Malam itu, hujan turun deras. Di kamar sempitnya, Cipa duduk memeluk lutut, memandang kosong ke jendela yang berembun. Di luar sana, gemuruh petir sesekali menyentakkan lamunannya, tapi tidak mampu mengusir bayang-bayang Hanif dari pikirannya.
Pertemuan singkat mereka di sebuah seminar literasi dua minggu lalu telah menorehkan kesan mendalam di hati Cipa. Tatapan tajam Hanif, senyum tipisnya, dan cara dia berbicara dengan penuh percaya diri seolah melekat di benak Cipa. Ia bahkan masih ingat dengan jelas parfum Hanif yang beraroma segar seperti hujan pagi hari.
Namun, hidup Cipa berubah sejak saat itu. Fokusnya terpecah, pekerjaannya di kantor mulai berantakan, bahkan hobinya menulis cerpen pun terbengkalai. Setiap kali dia mencoba memulai cerita baru, sosok Hanif selalu terselip di antara kata-kata, seakan memaksanya untuk mengingat.
Sementara itu, Hanif menjalani harinya seperti biasa. Bagi Hanif, pertemuan dengan Cipa hanyalah salah satu dari sekian banyak momen yang ia alami setiap hari. Dia memang menikmati percakapan mereka saat itu, tapi tidak lebih dari itu. Bagi Hanif, semuanya biasa saja.
Suatu hari, Cipa memutuskan untuk mengakhiri kebingungannya. Dia memberanikan diri menghubungi Hanif melalui media sosial, dengan alasan ingin bertanya sesuatu tentang seminar. Hanif membalas pesannya dengan ramah, bahkan mengusulkan untuk bertemu di sebuah kafe kecil dekat kantor mereka.
Saat pertemuan itu tiba, hati Cipa berdebar tak karuan. Ia mengenakan pakaian terbaiknya dan mencoba terlihat percaya diri. Hanif datang tepat waktu, membawa sebuah buku yang ingin ia rekomendasikan untuk Cipa.
Percakapan mereka berjalan santai, tapi Cipa tidak bisa menahan diri. Dengan gugup, ia berkata, “Hanif, aku tahu ini mungkin aneh, tapi aku merasa sejak pertemuan kita waktu itu, aku... aku terus memikirkanmu.”
Hanif terdiam. Ada keheningan canggung di antara mereka. Tapi kemudian, Hanif tersenyum kecil dan menjawab, “Cipa, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku senang kita bisa bertemu lagi, tapi aku rasa aku harus jujur.”
Hati Cipa mencelos. Ia sudah menduga jawaban itu, tapi mendengarnya langsung terasa jauh lebih menyakitkan.
“Aku sudah memiliki seseorang,” kata Hanif pelan, tetapi tegas. “Aku tidak ingin memberikan harapan yang salah. Kamu orang yang luar biasa, dan aku sangat menghargai keberanianmu untuk jujur. Tapi aku rasa hubungan kita hanya sebatas teman.”
Cipa tersenyum getir. Ia berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Setelah pertemuan itu, ia pulang dengan langkah lunglai.
Namun, malam itu, sesuatu di dalam dirinya berubah. Ia sadar bahwa cinta tidak selalu harus memiliki. Kadang, cinta adalah tentang merelakan dan membiarkan diri tumbuh dari pengalaman itu.
Cipa kembali menulis cerpen malam itu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa bebas. Ia menulis tentang perasaan yang pernah mengikatnya, tentang bayang-bayang Hanif yang perlahan memudar. Dan di akhir ceritanya, ia menemukan dirinya yang baru—lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih siap menghadapi dunia.
Hanif mungkin hanya menjadi sebuah kisah singkat dalam hidupnya, tapi bagi Cipa, kisah itu telah mengajarinya tentang makna mencintai tanpa harus memiliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar