Amera menatap gerbang Sekolah Nusantara dengan perasaan campur aduk. Dari luar, bangunan itu terlihat megah dengan tembok yang dilukis mural berwarna cerah. Namun, cerita yang beredar tentang sekolah itu jauh dari cerah. Sekolah Nusantara dikenal sebagai tempat terakhir bagi siswa yang sulit diatur. Bahkan, beberapa menyebutnya "Sekolah Para Pemberontak."
"Kamu yakin kita bisa bertahan di sini?" tanya Fauzi, sahabat Amera, dengan nada ragu. Fauzi menggenggam erat tali ranselnya seakan itu bisa melindunginya dari apa pun yang akan mereka hadapi.
Amera mengangguk, mencoba menenangkan dirinya dan Fauzi. "Kita harus bertahan. Ingat pesan Ayahku, Fauzi: tempat sulit sering kali membentuk orang hebat. Kita cuma perlu menemukan cara untuk menyesuaikan diri."
Mereka melangkah masuk. Suasana sekolah langsung terasa berbeda. Beberapa siswa duduk di tembok, bersiul saat mereka lewat. Yang lain melemparkan bola kertas ke arah mereka sambil tertawa. Fauzi menunduk, mencoba menghindari tatapan mereka, sementara Amera menegakkan dagunya, berpura-pura tidak terpengaruh.
Di kelas, Amera dan Fauzi diperkenalkan oleh wali kelas mereka, Bu Ratna. "Ini teman baru kita, Amera dan Fauzi. Tolong sambut mereka dengan baik," katanya. Namun, sambutan yang mereka terima jauh dari ramah. Beberapa siswa bersuit, sementara yang lain berbisik sambil tertawa kecil.
Di sela-sela pelajaran, seorang anak laki-laki berambut cepak dengan jaket hitam mendekati mereka. "Hei, anak baru," katanya dengan suara rendah, tapi cukup keras untuk didengar seluruh kelas. "Nama gue Riko. Gue pemimpin di sini. Kalau mau aman, ikuti aturan gue."
Amera menatap Riko tanpa gentar. "Aturan apa?"
Riko tersenyum miring. "Aturan gue gampang. Jangan coba-coba melawan, dan lo bakal baik-baik aja."
Fauzi menarik lengan Amera, berbisik, "Jangan cari masalah."
Namun, Amera tak mundur. "Kami di sini untuk belajar, bukan main-main. Jadi, maaf, aku nggak ikut aturanmu."
Ruangan hening. Beberapa siswa menahan napas, menunggu reaksi Riko. Tapi sebelum dia sempat membalas, Bu Ratna kembali masuk ke kelas, membuat semua orang kembali ke tempatnya masing-masing.
Sepulang sekolah, Amera dan Fauzi duduk di taman kecil di dekat sekolah. Fauzi menghela napas panjang. "Kamu tahu nggak, Amera? Riko nggak akan tinggal diam. Kamu bikin dia malu."
"Aku tahu," jawab Amera tenang. "Tapi kita nggak bisa membiarkan dia menguasai kita. Kalau kita menyerah sekarang, mereka akan selalu menginjak kita."
Fauzi mengangguk, meskipun wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran. "Jadi, apa rencanamu?"
Amera tersenyum tipis. "Kita lawan mereka, tapi dengan cara kita sendiri."
Hari-hari berikutnya diisi dengan pengamatan. Amera dan Fauzi memperhatikan kebiasaan Riko dan gengnya. Mereka mencatat siapa saja yang sering jadi korban keusilan Riko, dan bagaimana gengnya beroperasi. Amera menemukan bahwa Riko sering memanfaatkan ketakutan orang lain untuk menunjukkan kekuasaannya. Namun, ada celah yang bisa mereka gunakan: Riko sangat benci dipermalukan.
Amera dan Fauzi memulai langkah pertama dengan menyebarkan semangat perlawanan. Mereka mendekati siswa-siswa yang sering menjadi korban, mengajak mereka berbicara, dan memberikan keberanian. Salah satu dari mereka adalah Nanda, seorang siswa pemalu yang sering diledek karena suka menggambar.
"Gambarmu bagus," kata Amera suatu hari sambil melihat sketsa Nanda. "Aku punya ide. Mau bantu kami?"
Nanda ragu, tapi akhirnya mengangguk setelah Amera dan Fauzi menjelaskan rencana mereka.
Reaksi siswa lain luar biasa. Mereka tertawa, berbisik, dan menunjuk poster-poster itu. Riko yang baru tiba di sekolah langsung marah besar. "Siapa yang berani melakukan ini?!" teriaknya.
Namun, sebelum dia bisa mengamuk lebih jauh, Pak Didi, guru olahraga yang disegani, datang. "Riko, ada masalah?" tanyanya.
Riko terpaksa diam. Meski marah, dia tahu tidak bisa melawan Pak Didi.
Amera dan Fauzi terus melanjutkan strategi mereka. Mereka tidak hanya melawan, tapi juga mencoba memahami. Suatu hari, Amera mendekati Riko saat dia sendirian di lapangan basket.
"Kenapa kamu selalu mencoba menakut-nakuti orang lain?" tanya Amera.
Riko terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada sinis, "Apa urusanmu?"
"Aku hanya ingin tahu," kata Amera. "Mungkin kamu nggak perlu seperti itu."
Riko menatap Amera, lalu menghela napas. "Nggak ada yang ngerti aku di sini. Kalau aku nggak tunjukin kekuatan, mereka bakal nginjek aku."
Amera tersenyum. "Mungkin kamu cuma perlu teman yang benar-benar peduli."
Perlahan, sikap Riko melunak. Dia mulai bergabung dalam obrolan dan kegiatan positif yang Amera dan Fauzi lakukan. Gengnya pun ikut berubah, meski tidak secepat Riko.
Sekolah Nusantara tidak lagi sama. Poster-poster kreatif masih sering muncul, tapi sekarang isinya penuh motivasi dan semangat persatuan. Riko yang dulu dikenal sebagai "pemimpin geng nakal" kini menjadi salah satu siswa yang aktif membantu kegiatan sekolah.
Amera dan Fauzi membuktikan bahwa dengan keberanian, kreativitas, dan pendekatan yang penuh pengertian, bahkan tempat yang penuh tantangan bisa berubah menjadi lebih baik. Petualangan mereka di sekolah itu bukan hanya tentang melawan, tapi juga tentang merangkul perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar