Pagi itu, suasana kelas VIII B di SMP Harapan Bangsa terasa gaduh. Bisik-bisik menyebar cepat, memenuhi ruangan seperti angin ribut. Semua mata tertuju pada Lani, gadis berprestasi yang selalu tersenyum ramah. Namun, kali ini, senyumnya pudar. Di pojok kelas, Rere berdiri dengan sikap penuh percaya diri sambil menudingkan jari.
"Dia yang mengambil uang di tas Shinta!" serunya lantang.
"Benarkah, Lani?" tanya Shinta dengan suara bergetar.
Lani hanya menunduk. Matanya berkaca-kaca, tercekik oleh tuduhan yang tak pernah terbayangkan.
Namun, hati kecil Nova tak bisa diam. Saat istirahat tiba, ia menemui Lani yang duduk sendirian di bangku taman sekolah.
"Lani, aku tahu kau tidak bersalah," bisik Nova.
Lani menoleh dengan air mata menetes. "Kenapa mereka semua percaya padanya, Nova?"
Nova terdiam sejenak, lalu mengangguk tegas. "Kita harus meluruskan semuanya."
"Aku tahu siapa yang menyebarkan kabar bohong itu!" serunya. "Rere hanya iri karena tidak pernah bisa mengalahkan Lani!"
Semua murid terdiam. Mata mereka kini tertuju pada Rere, yang wajahnya mulai memerah.
"Itu bohong!" Rere membantah, tapi suaranya bergetar.
"Tapi aku punya bukti," lanjut Nova, memperlihatkan buku catatan yang penuh dengan coretan Rere tentang rencananya memfitnah Lani. "Ini tulisanmu sendiri."
"Saya... saya minta maaf," ucap Rere kepada Lani, suaranya bergetar. "Saya salah. Saya hanya iri. Saya tidak seharusnya melakukan itu."
Lani memandang Rere lama, lalu mengangguk. "Aku memaafkanmu. Tapi ingatlah, kejujuran dan persahabatan lebih penting daripada peringkat."
Sejak hari itu, Rere belajar untuk menghargai kejujuran dan menerima kekalahan dengan lapang dada. Sementara Nova, yang telah berani membela kebenaran, menjadi contoh bagi teman-temannya tentang arti keberanian sejati.
Dan Lani? Ia kembali tersenyum ceria, membawa pelajaran tentang pentingnya memaafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar