Kamis, 26 Desember 2024

Zifa, Si Pencari Perhatian

 


Di sebuah sekolah menengah pertama yang tak terlalu besar, nama Zifa sering terdengar di antara para siswa. Bukan karena prestasi akademik atau bakat luar biasa, melainkan karena kelakuannya yang selalu mencuri perhatian. Zifa suka menjadi pusat perhatian—berbicara keras, berlagak dramatis, bahkan kadang membuat lelucon yang menurutnya lucu, meskipun sering kali tidak dihargai orang lain.

“Dasar lebay,” gumam Dina, salah satu teman sekelasnya, setiap kali Zifa beraksi di depan kelas.

Namun, Zifa tak peduli. Baginya, hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan menjadi biasa-biasa saja.

Hari itu, di tengah jam istirahat, Zifa berdiri di bangku kantin, memerankan adegan dari drama favoritnya. Ia memegang sendok plastik seolah itu adalah pedang, sambil mengucapkan dialog dengan penuh emosi.

“Beraninya kau menghianati aku, pangeran kegelapan!” teriak Zifa, membuat semua orang di kantin menoleh.

Sebagian tertawa mengejek, sebagian lagi memutar mata, merasa malu berada di tempat yang sama dengannya. Tapi Zifa? Ia hanya tertawa lebar, menikmati momen itu seolah ia berada di panggung besar.

Di sudut kantin, seorang anak laki-laki bernama Reza memperhatikan Zifa diam-diam. Berbeda dengan siswa lain yang merasa risih dengan tingkah Zifa, Reza justru menemukan sesuatu yang menarik darinya. Zifa terlihat berbeda—berani, percaya diri, dan tidak takut menjadi dirinya sendiri.

Suatu sore, ketika sekolah sudah hampir sepi, Reza melihat Zifa duduk sendirian di taman sekolah. Tidak ada senyum lebar atau suara nyaring seperti biasanya. Ia hanya menunduk, menggambar sesuatu di buku sketsa kecilnya.

Rasa penasaran membawa Reza mendekat. “Hei, lagi ngapain?” tanyanya.

Zifa mendongak, terlihat sedikit terkejut. “Nggak ngapa-ngapain. Cuma gambar.”

Reza duduk di sampingnya. “Aku nggak tahu kamu suka menggambar.”

Zifa tersenyum kecil. “Ada banyak hal yang orang nggak tahu tentang aku, Rez. Mereka cuma lihat aku yang suka heboh. Padahal, aku nggak selalu seperti itu.”

Reza mengangguk pelan. Ia melihat gambar di buku Zifa—sebuah pemandangan kota dengan gedung-gedung tinggi dan lampu-lampu yang berkilauan. Gambar itu penuh detail dan terlihat sangat hidup.

“Keren banget,” puji Reza tulus.

Zifa tersenyum lebar. “Makasih. Tapi nggak banyak yang peduli soal ini. Mereka lebih suka ngomongin aku yang lebay.”

Sejak hari itu, Reza sering melihat sisi lain dari Zifa yang tidak diketahui banyak orang. Di balik sikapnya yang suka cari perhatian, Zifa sebenarnya adalah seseorang yang punya banyak impian dan keinginan untuk diterima apa adanya.

Di satu sisi, Reza semakin kagum pada Zifa. Ia sadar, meskipun banyak yang tidak menyukai gadis itu, Zifa tetap berani menjadi dirinya sendiri.

Suatu hari, di depan kelas, Reza memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak terduga. Saat beberapa teman mengejek Zifa karena aksinya yang berlebihan, Reza berdiri dan berkata lantang, “Kalian semua cuma iri karena kalian nggak punya keberanian kayak Zifa. Dia berani jadi dirinya sendiri, dan itu keren.”

Semua orang terdiam. Zifa menatap Reza dengan mata membelalak, tidak percaya bahwa seseorang membelanya.

“Terima kasih, Rez,” bisik Zifa setelah semua kembali tenang.

Reza tersenyum. “Kamu nggak perlu terima kasih. Kamu layak untuk dihargai.”

Sejak saat itu, Zifa mulai berubah, bukan karena ejekan atau kritik dari orang lain, tapi karena ia merasa ada yang benar-benar memahami dirinya. Ia masih suka mencari perhatian, tetapi dengan cara yang lebih positif. Ia mulai menunjukkan bakat menggambarnya di depan teman-teman, bahkan ikut serta dalam lomba seni di sekolah.

Dan Reza? Ia tetap menjadi teman yang selalu ada untuk Zifa, membuktikan bahwa di tengah banyaknya orang yang tidak suka, akan selalu ada seseorang yang melihat keindahan di balik kekurangan.

Kadang, menjadi diri sendiri memang tidak mudah. Tapi seperti Zifa, keberanian untuk tetap menjadi apa adanya adalah hal yang membuat seseorang benar-benar istimewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Haiiii Opa

Di sebuah sekolah menengah pertama yang penuh semangat, ada seorang gadis berusia 14 tahun bernama Oche. Cerdas, tekun, dan penuh ambisi. ...