Selasa, 28 Januari 2025

KU LIHAT KAMU LAGI

 



Asyifa menatap layar ponselnya dengan jantung berdegup kencang. Beranda TikTok-nya menampilkan sosok yang tak asing lagi. Seorang pemuda dengan senyum menawan, berpakaian rapi, dan aura yang berbeda. Sosok itu... Farel. 

 

Farel dulu adalah bagian dari masa lalunya, seseorang yang pernah mengisi hatinya, namun berakhir dengan kekecewaan. Sudah bertahun-tahun mereka tak saling bertukar kabar. Perpisahan mereka bukan sekadar kehilangan komunikasi, tetapi luka yang meninggalkan bekas mendalam. 

Asyifa menatap caption video itu, "Masa lalu harus kutinggalkan demi masa depan yang gemilang." 

Seolah-olah waktu terhenti. Pikirannya berputar ke masa lampau. Dulu, Farel bukan siapa-siapa. Dia seorang pemuda biasa yang gemar menghabiskan waktu dengan teman-temannya, namun sering terjerat kebiasaan yang tidak produktif. Hal-hal seperti nongkrong hingga larut malam, bercanda tanpa arah, dan—yang paling melukai Asyifa—terlihat terlalu dekat dengan beberapa perempuan lain. 

Asyifa mencampakkannya karena merasa Farel tidak akan pernah berubah. Tapi kini, melihat video itu, hati kecilnya mulai bertanya-tanya. "Apakah aku salah? Apakah dia berubah? Apakah mungkin aku yang terlalu cepat menghakimi dulu?" 

Hari itu, Asyifa tak bisa mengalihkan pikirannya dari Farel. Malamnya, ia kembali membuka TikTok, mencoba mencari akun Farel. Sekali klik, ia sudah berada di halaman profilnya. Video-video yang diunggah Farel semuanya mengisyaratkan perubahan besar. Tentang kebangkitan, perjuangan, dan... kehidupan yang lebih bermakna. 

"Apa dia benar-benar berubah?" gumam Asyifa. 

Rasa penasaran membawanya untuk menghubungi salah satu teman lama mereka, Satria. 

"Sat, kamu masih kontak sama Farel?" tanya Asyifa melalui telepon. 

"Oh, Farel? Iya, masih. Kenapa?" balas Satria dengan nada heran. 

"Dia... benar-benar berubah, ya?" 

Satria tertawa kecil. "Maksudmu? Ya, dia sekarang udah jauh beda, Syif. Dulu sih memang agak amburadul, tapi sekarang dia lagi bangun bisnis dan sering ikut kegiatan sosial." 

Asyifa tertegun. Satria melanjutkan, "Farel sering cerita sih, masa lalu dia adalah pelajaran besar. Kayaknya, dia benar-benar bertekad buat jadi lebih baik." 

Setelah percakapan itu, Asyifa semakin bimbang. Rasa bersalah mulai merayap di hatinya. 

Beberapa hari kemudian, takdir mempertemukan mereka secara tak terduga. Asyifa sedang berada di sebuah kafe kecil di sudut kota. Dia sedang menikmati secangkir kopi sambil membaca buku ketika sebuah suara yang tak asing menyapanya. 

"Asyifa?" 

Ia mendongak. Farel berdiri di depannya, tersenyum dengan wajah yang kini lebih dewasa. Penampilannya bersih, rapi, dan auranya memancarkan kepercayaan diri. 

"Hai, Farel..." jawab Asyifa gugup. 

"Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini," ujar Farel, duduk di kursi kosong tanpa ragu. 

Asyifa hanya tersenyum kecil, merasa canggung. 

Percakapan mereka dimulai dengan basa-basi, tapi perlahan menjadi lebih dalam. Farel bercerita tentang kehidupannya yang berubah total. Tentang bagaimana ia sempat terpuruk setelah perpisahan mereka, tapi hal itu justru menjadi titik baliknya. 

"Saat kamu pergi, aku merasa kehilangan sesuatu yang berharga," ungkap Farel. "Awalnya aku marah, kecewa, tapi kemudian aku sadar... kamu benar. Aku memang nggak pantas waktu itu." 

Asyifa terdiam, hatinya berdebar mendengar pengakuan itu. 

"Tapi aku nggak berubah karena ingin membuktikan sesuatu ke kamu atau siapa pun," lanjut Farel. "Aku berubah karena aku sadar, aku butuh hidup yang lebih baik." 

Asyifa menatap matanya. "Aku senang mendengarnya, Rel. Kamu sekarang terlihat... sangat berbeda." 

"Dan kamu masih seperti dulu," balas Farel, tersenyum hangat. 

Pertemuan itu menjadi awal dari hu ungan baru di antara mereka. Meski tak langsung kembali dekat, Farel dan Asyifa mulai sering bertukar pesan. Farel dengan senang hati menunjukkan bagaimana dirinya kini, sementara Asyifa mulai membuka hatinya untuk mengenal Farel yang baru. 

Namun, perjalanan ini tidak berjalan mulus. 

Di tengah kebahagiaan yang mulai tumbuh, muncul kabar tak terduga. Farel sedang menghadapi masalah besar dalam bisnisnya. Ia menjadi korban penipuan oleh rekan kerjanya sendiri, membuatnya kehilangan banyak uang. 

Saat Asyifa mengetahui hal ini, ia segera menghubungi Farel. 

"Kenapa kamu nggak cerita?" tanya Asyifa dengan nada khawatir. 

"Aku nggak mau kamu khawatir, Syif. Lagipula, aku bisa mengatasinya," jawab Farel dengan nada tegas, meski ada kelelahan yang jelas di suaranya. 

"Tapi aku mau ada di sisimu, Rel. Kita kan teman..." ucap Asyifa, menyadari hatinya mengatakan lebih dari itu. 

Hari-hari berikutnya, Asyifa menjadi sumber semangat bagi Farel. Ia mendukung Farel dengan cara-cara sederhana, seperti mendengarkan curhatannya atau membantunya mencari solusi. Perlahan, Farel bangkit kembali. 

Di momen itulah, Farel menyadari sesuatu. 

"Asyifa," ujarnya suatu malam, saat mereka berbicara di telepon. 

"Iya, Rel?" 

"Aku sadar... kamu adalah orang yang selalu aku inginkan. Dulu aku terlalu bodoh untuk melihat itu. Tapi sekarang, aku ingin memperjuangkanmu." 

Hati Asyifa bergetar mendengar kata-kata itu. Ia tahu, Farel yang sekarang adalah seseorang yang berbeda. Seseorang yang layak untuk diberi kesempatan kedua. 

"Asal kamu tahu, aku pun berharap kamu tetap ada di hidupku," balas Asyifa dengan suara lembut. 

Dan malam itu, masa lalu benar-benar menjadi pelajaran. Mereka memutuskan untuk melangkah bersama, meninggalkan kenangan pahit, dan membangun masa depan yang lebih indah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Haiiii Opa

Di sebuah sekolah menengah pertama yang penuh semangat, ada seorang gadis berusia 14 tahun bernama Oche. Cerdas, tekun, dan penuh ambisi. ...