Sabtu, 04 Januari 2025

Tahun Baru yang Mengubah Segalanya

 


Anisa berdiri di depan cermin kamarnya, mematut dirinya untuk terakhir kali. Rok denim dan jaket kasual yang ia kenakan terasa pas untuk suasana malam tahun baru. “Ini hanya malam biasa,” gumamnya meyakinkan diri. Tapi jauh di lubuk hati, ia tahu bahwa malam ini lebih dari sekadar malam pergantian tahun. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada Rendi, sahabatnya sejak SMP.

Rendi sudah menunggu di luar rumahnya, duduk di atas motor sambil melirik ponselnya. “Kamu lama banget!” serunya ketika Anisa muncul. Meski terdengar kesal, ada senyum kecil di wajah Rendi.

“Kan cewek harus siap-siap dulu,” jawab Anisa sambil nyengir. Mereka segera meluncur ke tempat kumpul teman-teman mereka di alun-alun kota.

Di alun-alun, suasana meriah. Lampu-lampu warna-warni menghiasi pohon-pohon, dan stand makanan berjejer dengan aroma menggoda. Teman-teman mereka sudah berkumpul di sekitar meja besar, tertawa dan bercanda sambil menunggu pergantian tahun.

Anisa dan Rendi bergabung, segera terhanyut dalam keseruan. Mereka makan bersama, bermain permainan sederhana, dan berbagi cerita tentang resolusi tahun baru. Anisa sesekali mencuri pandang ke arah Rendi, tetapi buru-buru mengalihkan tatapannya saat mata mereka bertemu.

“Ayo main tebak-tebakan!” ajak Karin, salah satu teman mereka. Permainan dimulai, dan giliran demi giliran dipenuhi tawa karena jawaban yang konyol. Ketika giliran Anisa, dia harus menjawab pertanyaan tentang hal paling berani yang pernah dia lakukan.

Anisa terdiam sejenak, lalu menjawab dengan santai, “Mungkin malam ini aku akan melakukan sesuatu yang paling berani.”

Teman-temannya bersorak, tapi Rendi hanya menatap Anisa dengan alis terangkat. “Apa itu?” tanyanya penasaran. Anisa hanya tersenyum dan tidak menjawab.

Menjelang tengah malam, semua orang berkumpul di tengah alun-alun. Kembang api sudah siap, dan hitungan mundur dimulai. Saat itu, Anisa merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Bukan karena suara kembang api, tapi karena rencana yang ia siapkan.

Ketika hitungan mencapai nol, langit dipenuhi kembang api berwarna-warni. Semua orang bersorak dan saling mengucapkan selamat tahun baru. Rendi menoleh ke Anisa. “Selamat tahun baru, Nis!” katanya sambil tersenyum lebar.

“Selamat tahun baru, Ren,” jawab Anisa. Dia menarik napas panjang. Ini saatnya.

“Aku suka sama kamu,” kata Anisa tiba-tiba. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara kembang api, tapi Rendi mendengarnya. Dia membeku, tidak yakin apa yang baru saja terjadi.

Rendi memalingkan wajah, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. “Nis, kamu serius?” tanyanya setelah beberapa saat.

Anisa mengangguk, meski gugup. “Iya, aku serius. Aku udah lama ngerasain ini, tapi aku nggak pernah berani bilang.”

Rendi terdiam, lalu berkata pelan, “Aku nggak tahu harus bilang apa.”

Perasaan Anisa campur aduk. Dia berharap jawaban Rendi akan langsung menyenangkan, tapi yang ia dapatkan hanya kebingungan. Malam yang sebelumnya penuh tawa tiba-tiba terasa canggung. Rendi mengalihkan pembicaraan, dan Anisa hanya bisa pura-pura tersenyum.

Setelah pesta selesai, Rendi mengantar Anisa pulang. Sepanjang perjalanan, tidak banyak yang mereka bicarakan. Anisa merasa ada jarak yang sebelumnya tidak ada di antara mereka.

“Maaf kalau aku bikin kamu nggak nyaman,” kata Anisa akhirnya, memecah keheningan.

“Bukan itu,” jawab Rendi cepat. “Aku cuma kaget. Aku nggak pernah kepikiran kamu akan bilang itu. Aku juga nggak tahu perasaanku sekarang.”

Anisa mengangguk, meski hatinya sedikit terluka. Dia tahu mengungkapkan perasaannya adalah risiko besar, dan inilah hasilnya. “Nggak apa-apa. Aku cuma pengen kamu tahu. Itu aja.”

Setelah sampai di depan rumah, Rendi menatap Anisa sejenak sebelum pergi. “Selamat tahun baru sekali lagi, Nis. Dan... terima kasih sudah jujur.”

Hari-hari setelah tahun baru terasa aneh. Anisa dan Rendi tetap bertemu seperti biasa, tapi ada kecanggungan yang tidak bisa mereka abaikan. Anisa mencoba bersikap biasa, tapi perasaan itu terus menghantuinya.

Sementara itu, Rendi mulai merenung. Dia tidak bisa mengabaikan kata-kata Anisa. Selama ini, dia menganggap Anisa hanya sebagai sahabat, tapi sekarang dia mulai bertanya-tanya apakah perasaannya lebih dari itu.

Suatu hari, Rendi mengajak Anisa bertemu di taman. “Aku udah mikir banyak soal yang kamu bilang waktu tahun baru,” kata Rendi dengan nada serius.

Anisa menatapnya, menunggu.

“Aku nggak mau kehilangan kamu, Nis. Kamu sahabat terbaik yang aku punya. Dan aku nggak yakin aku bisa merasakan lebih dari itu.”

Mendengar itu, hati Anisa terasa berat. Tapi dia juga merasa lega. Setidaknya, semuanya jelas sekarang. “Nggak apa-apa, Ren. Aku nggak nyesel bilang perasaanku. Aku cuma pengen kita tetap teman.”

Rendi tersenyum kecil. “Aku juga. Dan aku harap kita bisa mulai tahun ini dengan hubungan yang lebih kuat, meskipun cuma sebagai teman.”

Mereka berjabat tangan, tanda perjanjian baru di antara mereka. Malam tahun baru itu mungkin tidak berjalan seperti yang Anisa harapkan, tapi dia belajar bahwa keberanian untuk jujur adalah langkah penting dalam hubungan apa pun.

Bagi mereka, tahun baru benar-benar menjadi awal yang baru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Haiiii Opa

Di sebuah sekolah menengah pertama yang penuh semangat, ada seorang gadis berusia 14 tahun bernama Oche. Cerdas, tekun, dan penuh ambisi. ...