saat lawan bicaranya melontarkan argumen balasan, Barry tak goyah. Ia mampu mempertahankan pendapatnya dengan sangat baik, seolah tidak ada yang bisa menandinginya. Hati Asyifa semakin kagum. 

Ketika debat berakhir, Asyifa kembali ke tugasnya sebagai MC. Namun, kali ini ada kegugupan yang tidak biasa. Biasanya, ia mampu menutup acara dengan penuh percaya diri dan keceriaan, tapi kali ini berbeda. Ia berjalan ke panggung dengan langkah yang sedikit ragu. Di dalam hatinya, terjadi konflik antara profesionalisme dan perasaannya yang sedang bergejolak.

“Asyifa, fokus!” bisiknya dalam hati. Namun, itu tak mudah. Barry masih ada di sana, berdiri di barisan depan bersama timnya. Sorotan mata Asyifa tak bisa berpaling dari sosoknya. 

“Terima kasih kepada seluruh peserta debat yang sudah tampil luar biasa pada hari ini,” ucap Asyifa dengan suara sedikit bergetar. “Dan tentunya kepada penonton yang sudah hadir, serta semua pihak yang telah membantu jalannya acara.”

Saat matanya tak sengaja bertemu dengan pandangan Barry, Asyifa merasa seolah dunia berhenti sejenak. Jantungnya berdebar kencang. Wajahnya sedikit memerah, dan ia mulai merasa salah tingkah. Tanpa sadar, senyumnya yang ceria berubah menjadi senyum yang lebih lembut, hampir centil. Semua orang yang mengenal Asyifa pasti tahu, ada yang berbeda darinya hari itu.

Dengan sedikit grogi, Asyifa menutup acara. “Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya, dan... semoga kita bisa bertemu lagi di acara berikutnya.”

Begitu acara selesai, Asyifa segera meninggalkan panggung dengan langkah terburu-buru. Wajahnya merona, dan hatinya tak karuan. “Apa aku terlalu jelas tadi?” tanyanya dalam hati. Ia tersenyum sendiri, malu pada perasaannya yang tiba-tiba muncul. Barry mungkin tak menyadari, tapi bagi Asyifa, hari itu adalah momen spesial yang tak akan ia lupakan.

Barry telah berhasil memukau banyak orang dengan keterampilannya berdebat. Tapi di hati Asyifa, ia telah memenangi debat lain—debat perasaan.

Selasa, 17 September 2024

Faris dan Harapan yang Menggelora



Faris duduk di bangku taman sekolah, mengamati Naema dari kejauhan. Gadis cantik itu sedang tertawa ceria dengan teman-temannya, dan senyumnya yang memikat tidak bisa diabaikan. Faris merasa hatinya berdebar setiap kali melihatnya. Naema, dengan segala keindahannya, membuat Faris penasaran—kenapa gadis secantik dia bisa jatuh hati pada seorang lelaki dengan mata berbinar, yang menurut Faris, jauh dari kesan keren dan memukau.

“Apa yang kurang dari aku?” gumam Faris pada diri sendiri. “Aku punya segalanya—kekayaan, ketampanan, dan banyak teman. Kenapa bukan aku yang ada di samping Naema?”

Meskipun Faris memiliki segalanya, hatinya merasa terguncang setiap kali memikirkan Naema. Faris adalah anak dari keluarga kaya, dikenal banyak orang dan memiliki penampilan yang selalu diperhatikan. Namun, semua itu tidak cukup untuk menarik perhatian Naema. Gadis itu tampaknya lebih suka dengan lelaki yang sederhana tapi memiliki mata yang berbinar penuh semangat. Faris merasa ada yang salah, atau mungkin ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya yang membuat Naema tidak melihatnya.

“Suatu saat nanti, aku pasti bisa menaklukkannya,” tekad Faris. “Aku akan menjadi orang yang lebih baik, lebih dewasa. Saat aku sudah 17 tahun, aku akan punya segala yang Naema butuhkan. Tunggu saja, Naema. Mata berbinar itu pasti akan mengundurkan diri, dan aku akan maju untuk selalu bersamamu.”

Hari-hari berlalu, dan Faris berusaha mempersiapkan diri untuk masa depan. Dia bekerja keras di sekolah, belajar untuk mendapatkan nilai terbaik, dan bahkan mulai terlibat dalam kegiatan sosial untuk menunjukkan bahwa dia peduli. Faris ingin memperbaiki diri, bukan hanya untuk Naema, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Dia mulai menyadari bahwa mungkin apa yang dia miliki tidak selalu cukup untuk membuat seseorang jatuh hati—ia perlu menjadi pribadi yang lebih baik.

Saat hari ulang tahunnya yang ke-17 tiba, Faris merasa lebih percaya diri. Dia telah bekerja keras untuk memperbaiki dirinya, dan kini dia siap untuk menghadapi tantangan yang telah lama dia siapkan. Dengan keyakinan penuh, Faris memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Naema.

Dia mendekati Naema dengan hati berdebar. “Naema, aku ingin berbicara denganmu,” katanya dengan serius. “Aku tahu mungkin kamu tidak pernah melihatku seperti ini sebelumnya, tapi aku sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargaimu dan aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Naema menatap Faris dengan kaget. Ada sesuatu yang berbeda dari Faris hari ini. Bukan hanya penampilannya, tetapi juga caranya berbicara. Dia tampak lebih dewasa dan tulus. Naema tersenyum lembut. “Faris, aku senang melihat perubahanmu. Tapi, aku sudah terbiasa dengan seseorang yang sudah ada di hidupku. Aku menghargai perasaanmu, dan aku berterima kasih karena kamu telah berusaha.”

Meskipun Faris merasa kecewa, dia juga merasa lega. Dia menyadari bahwa usaha dan perubahannya bukan hanya untuk mendapatkan Naema, tetapi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dia tidak lagi terikat pada harapan yang tidak realistis, melainkan lebih pada perjalanan pribadi yang telah dia jalani.

Faris tersenyum pada Naema dan berkata, “Terima kasih, Naema. Aku benar-benar menghargai jujur kamu. Semoga kita bisa tetap berteman dan saling mendukung.”

Naema tersenyum kembali, “Tentu saja, Faris. Aku juga berharap yang terbaik untukmu.”

Dengan perasaan yang campur aduk, Faris melangkah pergi, namun dengan kepastian bahwa perjalanan hidupnya belum selesai. Dia telah belajar banyak dari pengalaman ini dan tahu bahwa cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang menghargai diri sendiri dan orang lain. Faris merasa siap menghadapi dunia dengan sikap baru, siap untuk mengejar mimpi-mimpinya tanpa terikat pada harapan yang tak pasti.

Lita dan Rasa Beraninya

 


Lita adalah seorang remaja yang tergolong pemalu. Ketika di sekolah, dia lebih suka duduk di belakang kelas, menunduk, dan menghindari kontak mata dengan siapa pun. Jika ada sesuatu yang ingin dia katakan kepada temannya, dia lebih memilih menuliskannya di WhatsApp daripada berbicara langsung. Namun, sesuatu yang aneh terjadi saat dia chatting. Di sana, Lita seperti berubah. Dia bisa berbicara apa saja, tanpa takut atau ragu.

Di antara semua guru, ada satu sosok yang membuatnya sangat gugup, yaitu Pak Indra, guru BK di kelasnya. Setiap kali melihat Pak Indra, Lita merasa takut dan gugup tanpa alasan yang jelas. Bahkan saat Pak Indra sekadar lewat di depannya, Lita merasa seperti ingin hilang dari pandangan. Rasa tidak berani itu semakin menjadi-jadi setiap kali Pak Indra memanggilnya ke depan kelas. Saat itu terjadi, Lita hanya bisa mengerut, menundukkan kepala, dan berharap pertemuan itu segera selesai.

Namun, berbeda ketika Lita berhadapan dengan guru lain, terutama Bu Rini, guru yang sangat dia sukai. Ketika bersama Bu Rini, Lita seperti orang yang berbeda. Dia bercakap-cakap tanpa henti, tertawa lepas, dan terlihat nyaman seperti berbicara dengan teman sebaya. Ini membuat sahabatnya, Sekar, merasa bingung. Sekar sering memperhatikan Lita yang bisa begitu takut dengan Pak Indra tapi begitu ceria dengan Bu Rini. Dia tahu bahwa Lita perlu menemukan keseimbangan, terutama dalam menghadapi orang-orang yang membuatnya merasa gugup.

Suatu hari, Sekar memberanikan diri untuk berbicara dengan Lita.

"Lita, kamu tahu nggak, kamu harus bisa berubah. Pak Indra itu nggak seseram yang kamu pikirkan. Aku perhatikan, kamu terlalu takut sama dia, padahal dia cuma pengen kamu lebih berani dan jujur sama diri kamu sendiri," kata Sekar lembut.

Lita hanya mengangguk pelan, namun di dalam hatinya, dia tahu Sekar benar. "Tapi gimana caranya? Aku selalu takut setiap kali melihat Pak Indra," jawab Lita dengan nada ragu.

"Aku pernah dengar bahwa ketakutan itu sering kali hanya ada di pikiran kita. Coba deh kamu berani bicara duluan sama Pak Indra, siapa tahu dia malah bisa bantu kamu," Sekar memberi saran.

Hari-hari berlalu, dan nasihat Sekar terus berputar di kepala Lita. Sampai suatu hari, ketika ada tugas dari Pak Indra yang menuntut mereka untuk menyelesaikan masalah pribadi dalam bentuk diskusi kelas, Lita merasa ini adalah kesempatan baginya. Dengan gemetar, dia mengangkat tangannya untuk pertama kalinya dalam diskusi itu.

"Pak Indra... saya mau coba bicara soal masalah yang saya hadapi," kata Lita pelan, tetapi cukup terdengar.

Pak Indra tersenyum. "Silakan, Lita. Aku senang kamu akhirnya mau berbicara."

Dengan perasaan gugup tapi bersemangat, Lita mulai menceritakan ketakutannya, terutama tentang bagaimana dia merasa takut untuk berbicara di depan umum dan mengakui bahwa dia selalu merasa tertekan saat harus berhadapan dengan Pak Indra.

Pak Indra mendengarkan dengan seksama dan memberi respons yang tak terduga. "Lita, aku nggak pernah berniat untuk menakut-nakuti kamu. Tugas guru BK adalah membantu kalian merasa nyaman dan bisa menjadi versi terbaik dari diri kalian. Aku bangga kamu sudah mulai berani."

Mendengar itu, hati Lita terasa lega. Dia menyadari bahwa rasa takutnya selama ini hanya ada dalam pikirannya, dan bahwa Pak Indra, seperti yang dikatakan Sekar, sebenarnya sangat ingin membantunya.

Sejak hari itu, Lita perlahan berubah. Dia mulai berani berbicara di kelas, tidak hanya dengan Bu Rini, tetapi juga dengan guru-guru lain, termasuk Pak Indra. Sekar terus mendukung Lita dalam perubahannya, dan mereka sering tertawa bersama tentang betapa lucunya ketakutan Lita dulu.

Lita belajar bahwa rasa takut hanya bisa dilawan dengan keberanian untuk mencoba. Dan dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus berkembang dan menjadi contoh bagi teman-temannya, bahwa tidak ada ketakutan yang tidak bisa diatasi dengan usaha dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya.



Dinda, Kevin, dan Rasa yang Salah



Istirahat siang itu, Dinda dengan langkah ringan menuju kelas sahabatnya, Lia. Mereka berdua memang selalu punya topik seru untuk dibahas, terutama yang sedang hangat—drama terbaru di sekolah. Kali ini, topik utamanya adalah draktor terbaru, yang katanya lebih memukau dari yang pernah mereka bayangkan. Dinda larut dalam obrolan seru, tak terasa waktu istirahat hampir habis. Bel masuk pun berbunyi, dan Dinda buru-buru kembali ke kelasnya.

Sampai di depan pintu kelas, mata Dinda langsung tertuju pada sosok Kevin. Cowok itu baru saja keluar dari kelas dengan gaya tengilnya yang khas. Rambutnya yang sedikit berantakan, tapi justru terlihat keren, membuat jantung Dinda berdetak lebih cepat dari biasanya. Hatinya dag-dig-dug tak karuan, apalagi saat mata mereka bertemu. Sejenak, Kevin tersenyum kecil, dan seketika pipi Dinda memerah. "Wah, wasshoi... dia tampan banget," pikirnya dalam hati. Tapi, Dinda tahu satu hal: meskipun tampan, Kevin juga terkenal sedikit tengil. Itu yang membuatnya ragu, tapi perasaannya justru semakin dalam setiap kali mereka berpapasan.

Hari-hari berlalu, dan Dinda merasa dirinya makin sulit mengendalikan perasaannya. Setiap kali Kevin ada di dekatnya, dia tak bisa menahan jantungnya yang berdegup kencang. Setiap gerak-gerik Kevin seakan menghipnotisnya. Kevin memang sering tersenyum atau menyapa, tapi Dinda selalu merasa Kevin melakukan itu kepada semua orang, bukan hanya dirinya.

Suatu hari, saat sedang duduk di kantin bersama Lia, Dinda melihat Kevin sedang berbicara dengan teman-temannya di meja sebelah. Sekali lagi, jantung Dinda berdebar keras. “Kapan sih, gue berhenti salting begini?” gumamnya, merasa malu pada dirinya sendiri. Lia, yang mendengar itu, hanya tertawa kecil. "Dinda, kamu tuh lucu banget. Kevin itu ya, sama semua orang sikapnya gitu. Jangan kebanyakan berharap deh."

Kata-kata Lia terngiang-ngiang di kepala Dinda. Semakin dia memikirkan hal itu, semakin dia merasa kecil. Kenapa dia selalu berharap lebih pada Kevin? Padahal, Kevin tidak pernah memberikan sinyal yang jelas. Setiap kali Dinda berusaha mendekati Kevin, rasanya ada tembok yang tidak bisa dia tembus. Kevin memang ramah, tapi hanya sebatas itu. Tak ada hal spesial yang Kevin tunjukkan padanya.

Puncaknya, suatu sore saat pulang sekolah, Dinda melihat Kevin sedang berbicara dengan seorang cewek dari kelas lain. Cewek itu, Maya, cantik dan populer. Senyum Kevin tampak begitu tulus saat mereka bercanda bersama. Hati Dinda serasa remuk. Dia mulai merasakan bahwa Kevin mungkin bukanlah orang yang selama ini dia bayangkan. Semua harapan dan khayalan tentang Kevin tampak sia-sia.

Dinda pulang dengan perasaan kacau. Di kamar, dia merenung, bertanya-tanya kenapa selama ini dia begitu terpaku pada Kevin. Apakah hanya karena tampangnya yang tampan? Atau mungkin karena bayangan yang Dinda buat sendiri tentang siapa Kevin? Semakin dipikirkan, semakin dia merasa bodoh. Ternyata, selama ini dia hanya terperangkap dalam perasaannya sendiri, berharap menjadi seseorang yang spesial untuk Kevin, padahal Kevin bahkan tidak pernah menganggapnya istimewa.

Malam itu, Dinda menangis. Tapi di balik air matanya, ada rasa lega. Lega karena akhirnya dia sadar, Kevin bukanlah orang yang tepat untuknya. Kevin hanyalah sosok idola semu yang tak pernah benar-benar peduli. Dinda akhirnya memutuskan untuk berhenti berharap pada Kevin, berhenti membayangkan hal-hal yang tidak akan pernah terjadi.

Keesokan harinya, Dinda pergi ke sekolah dengan perasaan baru. Meski masih ada sedikit rasa kecewa, tapi dia tahu satu hal: dia tak butuh Kevin untuk merasa istimewa. Dia bisa menjadi spesial dengan caranya sendiri, tanpa harus berharap pada orang lain yang bahkan tidak pernah memperhatikannya lebih dari sekadar teman biasa.

Dan dengan senyum tipis, Dinda berjalan melewati Kevin tanpa merasakan debaran yang sama seperti sebelumnya. Hari itu, Dinda akhirnya bisa melangkah tanpa bayang-bayang Kevin di hatinya.

Sabtu, 14 September 2024

Kebencian yang Berbalik



Di bawah langit senja yang mulai memerah, Najwa duduk di beranda rumahnya. Matanya menatap lurus ke depan, namun pikirannya berkelana jauh, penuh dengan rasa benci. Kebenciannya pada Reno, lelaki yang pernah membuatnya percaya, sudah begitu mendalam hingga setiap kali mendengar namanya, detak jantungnya seolah berubah menjadi gemuruh badai.

"Najwa, aku dengar Reno tertarik sama kamu," ujar Naewa, sahabat terdekatnya, saat mereka sedang berjalan pulang dari sekolah beberapa hari yang lalu.

Najwa menoleh dengan tatapan tajam. "Jangan bercanda, Naewa. Aku benci dia," suaranya dingin.

Naewa terkekeh, seolah tidak mengindahkan ketegangan yang jelas di udara. "Kebencian itu bisa berubah jadi cinta, tau? Hati-hati loh!"

Mendengar itu, Najwa meledak. "Apa maksudmu?! Aku tak pernah akan jatuh cinta pada orang sepicik dia!"

Naewa terdiam. Dia tak menyangka Najwa akan bereaksi sekeras itu. Namun, dia hanya tersenyum kecil, memilih untuk tidak memperpanjang perdebatan. Tapi Najwa terus bergelut dengan pikirannya sendiri, mengingat semua hal yang membuatnya membenci Reno.

Reno bukan orang asing bagi Najwa. Mereka satu sekolah, sering bertemu di berbagai acara, dan bahkan pernah mengerjakan beberapa proyek bersama. Di mata orang lain, Reno adalah sosok yang kharismatik, ramah, dan selalu bisa mencairkan suasana. Tapi di mata Najwa, dia hanyalah seorang pengecut yang selalu bersembunyi di balik senyum palsunya.

Suatu hari, ketika mereka masih saling kenal secara baik, Reno pernah membuat janji besar. Dia berjanji akan membantu Najwa dalam salah satu proyek pentingnya. Namun, di saat-saat krusial, Reno menghilang tanpa kabar. Proyek itu gagal, dan Najwa merasa dipermalukan. Sejak itu, Najwa menyimpan dendam.

Beberapa minggu berlalu sejak Naewa mengungkapkan hal yang membuat Najwa geram. Kabar bahwa Reno tertarik padanya membuat darah Najwa mendidih. Dia tidak percaya seseorang seperti Reno bisa berani memikirkan hal itu.

Di sisi lain, Reno sendiri tidak menyadari kebencian mendalam Najwa. Hingga suatu hari, Putra, sahabat Reno, memberitahunya. "Bro, gue denger kabar kalau Najwa benci banget sama lo. Gimana tuh?"

Reno mengernyit. "Serius? Gue nggak pernah merasa ngelakuin hal buruk ke dia."

"Ya, mungkin ada hal yang lo nggak sadar, Ren. Gue cuma ngasih tahu biar lo siap-siap."

Reno mulai berpikir ulang tentang semua interaksi mereka di masa lalu. Mungkin ada sesuatu yang dia lewatkan. Tapi, di sisi lain, dia masih merasa ada ketertarikan yang tak bisa dijelaskan pada Najwa. Meskipun sekarang, semuanya terasa jauh lebih rumit.

Satu sore, Reno memutuskan untuk mengakhiri kebingungannya. Dia menunggu Najwa di luar sekolah mencoba mencari momen untuk berbicara dengannya. Najwa, yang keluar bersama Naewa, langsung berhenti saat melihat Reno di depannya.

"Najwa, gue mau ngomong," kata Reno dengan suara rendah tapi tegas.

Najwa hanya menatapnya dengan dingin. "Ngomong apa lagi? Gue nggak ada urusan sama lo."

"Gue denger lo benci sama gue. Gue nggak tahu apa yang salah, tapi gue mau jelasin—"

"Jangan buang waktu gue, Reno! Gue benci lo, titik!" teriak Najwa, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh.

Reno menahan napas. "Gue nggak mau lo salah paham. Gue pernah bikin kesalahan, tapi gue nggak pernah punya niat buruk sama lo."

Najwa mendekat, menatap mata Reno dengan penuh kebencian. "Lo pikir cuma minta maaf bakal nyelesain semuanya? Gue nggak peduli! Lo nggak penting buat gue!"

Naewa, yang berdiri di samping Najwa, mencoba menenangkan sahabatnya. "Najwa, cukup. Dia cuma mau jelasin..."

"Lo juga diam!" Najwa membentak, membuat Naewa terkejut. Untuk pertama kalinya, Najwa membentaknya di depan orang lain. Naewa tak percaya sahabat yang dia kenal bisa berubah seganas ini.

Mata Naewa berkaca-kaca. "Najwa, gue cuma mau bantu lo. Jangan biarkan kebencian lo menghancurkan persahabatan kita."

Najwa terdiam, sadar bahwa dia telah melampaui batas. Namun, kebenciannya pada Reno masih terlalu kuat, mengaburkan logika dan perasaannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan pergi, meninggalkan Reno dan Naewa yang terluka.

Di perjalanan pulang, Najwa menangis. Bukan karena Reno, tapi karena dirinya sendiri. Naewa benar. Kebenciannya yang begitu dalam pada Reno mulai mengubahnya menjadi seseorang yang dia benci. Dia membenci dirinya sendiri karena membiarkan perasaan itu menguasainya.

Sementara itu, Reno hanya bisa terdiam. Dia tak pernah mengira kebencian Najwa padanya akan sebesar ini. Tapi dalam hatinya, dia tetap yakin ada alasan yang lebih dalam di balik semua ini. Mungkin kebencian itu bukan hanya tentang kegagalan proyek. Mungkin, ada sesuatu yang lebih personal, sesuatu yang belum pernah mereka ungkapkan.

Naewa yang melihat keduanya terluka, tahu satu hal. Kebencian memang bisa memakan segalanya, bahkan hal yang baik di dalam hati seseorang. 

Dan Najwa? Mungkin, kebencian itu tidak akan bertahan selamanya.

Jumat, 13 September 2024

Binar di Matanya

 


Naema duduk di bangku taman, pandangannya terpaku pada sosok Fariz yang sedang berbicara dengan teman-temannya di kejauhan. Lelaki itu memang selalu berhasil mencuri perhatianku, pikirnya. Dengan rambutnya yang berantakan namun tetap terlihat sempurna, senyumnya yang lebar dan penuh kehangatan, Fariz selalu mampu membuat jantung Naema berdebar tanpa kendali.

Setiap kali Fariz tertawa, matanya berkilau, seolah-olah ada cahaya khusus yang hanya dia miliki. Binar di matanya itu, yang membuat Naema semakin jatuh dalam perasaannya sendiri. Ah, andai saja dia tahu apa yang kurasakan.

Naema hanya bisa menikmati kehadiran Fariz dari kejauhan. Setiap hari mereka bertemu, berbicara sekilas atau bertukar senyum singkat, tetapi tak lebih dari itu. Meski perasaannya kian kuat, Naema terlalu takut untuk mengungkapkannya. Dia selalu bertanya-tanya apakah Fariz merasakan hal yang sama. Atau mungkin ada perempuan lain yang telah berhasil menarik perhatiannya?

Saat Fariz berbalik dan tanpa sengaja menangkap pandangan Naema, mereka bertatapan sejenak. Naema tersentak, tak siap dengan kontak mata itu, tetapi Fariz tersenyum, senyum yang selalu membuat Naema merasa seolah dunia berhenti sejenak. Senyum itu cerah, menawan, dan begitu tulus. Seolah mengundang Naema untuk turut merasakan kebahagiaan yang Fariz rasakan.

Naema menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. Kenapa aku selalu seperti ini? batinnya.

Ketika dia mengangkat kepala lagi, Fariz sudah melangkah mendekat, senyumnya tetap tak berubah. Naema merasakan dadanya berdegup lebih kencang. Apa yang dia lakukan? Kenapa dia ke sini?

“Hei, Naema!” Fariz menyapanya, suaranya selalu ceria dan penuh semangat. "Lagi sendiri aja?"

Naema menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Iya, lagi santai aja. Kamu gimana?"

“Ah, sama aja. Cuma lagi butuh udara segar setelah kelas tadi,” jawabnya sambil duduk di sebelah Naema, tanpa ada jeda ragu.

Kehangatan tubuhnya terasa begitu dekat, membuat Naema semakin gugup. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan melihat ke sekitar taman, tetapi matanya selalu kembali ke Fariz.

Fariz tampak santai, mengayunkan kakinya ringan sambil memandangi langit biru di atas mereka. "Kamu suka banget duduk di taman sini, ya?" tanya Fariz tiba-tiba.

Naema mengangguk pelan. "Iya, adem di sini. Aku suka suasananya."

Fariz mengangguk, tersenyum lagi. "Aku suka cara kamu menikmati hal-hal kecil, Naema. Kamu selalu kelihatan tenang."

Naema terkejut mendengar kalimat itu. Dia memperhatikan? pikirnya. Jantungnya berdegup makin kencang, tetapi dia mencoba tersenyum. “Oh, gitu ya? Aku nggak nyangka kamu bakal ngeh.”

Fariz tertawa kecil. "Ya jelas lah, aku perhatiin kamu sering banget di sini. Tapi kamu selalu kelihatan asyik sendiri, jadi aku nggak mau ganggu."

Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan yang justru terasa nyaman. Naema, yang biasanya canggung saat berhadapan dengan Fariz, merasa anehnya kali ini dia bisa lebih tenang. Mungkin karena kehangatan di sekelilingnya, atau mungkin karena kali ini, Fariz yang mendekat terlebih dulu.

“Naema,” suara Fariz memecah keheningan, sedikit lebih serius dari sebelumnya. “Aku mau tanya sesuatu.”

Naema menoleh, hatinya langsung was-was. "Tanya apa?"

Fariz terlihat ragu sejenak, tetapi kemudian menghela napas dan berkata, "Aku tahu ini mungkin agak mendadak, tapi aku sudah lama mikirin ini. Kamu… kamu merasa nyaman nggak sih tiap kali kita bareng?"

Naema mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaannya. “Nyaman gimana maksudnya?”

Fariz menggaruk belakang kepalanya, tampak sedikit gugup. “Ya, maksudku… kamu sering senyum tiap kali kita ketemu, tapi aku nggak tahu apakah kamu merasa sama seperti yang aku rasakan.”

Naema merasa jantungnya hampir berhenti. Apakah ini yang kupikirkan? Apakah Fariz juga punya perasaan yang sama? Dia menatap Fariz, berusaha membaca ekspresi wajahnya, tetapi Fariz terus menatap tanah, seolah menunggu jawaban yang mungkin sulit diterimanya.

Dengan suara pelan, Naema akhirnya berkata, "Fariz… aku merasa sangat nyaman tiap kali kita bersama. Malah, aku sering banget mikirin tentang kamu."

Fariz akhirnya mendongak, menatap Naema dengan mata yang berkilau. “Serius?”

Naema mengangguk pelan. "Iya. Aku juga selalu berharap kamu merasakan hal yang sama."

Senyum Fariz melebar, senyum yang begitu menawan dan tulus, membuat Naema merasa begitu lega. "Naema," katanya pelan, "Aku sudah lama nunggu kamu ngomong gitu. Aku juga udah lama suka sama kamu, tapi aku nggak tahu gimana cara bilangnya."

Naema terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Fariz juga suka padaku? Hatinya meledak dengan kebahagiaan, seolah-olah semua ketakutannya selama ini menghilang dalam sekejap.

Fariz meraih tangan Naema, menggenggamnya lembut. "Aku harap kita bisa terus kayak gini, bareng-bareng. Nggak perlu buru-buru, tapi aku pengen kita saling jaga satu sama lain."

Naema mengangguk, senyumnya lebar, tak bisa disembunyikan lagi. "Aku juga pengen, Fariz."

Dan di bawah langit biru sore itu, dengan tangan mereka saling menggenggam, Naema dan Fariz tahu bahwa mereka akhirnya menemukan apa yang selama ini mereka cari—seseorang yang bisa membuat mereka merasa nyaman, bahagia, dan saling melengkapi. Binar di mata Fariz, yang selalu membuat Naema jatuh hati, kini lebih berarti dari sekadar senyuman indah. Itu adalah cinta.

Rabu, 11 September 2024

Indra di Setiap Senyumku



Natasha duduk di tepi tempat tidur, menatap lembaran kosong di buku diarinya. Jemarinya perlahan-lahan mulai menari di atas kertas, menuliskan sesuatu yang berdenyut dari hatinya. Pikiran tentang Indra, cowok yang diam-diam mencuri perhatiannya setiap hari, terus berputar di kepalanya.

"Indra..." gumam Natasha pelan sambil memikirkan wajahnya. Cowok itu, dengan kulitnya yang putih bak salju dan mata bulan sabit yang selalu membuat Natasha tersenyum setiap kali mereka bertemu. Dia seperti tak nyata, pikir Natasha. Setiap kali melihatnya, seolah dunia berhenti sejenak, dan hanya ada mereka berdua di tengah keramaian.

Indra selalu tampil sempurna. Dengan kulitnya yang putih mulus, alis tebal yang terlihat seperti hasil sempurna dari dokter kecantikan, serta bibirnya yang selalu tampak seperti terawat sempurna tanpa usaha apa pun. Namun, Natasha selalu tertawa sendiri tiap kali mengingat hidung pesek Indra yang menurutnya sangat lucu. Pesek tapi tetap memesona, pikirnya.

Natasha kemudian merenung. Bagaimana bisa cowok sesempurna itu tertarik padanya? Tapi aku juga cantik, kan? rambut panjangku selalu rapi, mataku mungkin sipit, tapi aku suka tampil percaya diri. Natasha membayangkan dirinya berdiri di depan cermin dengan senyuman. Ya, dia merasa percaya diri dengan siapa dirinya.

Saat Natasha teringat pertemuan terakhir mereka, senyumnya melebar. Waktu itu, mereka sedang duduk di taman kampus, angin sepoi-sepoi menggerakkan rambut panjang Natasha, sementara Indra tertawa dengan gaya yang khas—tawa yang membuat mata bulan sabitnya semakin menonjol. Mereka berbicara tentang banyak hal, tetapi yang Natasha ingat adalah cara Indra memperlakukannya, seolah Natasha adalah satu-satunya orang yang penting di dunia.

Namun, Natasha tahu dirinya mulai jatuh terlalu dalam. Makin hari, dia makin tak bisa menahan perasaannya. Dia ingin mengatakan semuanya pada Indra, tentang bagaimana dia selalu memikirkan cowok itu, bagaimana setiap kali Indra tersenyum, hatinya serasa berdebar lebih cepat. Tapi, ketakutan selalu membayanginya.

Satu sore, Natasha memutuskan untuk bertemu dengan Indra. Dia sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya yang makin kuat. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di dekat kampus. Hatinya berdebar saat melihat Indra sudah duduk di meja, menatapnya dengan senyuman yang khas.

"Natasha, sini duduk," panggil Indra, suaranya lembut namun penuh antusiasme. Seperti biasa, setiap kali Indra berbicara, Natasha merasa dirinya terseret ke dalam pusaran pesonanya.

Setelah beberapa menit mengobrol ringan, Natasha merasakan jantungnya mulai berdebar lebih keras. Inilah waktunya, pikirnya. Dia harus mengungkapkan perasaannya sebelum rasa takut mengambil alih lagi.

"Indra," Natasha mulai, suaranya sedikit gemetar, "Aku sebenarnya sudah lama ingin bilang sesuatu."

Indra menatapnya, alis tebalnya sedikit terangkat, memberi isyarat bahwa dia siap mendengar apapun yang Natasha katakan. "Apa itu, Nat? Kamu bisa bilang apa saja ke aku."

Natasha mengambil napas dalam-dalam. "Aku… aku nggak tahu gimana harus bilangnya, tapi selama ini aku selalu merasa nyaman setiap kali kita bersama. Kamu bikin aku tertawa, bikin aku merasa dihargai, dan… aku rasa aku sudah jatuh cinta sama kamu."

Setelah kata-kata itu keluar, Natasha merasa seperti batu besar yang jatuh dari pundaknya. Namun, kini ada ketegangan baru yang menggantung di udara. **Bagaimana kalau Indra tidak merasakan hal yang sama?** pikirnya panik.

Indra terdiam sejenak, tetapi senyumnya tidak memudar. Dia menatap Natasha dengan tatapan lembut yang seakan-akan menenangkannya. "Natasha," katanya akhirnya, "Aku sudah tahu. Aku bisa merasakan semua itu dari caramu memandang aku. Dan sebenarnya, aku juga punya perasaan yang sama."

Hati Natasha berdebar keras, namun kali ini bukan karena ketakutan. Dia menatap Indra, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Aku juga sudah lama suka sama kamu, Natasha," lanjut Indra sambil menggenggam tangan Natasha di atas meja. "Kamu selalu menjadi orang yang membuat hari-hariku lebih berwarna. Aku mungkin terlihat sempurna di matamu, tapi setiap kali kita bersama, aku merasa lebih nyata. Kamu buat aku merasa nyaman dengan siapa diriku sebenarnya."

Mendengar itu, Natasha tersenyum lebar, merasa bahagia dan lega. Semua kekhawatiran dan ketakutannya perlahan menghilang.

Sore itu berakhir dengan mereka berdua tertawa dan berbicara lebih lama dari biasanya, tanpa ada lagi keraguan yang menyelimuti. Natasha tahu, bahwa dia dan Indra, meskipun mungkin tidak sempurna di mata dunia, adalah pasangan yang sempurna untuk satu sama lain.

Dan pada akhirnya, Natasha menyadari satu hal—cinta bukan tentang seberapa sempurna seseorang, melainkan tentang bagaimana perasaan mereka saat bersama. Indra mungkin tidak sempurna, tetapi di mata Natasha, dia adalah segalanya.

Cinta di Ujung Episode

 


Sekar merentangkan kakinya di sofa sambil menatap layar laptop yang menampilkan drama Korea favoritnya, *Goblin*. Sudah hampir lima jam dia duduk di sana, tenggelam dalam kisah cinta yang tragis namun romantis. 

“Hah, gombal banget sih! Tapi kok bisa bikin baper,” gumamnya sambil mengingat kalimat yang baru saja didengarnya di episode lima. Dia tertawa sendiri, membayangkan bagaimana kalau dia ada di posisi si pemeran utama perempuan.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nama Angga muncul di layar. Sahabatnya sejak SMP itu sudah lama tidak menghubunginya. Sekar tersenyum kecil. Angga, orang yang selalu ada untuknya, tetapi tidak pernah ia sadari lebih dari sekadar teman.

“Sek, lagi ngapain?” tanya Angga di telepon, suaranya selalu ceria seperti biasa.

“Lagi marathon 'drakor' lah. Goblin lagi seru banget! Kamu harus nonton, Angga!” Sekar berseru penuh semangat.

“Aku? Nonton 'drakor' ? Hahaha, yang bener aja,” jawab Angga sambil tertawa.

“Eh, jangan salah! Kamu mungkin suka. Ada adegan seru tadi, kalimatnya kayak, ‘hatiku bergetar seperti pendulum, dan aku tahu dia cinta pertamaku.’” Sekar mengulang kalimat itu dengan dramatis, membuat Angga tertawa.

“Haha, gombal banget. Kamu cocok banget deh kalo jadi aktris drama Korea, Sek.”

Sekar tertawa mendengar candaan itu, tetapi di dalam hati, ada sesuatu yang mengusik. Bagaimana kalau kalimat itu bukan cuma dari drama, tapi ada seseorang yang benar-benar membuat hatinya bergetar? Namun, siapa?

“Eh, Angga, kapan-kapan kita nonton bareng ya. Siapa tahu kamu ketagihan,” kata Sekar mengalihkan topik, meski hatinya mulai bingung sendiri.

Angga menghela napas pelan. “Sek, sebenarnya aku mau ngomong sesuatu.”

Sekar bisa mendengar nada serius di balik suara Angga, membuatnya tiba-tiba waspada. "Apaan nih, serius banget suaranya."

"Besok aku pindah, Sek."

Sekar terdiam sejenak, bingung. “Pindah? Ke mana?”

“Ke luar kota. Aku dapat kerja di Bandung. Sudah fix, aku berangkat besok pagi.”

Sekar tertegun. "Kok mendadak banget? Kenapa gak bilang dari kemarin-kemarin?"

"Maaf, aku juga baru dapat kepastian kemarin. Aku nggak mau bikin kamu khawatir."

Hati Sekar berdebar, seperti ada yang jatuh tiba-tiba. Angga, yang selalu ada di sisinya selama ini, akan pergi? Dan selama ini dia tidak pernah benar-benar menghargai keberadaan Angga. Apakah ini yang disebut cinta? Atau cuma perasaan takut kehilangan sahabat?

“Kita masih bisa ketemu kan? Kamu sering balik ke Jakarta kan?” tanya Sekar, mencoba menenangkan hatinya.

“Ya, mungkin. Tapi nggak bakal sesering dulu,” jawab Angga lirih.

Malam itu, Sekar tak bisa tidur. Pikirannya terus berputar pada Angga, pada semua kenangan mereka, dan pada perasaan yang tak pernah ia sadari selama ini. Apakah Angga cinta pertamanya? Apakah hatinya juga bergetar seperti pendulum setiap kali Angga ada di dekatnya?

Besok pagi, Sekar nekat. Dia mengambil kunci mobil dan melaju menuju stasiun, berharap masih bisa mengejar Angga sebelum kereta berangkat.

Saat dia tiba, kereta sudah hampir meninggalkan peron. Sekar berlari sekuat tenaga, berusaha mencari sosok Angga di tengah kerumunan. 

“Angga!” Sekar berteriak, napasnya terengah-engah.

Angga, yang baru saja masuk ke dalam kereta, menoleh. Wajahnya terkejut melihat Sekar yang berdiri di ujung peron, tampak bingung dan cemas.

Sekar tak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba, semua kalimat yang ingin ia sampaikan menghilang begitu saja. Haruskah dia bilang bahwa hatinya bergetar? Bahwa mungkin Angga adalah cinta pertamanya?

“Sek, ngapain kamu di sini?” tanya Angga sambil mendekat ke pintu kereta.

Sekar hanya bisa menatap Angga dalam-dalam, seperti menunggu kata-kata muncul dari pikirannya. Akhirnya, dengan suara pelan, dia berkata, “Aku… aku nggak mau kamu pergi tanpa tahu sesuatu.”

Angga mengernyitkan dahi. “Apa itu, Sek?”

Sekar menelan ludah, hatinya berdebar kencang. “Aku... aku nggak tahu kenapa, tapi sejak kamu bilang akan pergi, aku merasa ada yang hilang. Kayak, kamu lebih dari sekadar teman buat aku.”

Angga terdiam sejenak, tampak terkejut. Kereta mulai bergerak pelan, membuat Angga semakin jauh dari tempat Sekar berdiri. Dia menatap Sekar dengan tatapan yang sulit diartikan. 

"Angga! Kamu cinta pertamaku!" Sekar akhirnya berteriak, tak peduli lagi dengan orang-orang di sekitarnya.

Angga tersenyum kecil dari balik jendela, kemudian mengangkat tangannya untuk melambai. "Sek, kamu juga selalu jadi sesuatu yang spesial buat aku. Tapi, kita lihat aja nanti, ya?"

Sekar berdiri terpaku, menatap kereta yang semakin menjauh. Meskipun jawaban Angga tidak langsung memberinya kepastian, dia tahu, setidaknya, perasaan itu tak hanya satu arah.

Dalam hatinya, Sekar tahu bahwa cinta pertamanya mungkin tidak berakhir seperti di drama Korea. Tapi kali ini, dia siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.

Dan mungkin, suatu hari nanti, ketika dia menonton episode terakhir dari *Goblin*, Angga akan ada di sebelahnya, tertawa dan menggombal seperti biasa.

Selasa, 10 September 2024

Mata Teduh di Ujung Senja

 


Senja telah jatuh ketika Arya mengangkat kepalanya dari buku catatan, matanya teduh, namun menyimpan sesuatu yang tak dapat Naema tebak. Hatinya berdebar, seperti biasa, setiap kali mereka tenggelam dalam obrolan panjang. Kali ini, di sebuah kafe kecil di pinggir kota, mereka kembali duduk berhadapan, meja kecil yang memisahkan mereka terasa terlalu jauh bagi Naema.

"Kamu tahu, aku selalu suka caramu menyusun kata," Naema membuka pembicaraan, berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak tidak karuan.

Arya tersenyum, senyum yang begitu familiar tapi tetap saja membuat Naema merasa ada ribuan kupu-kupu dalam perutnya. "Kamu selalu tahu bagaimana membuat obrolan kita menarik, Ne," jawab Arya dengan nada rendah.

Naema hanya bisa menunduk, menatap cangkir kopi yang sudah setengah kosong di depannya. Seringkali, dia ingin mengungkapkan lebih, tentang perasaannya, tentang bagaimana dia tak pernah bisa berhenti memikirkan tatapan mata Arya yang dalam dan penuh misteri itu. Tapi setiap kali kata-kata itu mendekati bibirnya, dia menariknya kembali, takut merusak semua yang sudah ada.

"Mungkin... ada sesuatu yang ingin aku sampaikan, Arya," kata Naema perlahan, mencoba memecah kebekuan. 

Arya mengangkat alis, menyilangkan lengannya di atas meja. "Apa itu? Kamu selalu bisa bilang apa saja ke aku."

Naema menelan ludah, merasa lidahnya mendadak kelu. "Ah, tidak. Lupakan. Aku hanya sedang bingung dengan perasaanku sendiri."

Arya tersenyum tipis, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. "Put, kamu tahu? Aku sudah lama ingin bilang sesuatu juga."

Jantung Naema semakin berdebar. Apakah Arya akan mengatakan sesuatu yang selama ini Naema harapkan?

Tiba-tiba, ponsel Arya berdering. Dia melihat nama di layar dan wajahnya berubah. "Maaf, aku harus angkat telepon ini. Ini penting," ucapnya, kemudian berdiri dan melangkah menjauh, meninggalkan Naema dengan segudang tanya.

Naema memperhatikan punggung Arya yang menjauh, mencoba menenangkan hatinya yang mulai diliputi kecemasan. Siapa yang menelepon? Mengapa raut wajahnya berubah begitu?

Tak lama, Arya kembali. Ekspresinya datar, senyumnya tak lagi tergambar. "Naema, aku... ada sesuatu yang harus aku selesaikan dulu. Aku nggak bisa lama di sini."

Hati Naema serasa jatuh ke lantai. "Oh, oke. Apa ada masalah?"

Arya hanya menggeleng pelan, "Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Aku akan cerita lain kali."

Malam itu berakhir lebih cepat dari biasanya. Naema merasa ada sesuatu yang tidak beres, namun dia tidak berani bertanya lebih jauh. Sesampainya di rumah, Naema menulis di buku diarinya seperti biasa.

"Teduhnya mata Arya selalu berhasil membuatku tenang. Namun kali ini, ada badai di sana yang tidak mampu kupecahkan. Apa yang kau sembunyikan, Arya?"

Hari-hari berlalu, dan Arya semakin jarang menghubungi. Naema merasa dunianya yang penuh dengan obrolan panjang dan tatapan dalam dari Arya perlahan menghilang. Hingga suatu malam, Arya mengirim pesan.

"Ne aku harus jujur. Ada seseorang yang kembali ke hidupku. Seseorang dari masa lalu yang belum sepenuhnya selesai. Aku harus membereskan ini sebelum aku bisa melanjutkan dengan siapapun, termasuk kamu."

Nama membaca pesan itu berulang kali. Hatinya remuk. Arya, lelaki dengan tatapan teduh dan tutur kata yang selalu ia kagumi, ternyata menyimpan sesuatu yang tak pernah ia duga.

Beberapa minggu berlalu tanpa kabar dari Arya. Nama berusaha kembali seperti biasa, meski sulit. Namun, suatu sore yang tenang, ketika dia sedang duduk di meja belajarnya, sebuah surat tiba.

"Untuk Naema, pemilik hati yang tak pernah aku sadari betapa berharganya. Aku ingin kau tahu, tidak ada satu pun percakapan kita yang tidak berkesan bagiku. Namun, sebelum aku benar-benar bisa kembali, aku harus menyelesaikan kisah lama yang tertinggal. Maaf, kalau aku belum bisa ada untukmu sekarang. Tapi, jika nanti kita diberi kesempatan lagi, aku ingin kita bisa memulai dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu."

Putri membaca surat itu dengan hati yang sedikit lebih ringan. Meskipun terasa pedih, setidaknya kini dia tahu, Arya bukan menjauh karena dia. Ada hal yang memang harus diselesaikan.

Senja berikutnya, Putri duduk di kafe yang sama, kali ini sendiri. Di balik semua rasa sakit, dia menyadari satu hal—kadang, tidak semua hal harus segera selesai. Ada kalanya, kita harus memberi ruang pada waktu untuk menyembuhkan, dan mungkin, suatu hari nanti, Arya akan kembali dengan mata teduhnya, tanpa ada lagi badai di dalamnya.

Senin, 09 September 2024

Senyuman Mujib



Kansa menutup buku hariannya dengan senyum kecil yang menghiasi bibirnya. Ia baru saja menulis tentang perasaannya pada Mujib, cowok yang selalu membuat hatinya berdebar setiap kali bertemu. Mujib, sosok yang pendiam dan selalu tampak tenang, berhasil mencuri perhatian Kansa sejak mereka duduk di bangku yang sama di kelas. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Saat Kansa tidak sengaja melirik, ia mendapati Mujib sudah menatapnya terlebih dahulu—dengan senyuman. Senyuman itu membuat hati Kansa berdebar kencang.

Pikiran Kansa terus melayang-layang sepanjang hari. Mungkinkah Mujib punya perasaan yang sama? Atau mungkinkah itu hanya khayalannya saja?

Di sekolah, Kansa mulai merasa gugup setiap kali berada di dekat Mujib. Di saat yang bersamaan, teman-temannya mulai memperhatikan perubahan pada dirinya.

"Kansa, akhir-akhir ini kamu sering banget bengong. Lagi mikirin siapa?" tanya Aisyah, sahabatnya, dengan nada menggoda.

Kansa tersentak dan tersipu malu. "Ah, enggak kok, cuma kepikiran ujian minggu depan."

Namun, Aisyah tidak mudah percaya. "Jangan bohong, pasti ada yang lain! Jangan-jangan... Mujib, ya?"

Mendengar nama itu, wajah Kansa langsung memerah. "Ssst, jangan keras-keras! Gak ada apa-apa kok."

Aisyah tersenyum penuh arti. "Oke, kalau gitu. Tapi kalau memang kamu suka sama dia, coba deh kasih tanda-tanda. Siapa tahu dia juga punya perasaan yang sama."

Kansa terdiam, memikirkan saran Aisyah. Mungkin benar, mungkin Mujib juga menyukainya. Apalagi, senyuman manis itu... Kansa tidak bisa melupakan tatapan matanya.

Namun, saat harapan Kansa mulai tumbuh, sebuah kabar mengejutkan sampai ke telinganya. Di kantin, Kansa mendengar beberapa teman sekelasnya berbicara tentang seseorang yang akan memberikan bunga kepada Mujib.

"Dengar-dengar, ada cewek dari kelas sebelah yang suka banget sama Mujib. Dia bakal kasih bunga pas jam pulang nanti," kata salah satu temannya.

Hati Kansa seketika mencelos. Perasaannya yang semula berbunga-bunga kini berubah menjadi kekhawatiran. "Siapa ceweknya?" Kansa bertanya dalam hati. Rasa takut kehilangan Mujib mulai merayap dalam dirinya.

Sepanjang pelajaran terakhir, Kansa tak bisa berkonsentrasi. Pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan cewek lain yang akan memberikan bunga kepada Mujib. Apakah Mujib akan menerimanya? Apakah dia menyukai cewek itu? Pikiran-pikiran itu membuat Kansa gelisah.

Saat bel pulang berbunyi, Kansa tidak segera beranjak dari tempat duduknya. Ia mengintip dari jendela kelas, memperhatikan gerak-gerik Mujib. Dan benar saja, seorang gadis dari kelas sebelah datang menghampiri Mujib dengan sebuah buket bunga di tangannya.

Jantung Kansa berdetak kencang. Ia tidak berani melihat lebih lama, namun sesuatu di dalam dirinya membuatnya tetap terpaku. Gadis itu memberikan bunga kepada Mujib sambil tersenyum malu-malu. Kansa merasa hatinya hancur seketika.

Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Kansa terkejut. Mujib menolak bunga itu dengan lembut. Ia tersenyum ramah, namun jelas sekali ia tidak menerima perasaan gadis tersebut. Kansa menyaksikan semuanya dengan perasaan campur aduk—lega, tapi juga masih dipenuhi ketidakpastian.

Malam harinya, Kansa merenung. Apakah ini kesempatan baginya untuk lebih dekat dengan Mujib? Tapi bagaimana jika Mujib juga menolaknya, seperti gadis tadi?

Keesokan harinya, di sekolah, Kansa berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Namun, saat sedang berjalan di koridor, tiba-tiba Mujib menghampirinya.

"Kansa," panggil Mujib lembut

Kansa berhenti, jantungnya seakan berhenti berdetak. "I-iya?"

"Ada yang mau aku omongin. Kamu punya waktu?" tanyanya sambil tersenyum.

Tanpa sadar, Kansa mengangguk. Mereka berdua berjalan ke halaman belakang sekolah yang sepi. Di sana, Mujib tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku tahu ada yang aneh akhir-akhir ini. Kamu sering menghindar, kan? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"

Kansa terkejut. "Bukan begitu, aku... aku cuma bingung."

Mujib tersenyum, senyuman yang selalu membuat Kansa salah tingkah. "Sebenarnya, aku juga punya perasaan yang sama. Sudah lama aku pengen bilang, tapi aku nggak tahu gimana caranya."

Kansa membelalakkan mata. "Kamu... punya perasaan yang sama?"

Mujib mengangguk. "Iya. Dan aku nggak mau ada yang salah paham. Aku nggak suka cewek yang kemarin ngasih bunga itu. Aku cuma... suka kamu."

Hati Kansa seakan melayang. Semua kekhawatiran dan ketidakpastian lenyap dalam sekejap. Mereka saling bertatapan, dan untuk pertama kalinya, Kansa merasa semua perasaan terpendamnya terjawab.

Di Antara Persahabatan dan Cinta



Malam itu, Cintia duduk di meja belajarnya, menggoreskan pena di atas buku harian. Hatinya berdebar-debar, teringat pertemuannya dengan Dewa, cowok yang selama ini diam-diam ia kagumi. Dewa bukan sekadar teman dekat, dia juga idola kelas. Setiap kali Dewa lewat, banyak cewek yang diam-diam mencuri pandang, termasuk Cintia. Tapi malam ini berbeda. Dewa mengajaknya keluar besok malam—ini pertama kalinya mereka pergi hanya berdua.

Keesokan harinya, di sekolah, Cintia tak bisa menahan senyum. Teman-teman sekelas mulai curiga, apalagi ketika mereka melihat Dewa dan Cintia berbicara dengan lebih dekat. Saat istirahat, Gina, sahabat Cintia, tiba-tiba mendekatinya dengan wajah yang tak biasa.

“Cint, aku denger dari anak-anak kalau kamu mau keluar sama Dewa,” kata Gina dengan nada datar. 

Cintia sedikit terkejut. “Iya, kenapa? Kamu tahu dari mana?”

Gina tertawa kecil, tapi ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. “Ah, anak-anak ngomong aja. Cuma... kamu tahu kan, aku juga suka sama Dewa? Aku udah cerita lama banget soal ini.”

Hati Cintia seperti tertusuk. Ternyata, sahabatnya sendiri menyukai Dewa juga. Sebuah dilema besar membentang di hadapannya. Di satu sisi, perasaannya pada Dewa begitu kuat, namun di sisi lain, ia tak ingin merusak persahabatannya dengan Gina.

Malam itu, saat akan bertemu dengan Dewa, Cintia masih dihantui rasa bersalah. Ia berdiri di depan cermin, berkali-kali bertanya pada dirinya sendiri apakah yang dilakukannya benar. Ketika akhirnya Dewa tiba untuk menjemput, Cintia berusaha menyembunyikan kegundahannya di balik senyum.

Mereka pergi ke taman kota, duduk di bangku yang cukup sepi. Di bawah cahaya bulan, Dewa mulai bercerita tentang hal-hal yang ringan, membuat suasana terasa hangat. Namun, Cintia merasa ada sesuatu yang harus ia katakan.

“Dewa, aku harus jujur,” kata Cintia akhirnya. “Gina suka sama kamu, dan aku... aku nggak bisa ngelanjutin ini kalau bakal nyakitin dia.”

Dewa terdiam sejenak. Tatapannya lembut, seolah memahami perasaan Cintia. “Aku tahu, Cint. Gina udah bilang soal perasaannya ke aku. Tapi, aku harus jujur juga. Aku suka sama kamu, bukan Gina. Kita sahabatan bertiga, aku nggak mau nyakitin siapa pun, tapi perasaan ini nggak bisa aku paksain.”

Hati Cintia bergetar. Di satu sisi, ia merasa bahagia karena Dewa memiliki perasaan yang sama. Namun, di sisi lain, bayangan Gina terus menghantuinya. 

Beberapa hari berlalu, Cintia menghindari Gina. Ia takut merusak hubungan mereka. Namun, di suatu sore, Gina tiba-tiba datang ke rumahnya.

“Cint, aku udah tahu semuanya,” kata Gina dengan senyuman tipis. “Awalnya aku sakit hati, tapi setelah aku pikir-pikir, mungkin Dewa memang lebih cocok sama kamu. Kamu sahabat terbaik aku, dan aku nggak mau kehilangan kamu cuma karena masalah ini.”

Cintia meneteskan air mata haru. “Gina, maaf banget. Aku nggak pernah bermaksud ngerebut Dewa darimu.”

Gina memeluk Cintia erat. “Sudah, nggak perlu minta maaf. Yang penting, kita tetap sahabat. Aku yakin suatu hari aku juga bakal nemu cowok yang tepat.”

Akhirnya, Cintia merasa lega. Persahabatannya dengan Gina selamat, dan perasaannya pada Dewa berbalas. Meski sempat ada konflik, mereka akhirnya bisa melewatinya bersama-sama. Persahabatan dan cinta pun bisa berjalan seiring, tanpa ada yang harus dikorbankan

Minggu, 08 September 2024

Lintang Kamu yang di Hati


Aku masih ingat Amul. Teman dekatku saat SD yang kini sudah duduk di kelas 9 SMP. Dulu, aku biasa saja melihatnya, tak ada yang spesial. Dia hanya seorang teman, anak yang selalu datang ke sekolah dengan senyum ceria, rambut ikal khasnya yang membuat guruku kerap memanggilnya "Lintang," seperti tokoh dalam **Laskar Pelangi**.

Dulu, aku, Livi, yang tak tertarik sedikit pun. Pintar? Iya, Amul memang pintar, tapi waktu itu aku lebih sibuk dengan dunia kecilku—main lompat tali, kumpul dengan geng cewek, atau sekadar ngobrol hal-hal remeh. Sedangkan Amul? Dia hanyalah anak yang sering menyelesaikan soal matematika lebih cepat dari orang lain. Bagiku, itu bukan sesuatu yang menarik.

Tapi waktu, seperti biasa, punya cara licik untuk mengubah perasaan. Sekarang, di kelas 9, aku melihat Amul dengan cara yang berbeda. Mungkin karena dia tumbuh lebih tinggi, mungkin karena senyum cerianya kini terlihat lebih dewasa, atau mungkin karena rambut ikalnya yang dulu terkesan berantakan kini malah membuatnya terlihat lebih keren.

Setiap kali melihatnya berjalan di koridor sekolah, entah mengapa, aku selalu teringat masa-masa SD. Dulu, aku selalu duduk di sebelahnya saat jam makan siang. Kami sering berbagi bekal, meskipun aku selalu mengeluh karena bekalnya selalu lebih menarik dari milikku. "Livi, kamu mau nggak donat buatan mamaku?" dia sering bertanya, dan tanpa pikir panjang, aku pasti mengangguk dengan antusias. 

Tapi saat itu aku tak pernah berpikir jauh. Amul hanyalah teman SD. Paling juga nanti SMP atau SMA, dia akan lenyap dari hidupku seperti teman-teman lainnya. Tapi, takdir ternyata suka bermain-main. Kami masuk SMP yang sama.

Aku ingat suatu pagi, ketika aku terlambat datang ke sekolah. Nafasku masih tersengal-sengal saat aku sampai di kelas, dan di sana, Amul duduk di bangkunya, terlihat sibuk mengerjakan tugas. Aku sempat berhenti di pintu kelas, memperhatikan bagaimana dia dengan tekun menulis. Ada sesuatu yang berbeda. Ada yang membuatku... gugup. Padahal dulu, kami sering ngobrol tanpa beban. Tapi sekarang? Rasanya dunia jungkir balik.

Hari-hari berlalu, dan aku makin sering mencuri pandang ke arah Amul. Dia tidak berubah terlalu banyak dari dulu, hanya saja, entah kenapa kini dia terlihat lebih menarik. Mungkin aku baru sadar betapa cerdasnya dia. Atau mungkin, aku baru sadar bahwa aku suka caranya tertawa, caranya bicara, bahkan caranya memiringkan kepala saat berpikir.

Yang jelas, satu hal telah berubah—perasaanku.

"Lintang," guruku masih memanggilnya begitu. Tapi kali ini, setiap kali nama itu disebut, jantungku seperti ikut berdetak lebih cepat. Tiba-tiba saja aku ingin sekali bersahabat lagi dengannya, lebih dekat seperti dulu. Dan kalau bisa... yah, lebih dari itu. Hehe.

Tapi masalahnya, bagaimana caranya memulai? Aku yang dulu cuek, kini malah jadi kikuk. Setiap kali melihat Amul, aku seperti kehilangan kata-kata. Bahkan, ketika dia sekadar tersenyum menyapaku, aku hanya bisa membalas dengan senyum gugup, sementara di dalam hatiku, rasanya ada gemuruh yang tidak bisa dijelaskan.

Satu hari, saat istirahat, aku duduk di bangku taman sekolah, merenung. Aku mengingat semua kenangan bersama Amul, bagaimana dia selalu ada di sisiku saat SD, bagaimana kami pernah tertawa dan bercanda tanpa peduli dunia. Tapi sekarang? Mengapa semuanya terasa canggung?

Tiba-tiba, Amul muncul di sampingku. "Livi, kamu lagi ngelamun ya?" tanyanya, dengan senyum khasnya.

Aku terkesiap, tidak menyangka dia akan muncul begitu saja. "Eh, nggak kok... cuma lagi inget-inget masa lalu," jawabku dengan gugup.

"Masa lalu?" Dia mengangkat alisnya, lalu duduk di sebelahku. "Masa-masa SD ya? Seru banget ya dulu."

Aku mengangguk pelan, tak berani menatap matanya. "Iya... aku inget banget. Kita sering makan bekal bareng, dan... donat buatan mamamu enak banget.

Amul tertawa kecil. "Kamu masih inget donat itu?

"Masih dong," jawabku, kali ini lebih berani menatapnya. "Kamu juga masih inget kan?"

Amul menatapku dengan senyum yang hangat, dan tiba-tiba saja, aku merasa jantungku berdetak lebih cepat. "Tentu aja aku inget, Livi. Banyak kenangan kita yang aku inget, kok."

Dan saat itu, aku sadar. Kenangan yang kusimpan selama ini bukan hanya milikku. Amul juga menyimpan kenangan yang sama, dan mungkin, perasaanku selama ini bukan hal yang aneh. Mungkin saja, ada harapan lebih di antara kami.

Siapa tahu? Dunia ini penuh kejutan, dan mungkin, "Lintang" yang dulu hanyalah teman dekat, kini bisa jadi lebih dari sekadar kenangan masa lalu.


Antara PR dan Perasaan



Pagi itu, langit masih gelap saat Irma memutuskan untuk berangkat lebih awal ke sekolah. Kepalanya penuh dengan rasa cemas karena PR matematika yang belum sempat dikerjakannya tadi malam. Dia berharap bisa tiba di sekolah sebelum teman-temannya datang, agar bisa fokus menyelesaikan soal-soal yang masih kosong. 

Sesampainya di sekolah, langkahnya cepat menuju kelas. Sesaat sebelum membuka pintu, Irma merasa lega karena suasana sekolah masih sepi. Namun, ketika dia membuka pintu kelas, matanya langsung tertuju pada sosok yang sudah duduk di bangkunya, jauh sebelum teman-teman lain tiba.

Heri.

Irma tertegun. Jantungnya berdegup kencang. Heri adalah seseorang yang tak pernah bisa lepas dari pikirannya. Setiap kali melihatnya, ada perasaan aneh yang membuat Irma gugup dan tidak bisa berpikir jernih. Tapi satu hal yang membuatnya lebih gelisah adalah kenyataan bahwa Heri sudah memiliki pacar. Heri dan pacarnya sudah terkenal sebagai pasangan yang serasi di sekolah.

Sejenak, Irma ingin berbalik dan keluar lagi dari kelas. Namun, Heri sudah melihatnya. “Pagi, Irma,” sapanya sambil tersenyum.

Irma memaksakan senyum, berusaha agar tidak terlihat gugup. “Pagi, Heri,” jawabnya cepat. Dengan tangan gemetar, dia membuka tasnya, mencoba mengambil buku PR tanpa memikirkan apa yang ada di hadapannya.

“Tugas matematika udah dikerjain?” tanya Heri sambil melirik buku yang baru saja dibuka Irma. 

Irma terdiam. **Astaga**, dia lupa PR itu yang menjadi alasannya datang lebih awal. Sekarang, dengan Heri yang duduk di sana, bagaimana dia bisa fokus?

“Belum sih… aku baru mau ngerjain,” jawab Irma jujur, meski dalam hati ingin berbohong bahwa semuanya sudah selesai.

Heri tersenyum, lalu mengeluarkan bukunya. “Aku juga belum selesai. Mau ngerjain bareng?”

Detik itu juga, Irma merasa perutnya seperti diaduk. Berdua? Mengerjakan PR? Dengan Heri? Pikiran itu membuatnya semakin gugup, tapi dia mengangguk, berharap Heri tidak menyadari kegugupannya.

Mereka mulai membuka soal, namun yang ada di pikiran Irma bukanlah angka-angka atau rumus matematika, melainkan tatapan Heri, senyumnya yang terkadang muncul di sela-sela mereka membahas soal. Di saat-saat seperti ini, hatinya berteriak, "Kenapa aku harus merasakan ini? Dia bukan untukku!"

Namun, ketika Irma berusaha untuk fokus, tiba-tiba suara ponsel Heri berbunyi. Dia melihat ke layar ponsel dan senyum itu berubah menjadi canggung.

“Pacar kamu, ya?” tanya Irma, mencoba bersikap biasa saja meski hatinya remuk.

Heri tersenyum tipis. “Iya, dia tanya aku udah sampai mana.”

Jelas. Setiap kali Irma mulai merasa nyaman, kenyataan selalu menyeretnya kembali. **Dia milik orang lain.

“Ah, sepertinya aku harus balas dulu. Maaf, Irma,” kata Heri sambil berdiri dan keluar kelas untuk menelepon.

Saat pintu tertutup, Irma menghela napas panjang. Matanya menatap soal matematika yang tak tersentuh, tapi pikirannya jauh dari itu. Perasaan campur aduk antara cemburu, kecewa, dan juga sadar bahwa semua ini tidak pernah bisa dia ungkapkan.

Ketika Heri kembali, suasana di antara mereka terasa berbeda. Irma berusaha sekuat tenaga menutupi kegelisahannya, sementara Heri terus bercanda seperti biasa. Tapi bagi Irma, tiap kali Heri bicara, ia hanya bisa berpikir, "Kapan perasaan ini bisa berhenti?"

Irma menyadari, di antara PR dan perasaannya yang rumit, perasaanlah yang selalu membuatnya kalah. Dan kali ini, lebih dari sekadar tugas, dia harus menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih sulit—hatinya sendiri.

Makan Tuh Janji

  Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan waja...