Senin, 06 Januari 2025

Cinta yang Terkorbankan

 


Tiara baru saja pulang dari sekolah ketika menemukan ibunya sibuk mencuci piring di dapur. Tumpukan cucian menunggu, dan lantai rumah sederhana mereka belum sempat disapu. Sejak beberapa bulan terakhir, Tiara selalu membantu ibunya setelah pulang. Waktu bermainnya hilang, tetapi ia tak pernah mengeluh.

"Bu, istirahat dulu. Biar aku yang lanjut," katanya sambil menggulung lengan seragam.

Ibunya menatap lelah, senyum tipis terlukis di bibirnya. "Terima kasih, Nak. Kamu anak yang kuat."

Tiara melanjutkan pekerjaannya dengan cekatan. Namun, hatinya terus bertanya-tanya—ke mana ayahnya? Sudah tiga bulan lelaki yang dulu kerap membelikannya permen kapas itu tidak pulang.

Suatu sore, saat membantu ibunya menyiapkan makanan, suara berita dari televisi menarik perhatiannya. Wajah seorang pria yang begitu dikenalnya muncul di layar. Ayahnya.

"Seorang pria tertangkap basah merampok sebuah toko perhiasan. Pelaku mengaku terpaksa melakukan aksi tersebut demi membahagiakan putrinya yang sangat ia cintai," kata pembawa berita.

Piring di tangan Tiara jatuh, pecah berderai. Tangannya gemetar. "Bu… itu Ayah…"

Ibunya membeku, tatapannya kosong. Air mata mulai membanjiri wajahnya, dan ia memeluk Tiara erat-erat. "Maafkan Ayahmu, Nak…"

Tiara tidak bisa berkata-kata. Kepalanya penuh tanya. Mengapa Ayah melakukan itu? Mengapa harus melanggar hukum demi dirinya?

Esoknya di kantor polisi, Tiara berusaha menahan air mata ketika melihat ayahnya duduk di balik jeruji besi. Matanya yang dulu penuh kasih kini penuh rasa bersalah.

"Ayah..." suaranya parau. "Kenapa?"

Ayahnya tersenyum lemah. "Ayah ingin kamu punya hidup lebih baik, Nak. Ayah ingin membelikanmu sepeda baru, seragam yang layak... Ayah tidak mau kamu terus menderita."

Tiara menggenggam jeruji itu erat-erat. "Tapi, Ayah, aku tidak butuh semua itu! Aku hanya ingin Ayah di rumah bersama aku dan Ibu!"

Lelaki itu terisak. "Ayah bodoh, Nak. Ayah terlalu jauh melangkah."

Mereka menangis bersama. Tiara menyadari bahwa cinta ayahnya telah membawanya pada pilihan yang salah. Namun, cinta itulah yang juga membuat Tiara kuat.

"Pak," katanya, "janji ya, kalau Ayah pulang nanti, kita mulai dari awal. Kita hadapi semuanya bersama."

Ayahnya mengangguk, air mata terus mengalir. "Janji, Nak. Ayah akan menjadi lebih baik. Demi kamu, demi keluarga kita."

Tiara pulang dengan hati yang penuh luka, tetapi juga harapan. Kehidupan tidak selalu adil, tetapi ia percaya bahwa cinta yang tulus, meskipun kadang salah arah, bisa menemukan jalannya kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Haiiii Opa

Di sebuah sekolah menengah pertama yang penuh semangat, ada seorang gadis berusia 14 tahun bernama Oche. Cerdas, tekun, dan penuh ambisi. ...