Desir ombak menampar keras sisi perahu kecil yang terombang-ambing di tengah laut. Langit mendung seakan menebarkan ancaman, dan angin kencang membuat layar terkibar liar. Namun, seorang pria tua dengan wajah penuh gurat kelelahan tetap bertahan memegang kemudi. Dialah Pak Salim, ayah dari Aufa. Tangannya kasar dan matanya penuh tekad, meski hatinya selalu bergulat antara rasa takut dan tanggung jawab.
Pak Salim tahu benar risikonya melaut saat cuaca buruk seperti ini. Beberapa tetangga sudah memperingatkannya. Tetapi, kebutuhan keluarga memaksa. Dua anak kecil yang menunggu di rumah hanya punya sebutir nasi dan sepotong ikan asin untuk makan. Uang hasil tangkapan terakhir tak cukup untuk membeli beras lagi. Sementara itu, Aufa, putra sulungnya, berada jauh di pondok pesantren, mencari ilmu agama seperti yang selama ini ia dambakan.
Di pondok pesantren, Aufa tak pernah tahu betapa berat perjuangan ayahnya. Ia menghabiskan hari-harinya menghafal Al-Qur'an dan mempelajari ilmu agama, berharap menjadi anak yang saleh sesuai harapan sang ayah. Namun, malam itu, entah mengapa hatinya tiba-tiba gelisah. Seakan ada yang menekan dadanya dengan beban yang tak terlihat. Ia pun mengambil wudhu dan bersujud lebih lama dari biasanya. Doa panjang meluncur dari bibirnya, mendoakan keselamatan ayah yang jauh di tengah lautan.
Sementara itu, di atas perahu, gelombang semakin besar. Pak Salim berjuang keras agar perahunya tetap bertahan. Tiba-tiba, suara gemuruh keras terdengar, dan ombak besar menghantam sisi perahu, membuat tubuhnya terhempas. Jantungnya berdegup kencang saat ia tersadar, air mulai memenuhi lambung kapal. Dengan tenaga tersisa, ia menimba air sekuat tenaga, sembari memohon dalam hati, "Ya Allah, lindungi aku. Biarkan aku pulang demi anak-anakku. Aku tak bisa meninggalkan mereka tanpa apa-apa."
Ombak terus bergulung-gulung. Tubuhnya lelah, tangannya mulai gemetar. Tapi kemudian, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menopangnya, ombak perlahan mereda. Langit mulai cerah, dan matahari kecil memancarkan sinarnya di ufuk timur. Pak Salim memandang ke langit dengan air mata menetes di pipinya. Ia tahu, doa yang dipanjatkan Aufa telah menjaganya. Tuhan tak pernah membiarkan doa anak saleh berlalu tanpa jawaban.
Hari itu, Pak Salim pulang dengan tangkapan seadanya. Namun, yang lebih penting baginya adalah keselamatan yang masih ia genggam. Saat memasuki rumah, ia melihat kedua anak kecilnya menyambut dengan senyum lebar, meski hanya nasi dan ikan asin yang menanti mereka. Pak Salim memeluk mereka erat, merasakan hangatnya cinta keluarga yang menjadi kekuatan sejatinya.
Di pondok, Aufa menyeka air matanya setelah selesai shalat. Hatinya tenang, seolah sebuah bisikan lembut mengatakan bahwa ayahnya selamat. Dan kelak, saat ia kembali ke rumah, ia berjanji akan menjadi pelita bagi adik-adiknya dan penerus harapan ayahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar