Jumat, 29 November 2024

Gudeg, Cinta, dan Pak Nardi



Di sudut kantin sekolah, Dinda duduk gelisah. Matanya mencuri pandang ke arah Rizki, siswa yang diam-diam membuat hatinya berdetak lebih cepat. Rizki sedang asyik bercanda dengan teman-temannya, sama sekali tidak sadar bahwa ada seorang gadis yang menaruh perhatian padanya.

“Dinda, kamu suka Rizki ya?” suara berat tiba-tiba mengejutkan Dinda. Ia menoleh dan melihat Pak Nardi, penjaga kantin yang sudah seperti detektif bagi siswa-siswi di sekolah itu.

“Eh...enggak kok, Pak!” Dinda buru-buru menepis.

Pak Ardi tersenyum penuh arti. “Halah, saya sudah tahu semuanya. Kalau kamu benar-benar ingin dekat dengan Rizki, saya ada caranya.”

Dinda mengerutkan kening. “Caranya gimana, Pak?”

Pak Nardi mendekatkan wajahnya dan berbisik, “Sebungkus nasi gudeg dari warung Bu Lastri. Rizki itu penggemar berat gudeg, tapi dia jarang beli karena katanya malu.”

Dinda terdiam, antara bingung dan geli. “Cuma sebungkus nasi gudeg aja?”

“Betul! Saya yang kasih tahu ke Rizki kalau kamu yang beliin. Sisanya biar saya atur,” ucap Pak Nardi dengan yakin.

***

Hari berikutnya, Dinda datang lebih pagi ke kantin dengan sebungkus nasi gudeg di tangan. Ia menyerahkannya kepada Pak Nardi yang menyeringai penuh kemenangan.

“Percayakan semuanya pada Pak Nardi!” katanya sambil membawa gudeg itu ke arah Rizki yang baru tiba di kantin.

Dari kejauhan, Dinda memperhatikan adegan itu. Pak Nardi memberikan gudeg kepada Rizki sambil berbisik sesuatu. Rizki tampak terkejut, lalu tersenyum.

Beberapa menit kemudian, Rizki berjalan ke arah Dinda dengan sebungkus nasi gudeg di tangannya.

“Dinda, makasih ya. Pak Nardi bilang kamu yang beliin ini buat aku,” kata Rizki sambil tersenyum lebar.

Dinda merasa wajahnya memanas. “I-ih, enggak kok. Itu cuma... ya... aku dengar kamu suka gudeg, jadi…”

“Berarti kamu perhatian sama aku ya?” Rizki menggoda dengan nada bercanda.

Dinda hanya bisa tersenyum malu.

***

Sejak hari itu, hubungan mereka berubah. Rizki mulai sering menyapa Dinda, bahkan mengajaknya belajar bersama di perpustakaan. Perlahan, perasaan yang dulu hanya tersimpan di hati mulai menemukan jalan untuk saling diungkapkan.

Pak Nardi yang memperhatikan mereka dari kejauhan tersenyum puas. “Gudeg memang ajaib. Tapi cinta lebih ajaib lagi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makan Tuh Janji

  Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan waja...