Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan wajah yang sudah lebih dari muram. Rian, pacarnya, baru saja pulang dengan bau rokok yang melekat di tubuhnya.
“Lagi?” tanya Talita dengan nada rendah namun tajam.
Rian menghela napas, mencoba mencari pembenaran. “Aku cuma satu batang tadi. Stres hari ini, Tal. Kamu ngerti kan?”
Talita menatapnya dingin. “Satu batang? Besok dua, lusa tiga. Janji-janji kamu semuanya cuma ucapan kosong. Berapa kali aku bilang, aku gak suka kamu ngerokok.”
“Tal, aku berusaha—”
“Berusaha? Makan tuh janji!” potong Talita. Suaranya meledak seperti petasan, memecah ketenangan sore.
Rian terdiam. Mata Talita mulai berkaca-kaca, tapi kemarahannya menutup kemungkinan air mata itu jatuh.
“Aku marah bukan karena aku benci sama kamu, Rian. Aku marah karena aku peduli. Rokok itu pelan-pelan bunuh kamu, dan aku gak mau jadi saksi kamu menghancurkan diri sendiri,” lanjutnya, suara bergetar.
Rian merasa bersalah, tapi egonya menahannya untuk mengakuinya. “Kamu selalu bikin ini jadi masalah besar, Tal. Semua orang juga ngerokok, tapi hidup mereka baik-baik aja.”
Talita menggelengkan kepala, kecewa. “Masalahnya bukan orang lain, Rian. Masalahnya kamu. Dan aku gak mau terus-terusan begini.”
Dia masuk ke rumah, membanting pintu. Suasana berubah sunyi, hanya suara angin yang terdengar.
Malam itu
Talita duduk di tempat tidur dengan mata sembap. Dia tahu Rian mungkin tidak akan berubah. Dia kasihan melihat Rian terus membiarkan kebiasaan buruk itu merusak dirinya, tapi rasa kasihan itu tidak cukup untuk menutupi kekecewaannya.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Dengan malas, Talita bangkit dan membukanya.
Rian berdiri di sana, memegang sekotak kecil. “Aku tahu aku banyak salah. Aku tahu aku sudah mengecewakan kamu, Tal.”
“Apa ini?” Talita bertanya dingin.
“Lihat aja sendiri,” katanya sambil menyerahkan kotak itu.
Talita membuka kotaknya dan menemukan sebatang rokok—yang dipatahkan menjadi dua. Ada catatan kecil di dalamnya: ‘Ini yang terakhir. Aku janji.’
“Rian…” Talita menatapnya, bingung.
“Aku tahu aku gak bisa cuma ngomong, jadi aku mulai dari sini. Aku tahu kamu marah karena kamu peduli, dan aku gak mau kehilangan itu,” katanya dengan serius.
Talita memeluk Rian tanpa berkata apa-apa. Di dalam pelukan itu, ia hanya bisa berharap kali ini Rian benar-benar menepati janjinya.
Namun, di dalam hatinya, Talita tahu ini bukan akhir dari perjuangan mereka. Ini baru permulaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar