Sabtu, 07 Desember 2024

Makan Tuh Janji

 


Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan wajah yang sudah lebih dari muram. Rian, pacarnya, baru saja pulang dengan bau rokok yang melekat di tubuhnya.

“Lagi?” tanya Talita dengan nada rendah namun tajam.

Rian menghela napas, mencoba mencari pembenaran. “Aku cuma satu batang tadi. Stres hari ini, Tal. Kamu ngerti kan?”

Talita menatapnya dingin. “Satu batang? Besok dua, lusa tiga. Janji-janji kamu semuanya cuma ucapan kosong. Berapa kali aku bilang, aku gak suka kamu ngerokok.”

“Tal, aku berusaha—”

“Berusaha? Makan tuh janji!” potong Talita. Suaranya meledak seperti petasan, memecah ketenangan sore.

Rian terdiam. Mata Talita mulai berkaca-kaca, tapi kemarahannya menutup kemungkinan air mata itu jatuh.

“Aku marah bukan karena aku benci sama kamu, Rian. Aku marah karena aku peduli. Rokok itu pelan-pelan bunuh kamu, dan aku gak mau jadi saksi kamu menghancurkan diri sendiri,” lanjutnya, suara bergetar.

Rian merasa bersalah, tapi egonya menahannya untuk mengakuinya. “Kamu selalu bikin ini jadi masalah besar, Tal. Semua orang juga ngerokok, tapi hidup mereka baik-baik aja.”

Talita menggelengkan kepala, kecewa. “Masalahnya bukan orang lain, Rian. Masalahnya kamu. Dan aku gak mau terus-terusan begini.”

Dia masuk ke rumah, membanting pintu. Suasana berubah sunyi, hanya suara angin yang terdengar.

Malam itu

Talita duduk di tempat tidur dengan mata sembap. Dia tahu Rian mungkin tidak akan berubah. Dia kasihan melihat Rian terus membiarkan kebiasaan buruk itu merusak dirinya, tapi rasa kasihan itu tidak cukup untuk menutupi kekecewaannya.

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Dengan malas, Talita bangkit dan membukanya.

Rian berdiri di sana, memegang sekotak kecil. “Aku tahu aku banyak salah. Aku tahu aku sudah mengecewakan kamu, Tal.”

“Apa ini?” Talita bertanya dingin.

“Lihat aja sendiri,” katanya sambil menyerahkan kotak itu.

Talita membuka kotaknya dan menemukan sebatang rokok—yang dipatahkan menjadi dua. Ada catatan kecil di dalamnya: ‘Ini yang terakhir. Aku janji.’

“Rian…” Talita menatapnya, bingung.

“Aku tahu aku gak bisa cuma ngomong, jadi aku mulai dari sini. Aku tahu kamu marah karena kamu peduli, dan aku gak mau kehilangan itu,” katanya dengan serius.

Talita memeluk Rian tanpa berkata apa-apa. Di dalam pelukan itu, ia hanya bisa berharap kali ini Rian benar-benar menepati janjinya.

Namun, di dalam hatinya, Talita tahu ini bukan akhir dari perjuangan mereka. Ini baru permulaan.

Jumat, 29 November 2024

Gudeg, Cinta, dan Pak Nardi



Di sudut kantin sekolah, Dinda duduk gelisah. Matanya mencuri pandang ke arah Rizki, siswa yang diam-diam membuat hatinya berdetak lebih cepat. Rizki sedang asyik bercanda dengan teman-temannya, sama sekali tidak sadar bahwa ada seorang gadis yang menaruh perhatian padanya.

“Dinda, kamu suka Rizki ya?” suara berat tiba-tiba mengejutkan Dinda. Ia menoleh dan melihat Pak Nardi, penjaga kantin yang sudah seperti detektif bagi siswa-siswi di sekolah itu.

“Eh...enggak kok, Pak!” Dinda buru-buru menepis.

Pak Ardi tersenyum penuh arti. “Halah, saya sudah tahu semuanya. Kalau kamu benar-benar ingin dekat dengan Rizki, saya ada caranya.”

Dinda mengerutkan kening. “Caranya gimana, Pak?”

Pak Nardi mendekatkan wajahnya dan berbisik, “Sebungkus nasi gudeg dari warung Bu Lastri. Rizki itu penggemar berat gudeg, tapi dia jarang beli karena katanya malu.”

Dinda terdiam, antara bingung dan geli. “Cuma sebungkus nasi gudeg aja?”

“Betul! Saya yang kasih tahu ke Rizki kalau kamu yang beliin. Sisanya biar saya atur,” ucap Pak Nardi dengan yakin.

***

Hari berikutnya, Dinda datang lebih pagi ke kantin dengan sebungkus nasi gudeg di tangan. Ia menyerahkannya kepada Pak Nardi yang menyeringai penuh kemenangan.

“Percayakan semuanya pada Pak Nardi!” katanya sambil membawa gudeg itu ke arah Rizki yang baru tiba di kantin.

Dari kejauhan, Dinda memperhatikan adegan itu. Pak Nardi memberikan gudeg kepada Rizki sambil berbisik sesuatu. Rizki tampak terkejut, lalu tersenyum.

Beberapa menit kemudian, Rizki berjalan ke arah Dinda dengan sebungkus nasi gudeg di tangannya.

“Dinda, makasih ya. Pak Nardi bilang kamu yang beliin ini buat aku,” kata Rizki sambil tersenyum lebar.

Dinda merasa wajahnya memanas. “I-ih, enggak kok. Itu cuma... ya... aku dengar kamu suka gudeg, jadi…”

“Berarti kamu perhatian sama aku ya?” Rizki menggoda dengan nada bercanda.

Dinda hanya bisa tersenyum malu.

***

Sejak hari itu, hubungan mereka berubah. Rizki mulai sering menyapa Dinda, bahkan mengajaknya belajar bersama di perpustakaan. Perlahan, perasaan yang dulu hanya tersimpan di hati mulai menemukan jalan untuk saling diungkapkan.

Pak Nardi yang memperhatikan mereka dari kejauhan tersenyum puas. “Gudeg memang ajaib. Tapi cinta lebih ajaib lagi.”

Sabtu, 02 November 2024

Cinta yang Ditinggalkan



Malam itu, Nina berdiri di bawah langit malam yang pekat, menatap ke arah lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Hatinya terasa kosong. Semua kenangan, janji-janji, dan kata-kata manis kini hanya tersisa sebagai luka yang membekas dalam. Rasa sakit itu datang lagi, menghantam hatinya yang sudah retak.

Dia mengingat wajah Bani, pria yang selama ini menjadi sumber cintanya. Mereka pernah berjanji saling setia, berjuang bersama dalam suka dan duka. Tapi, entah bagaimana, semua berubah. Bani memilih untuk pergi, meninggalkan Nina demi seseorang yang baru, yang mungkin lebih menarik di matanya.

Nina menelan ludah, pahit di tenggorokannya. "Apa yang kurang dari aku? Mengapa harus dia?" pikirnya berkali-kali. Ia merasa ditinggalkan, diabaikan, dan kehilangan harga diri. Di dalam pikirannya, ia bertanya-tanya apakah Bani menyadari pengorbanannya selama ini. Tapi nyatanya, semua yang Nina lakukan tidak berarti apa-apa bagi Bani.

Hari itu, tanpa sepengetahuan Nina, Bani kembali pergi dengan wanita itu. Mereka terlihat mesra, bercanda dan tertawa, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Nina sempat melihat mereka dari kejauhan, dan matanya berair. Bukan hanya cemburu yang ia rasakan, tapi juga rasa hina – seolah-olah ia hanyalah bayangan masa lalu yang tak lagi diinginkan.

"Aku sudah jadi beban bagi dia," bisiknya lirih, menahan perasaan yang meluap-luap. Dalam hati, ia merasa dipermalukan, bukan hanya oleh Bani, tetapi oleh dirinya sendiri yang masih merindukan pria yang jelas-jelas sudah berpaling.

Tak lama, Nina mendapat kabar bahwa Bani mulai mengalami masalah dalam kehidupannya. Orang-orang mulai menjauhinya, dan wanita itu yang awalnya dekat dengannya, perlahan-lahan juga mulai menghilang. Seperti yang sering ia dengar, keadilan memang selalu datang dengan caranya sendiri.

Namun Nina tak tersenyum atau merasa puas melihat penderitaan Bani. Baginya, itu hanya membuktikan betapa sia-sianya cinta yang ia berikan untuk seseorang yang tidak pantas menerimanya. Dia sadar bahwa cinta sejati tidak akan pernah tergerus oleh godaan sesaat. Dan Bani telah membuktikan, cintanya kepada Nina selama ini hanya fatamorgana.

Nina menghela napas dalam, memutuskan untuk melangkah maju tanpa menoleh lagi ke masa lalu. Meski hati masih terasa perih, dia tahu suatu hari akan tiba saatnya ia menemukan kebahagiaan yang lebih sejati, bersama seseorang yang tak akan pernah melepaskan genggaman tangannya.

 

Jumat, 11 Oktober 2024

Rasa dan Ambisi

 


Shifah menatap pantulan dirinya di cermin dengan senyum tipis. Hari ini adalah hari terakhir kampanye Pemilihan Ketua OSIS (Ketos) di SMP-nya, dan dia merasa yakin. Ini adalah kesempatan besar baginya untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa dia bisa memimpin. Meski harus bersaing dengan dua calon lain, Yuanas yang selalu mendapat perhatian siswa karena karismanya, dan Ismun, sosok yang tenang namun memiliki pengikut setia, Shifah tetap optimis.

Namun, ada hal lain yang membuat pikirannya terpecah. Shifah menyimpan perasaan yang tak pernah dia ungkapkan, bahkan kepada sahabat terdekatnya. Dia memiliki hati untuk Ismun—lawan politiknya. Meskipun mereka bersaing dalam ajang ini, setiap malam mereka sering saling berkirim pesan. Hubungan mereka yang terasa akrab di dunia maya, membuat Shifah semakin sulit mengabaikan apa yang dia rasakan. Tapi dalam situasi seperti ini, perasaan harus disimpan rapat-rapat.

Di kantin sekolah, Shifah melihat Yuanas yang tengah berbicara dengan sekelompok siswa. Semua mata tampak tertuju pada Yuanas, penuh kagum dan antusiasme. Shifah menghela napas panjang, merasa sedikit terguncang. Popularitas Yuanas tak bisa dianggap remeh. Sedangkan Ismun, duduk di ujung kantin, berbicara dengan beberapa teman dekatnya. Saat Ismun menoleh dan melihatnya, mereka bertukar senyum.

Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Ismun: "Gimana kampanye hari ini? Kamu pasti keren deh."

Shifah tersenyum kecil sambil mengetik balasan, "Lumayan, tapi masih harus kerja keras biar bisa saingin kamu."

Ismun membalas cepat, "Ah, aku yakin kamu bisa, Shifah. Kamu kuat."

Pesan singkat itu seolah memberi kekuatan lebih pada Shifah. Namun, di dalam hatinya ada konflik yang berkecamuk. Bagaimana mungkin dia bisa merasa nyaman dengan Ismun sementara mereka berdua bersaing memperebutkan posisi yang sama? Sebuah dilema besar yang tak mudah dipecahkan.

Saat debat kandidat dimulai di aula, ketiga calon diberi kesempatan untuk memaparkan visi dan misi mereka. Yuanas tampil percaya diri, memberikan gagasan yang berani tentang kegiatan OSIS yang modern dan dinamis. Siswa-siswa bertepuk tangan meriah setelah ia selesai berbicara. Kemudian giliran Ismun, yang dengan tenang menjelaskan rencananya untuk menciptakan OSIS yang lebih inklusif dan memperhatikan seluruh siswa. Gayanya yang tenang dan bijak membuat banyak orang tertarik.

Dan akhirnya, giliran Shifah. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke podium. Hatinya berdebar kencang, tetapi wajahnya tetap tenang. Dia memaparkan idenya tentang kepemimpinan yang lebih terbuka dan transparan, di mana setiap siswa bisa berkontribusi aktif dalam pengambilan keputusan. Tepuk tangan riuh mengisi ruangan saat dia mengakhiri pidatonya. Ada rasa bangga yang menyelimuti hatinya—dia tahu dia telah memberikan yang terbaik.

Namun, malam harinya, saat dia tengah merenung, ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari Ismun: *"Kamu tadi luar biasa. Aku jadi semakin nggak yakin bisa menang lawan kamu, haha."*

Shifah tertawa kecil membaca pesannya. Tapi, ada hal yang menggantung di pikirannya. Perasaan ini tak bisa terus dia sembunyikan.

”Ismun, ada sesuatu yang mau aku bilang..." 

Pesannya terhenti. Dia tak tahu apakah ini saat yang tepat. Namun, sebelum dia sempat memikirkan lebih jauh, pesan balasan dari Ismun masuk: "Aku juga sebenarnya mau bilang sesuatu. Ini soal kita... Mungkin nggak pas sih di momen ini, tapi aku merasa ada sesuatu di antara kita."

Jantung Shifah berdebar lebih cepat. Dia tidak sendirian dalam merasakan ini. Ismun juga merasakan hal yang sama.

Namun, kenyataan kembali menghantam. Mereka adalah lawan politik di ajang Pemilos ini. Apa yang akan terjadi jika orang-orang tahu? Bagaimana jika hal ini memengaruhi hasil pemilihan?

Di hari pemilihan, ketegangan terasa di seluruh sekolah. Shifah terus berusaha fokus pada misinya. Namun, saat melangkah ke TPS untuk memberikan suara, dia bertemu pandang dengan Ismun di kejauhan. Mereka bertukar pandang sejenak, senyum kecil menghiasi wajah mereka.

Saat penghitungan suara dimulai, detik demi detik terasa sangat lambat. Shifah menggenggam erat ponselnya, menunggu hasil akhir. Suara Yuanas dan Ismun sama-sama tinggi, namun suara untuk Shifah juga tak kalah banyak. Hingga akhirnya, pengumuman resmi disampaikan: Shifah terpilih sebagai Ketua OSIS.

Sekolah riuh dengan tepuk tangan. Namun di tengah kegembiraan itu, hati Shifah dipenuhi rasa bingung. Dia baru saja memenangkan pemilihan, tetapi pikirannya langsung tertuju pada satu orang—Ismun.

Ketika semua orang mulai meninggalkan aula, Ismun menghampirinya. “Selamat, Shifah,” katanya dengan senyum tulus, meski ada rasa sedikit getir dalam suaranya.

Shifah tersenyum, meski hatinya dipenuhi berbagai emosi. “Makasih, Ismun. Tapi... tentang kita...”

Ismun mengangguk, seolah tahu apa yang akan dia katakan. “Kita bisa bicara nanti. Sekarang, kamu nikmati dulu kemenanganmu.”

Mereka saling menatap untuk beberapa saat, sebelum Ismun perlahan berbalik pergi, meninggalkan Shifah yang berdiri di tengah aula yang sepi. Meski hatinya penuh kemenangan, Shifah tak bisa mengabaikan rasa lain yang kini muncul—bahwa mungkin, ada hal yang lebih besar dari sekadar kemenangan ini.

Rabu, 25 September 2024

Antara Cinta dan Teman

 


Hari-hari Salsa di SMP favoritnya di Demak selalu penuh keceriaan. Dengan teman-teman yang ceria, ia menikmati setiap detik di kelas 9. Namun, di balik senyumannya, ada cerita yang tidak ia sadari: seorang teman pria bernama Resky selalu mengikuti langkahnya dari jauh.

Resky adalah sosok yang pendiam, sering terlihat tersenyum setiap kali Salsa lewat. Salsa mengira Resky hanya tertarik pada Livi, teman baiknya yang ceria dan penuh pesona. Livi, dengan senyuman menawannya, selalu menarik perhatian banyak orang, termasuk Resky. Namun, Salsa tak tahu bahwa di balik sikapnya yang tenang, Resky sebenarnya menyimpan perasaan mendalam untuknya.

Suatu hari, saat Salsa dan Livi duduk di taman sekolah, Livi mengungkapkan harapannya. “Salsa, aku suka sama Resky. Kamu pikir dia juga suka sama aku?” Salsa terkejut mendengar pengakuan itu. Dalam hatinya, ia berusaha menenangkan diri, padahal ia tahu bahwa Resky sebenarnya tidak memperhatikan Livi seperti yang diharapkannya.

“Saya rasa… Resky tidak tertarik pada siapapun, Livi. Dia lebih sering melihat ke arahku,” jawab Salsa dengan ragu, merasa bingung antara ingin jujur dan melindungi perasaan temannya. 

Malam harinya, Salsa tidak bisa tidur. Ia teringat tatapan Resky yang sering tertangkapnya. Ada sesuatu yang berbeda di antara mereka, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Rasa bingungnya semakin dalam ketika keesokan harinya, Resky berani menghampirinya.

“Hey, Salsa. Boleh kita bicara sebentar?” tanya Resky, suaranya lembut namun tegas. Jantung Salsa berdebar kencang. Ia mengangguk, berusaha menahan rasa gugupnya.

Di pojok sekolah, di bawah pohon rindang, Resky mulai berbicara. “Salsa, aku… aku suka kamu. Selama ini aku mengikuti kamu, dan aku tidak bisa menahan perasaanku lagi,” ungkapnya. Kata-kata itu seperti petir menyambar dalam benak Salsa. Semua asumsi dan kebingungan akhirnya terjawab.

Namun, saat rasa bahagia itu muncul, ia teringat pada Livi. “Resky, aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Livi menyukaimu,” jawabnya dengan suara bergetar. Ekspresi Resky berubah, tampak kecewa, tetapi dia berusaha tersenyum.

“Aku hanya ingin jujur padamu. Jika kamu tidak merasa sama, aku akan menghormatinya,” katanya. Dalam hati, Salsa merasa terjebak. Di satu sisi, ia ingin menerima perasaan Resky, tetapi di sisi lain, ia tidak ingin menyakiti Livi.

Hari-hari berikutnya, ketegangan terus menyelimuti hubungan mereka. Salsa merasa bersalah karena mengabaikan Livi yang berharap mendapatkan Resky. Sementara itu, Resky semakin menjaga jarak, mencoba menghormati keputusan Salsa. 

Suatu sore, Salsa memutuskan untuk berbicara dengan Livi. “Livi, ada sesuatu yang perlu aku katakan. Resky suka padaku, tapi aku juga tidak ingin menyakitimu,” ungkapnya. Livi terkejut, tetapi setelah beberapa saat, ia menghela napas dan tersenyum. “Salsa, aku tidak ingin memperjuangkan seseorang yang tidak mencintaiku. Jika Resky mencintaimu, aku akan mendukung kalian.”

Pernyataan Livi mengubah segalanya. Salsa merasa beban di hatinya berkurang, dan ia menyadari bahwa ia harus memilih untuk mengikuti perasaannya sendiri. Dengan keberanian baru, ia mencari Resky dan mengatakan, “Aku juga suka padamu. Mari kita coba bersama.”

Resky tersenyum lebar, dan dari situ, mereka mulai menjalin hubungan yang tulus. Walaupun ada ketegangan di awal, mereka belajar untuk saling menghargai satu sama lain, termasuk Livi yang tetap menjadi teman baik mereka. 

Dalam perjalanan cinta yang rumit ini, Salsa menyadari bahwa hidup tak selalu mudah, tetapi dengan keberanian dan kejujuran, mereka bisa menemukan kebahagiaan bersama.

Minggu, 22 September 2024

Debat Hati Asyifa


Asyifa duduk dengan anggun di samping panggung kecil itu, jemarinya dengan lincah memegang microphone. Hari itu, sekolahnya mengadakan acara debat SMP dalam rangkaian pembelajaran P5 bertema “Suara Demokrasi”. Sebagai MC, tugasnya adalah memastikan acara berjalan lancar dan teratur. Namun, di balik profesionalisme yang ia jaga, ada sesuatu yang menggetarkan hatinya hari itu—Barry.

Sosok lelaki remaja itu adalah salah satu peserta debat. Barry, dengan timnya, berdiri di depan podium, bersiap untuk adu argumen dengan kelompok lawan. Dengan postur tegap dan percaya diri, ia tampak tak terintimidasi oleh suasana formal. Malahan, ia memancarkan semangat yang membuat Asyifa diam-diam terpukau. Tidak hanya wajahnya yang teduh dan caranya berbicara yang tenang, tetapi cara Barry mengemukakan pendapat membuat jantung Asyifa berdebar lebih cepat dari biasanya.

Debat dimulai. Suara Barry mengalun tegas saat ia menyampaikan argumennya. Matanya tajam, memancarkan keyakinan akan pendapat yang ia perjuangkan. Asyifa, yang seharusnya fokus pada jalannya acara, mendapati dirinya mulai hanyut dalam argumen-argumen Barry. Rasanya, setiap kata yang keluar dari mulut Barry begitu masuk akal dan mengesankan. Ada ketertarikan yang semakin kuat, yang tak bisa ia abaikan.

Sesekali, Asyifa mencuri pandang ke arah Barry, dan di setiap pandangannya, ia mendapati hatinya berdegup kencang. “Apa yang terjadi padaku?” batinnya. Setiap detik terasa semakin sulit untuk mengendalikan perasaannya yang tiba-tiba mekar. Barry, dengan segala kesederhanaan dan karismanya, tanpa sadar telah menempati ruang khusus di hati Asyifa.

Debat itu berjalan sengit, tapi bagi Asyifa, perhatian utamanya hanya tertuju pada satu orang. Setiap kali Barry berbicara, Asyifa mendengarkan dengan saksama. Saat lawan bicaranya melontarkan argumen balasan, Barry tak goyah. Ia mampu mempertahankan pendapatnya dengan sangat baik, seolah tidak ada yang bisa menandinginya. Hati Asyifa semakin kagum. 

Ketika debat berakhir, Asyifa kembali ke tugasnya sebagai MC. Namun, kali ini ada kegugupan yang tidak biasa. Biasanya, ia mampu menutup acara dengan penuh percaya diri dan keceriaan, tapi kali ini berbeda. Ia berjalan ke panggung dengan langkah yang sedikit ragu. Di dalam hatinya, terjadi konflik antara profesionalisme dan perasaannya yang sedang bergejolak.

“Asyifa, fokus!” bisiknya dalam hati. Namun, itu tak mudah. Barry masih ada di sana, berdiri di barisan depan bersama timnya. Sorotan mata Asyifa tak bisa berpaling dari sosoknya. 

“Terima kasih kepada seluruh peserta debat yang sudah tampil luar biasa pada hari ini,” ucap Asyifa dengan suara sedikit bergetar. “Dan tentunya kepada penonton yang sudah hadir, serta semua pihak yang telah membantu jalannya acara.”

Saat matanya tak sengaja bertemu dengan pandangan Barry, Asyifa merasa seolah dunia berhenti sejenak. Jantungnya berdebar kencang. Wajahnya sedikit memerah, dan ia mulai merasa salah tingkah. Tanpa sadar, senyumnya yang ceria berubah menjadi senyum yang lebih lembut, hampir centil. Semua orang yang mengenal Asyifa pasti tahu, ada yang berbeda darinya hari itu.

Dengan sedikit grogi, Asyifa menutup acara. “Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya, dan... semoga kita bisa bertemu lagi di acara berikutnya.”

Begitu acara selesai, Asyifa segera meninggalkan panggung dengan langkah terburu-buru. Wajahnya merona, dan hatinya tak karuan. “Apa aku terlalu jelas tadi?” tanyanya dalam hati. Ia tersenyum sendiri, malu pada perasaannya yang tiba-tiba muncul. Barry mungkin tak menyadari, tapi bagi Asyifa, hari itu adalah momen spesial yang tak akan ia lupakan.

Barry telah berhasil memukau banyak orang dengan keterampilannya berdebat. Tapi di hati Asyifa, ia telah memenangi debat lain—debat perasaan.

Selasa, 17 September 2024

Faris dan Harapan yang Menggelora



Faris duduk di bangku taman sekolah, mengamati Naema dari kejauhan. Gadis cantik itu sedang tertawa ceria dengan teman-temannya, dan senyumnya yang memikat tidak bisa diabaikan. Faris merasa hatinya berdebar setiap kali melihatnya. Naema, dengan segala keindahannya, membuat Faris penasaran—kenapa gadis secantik dia bisa jatuh hati pada seorang lelaki dengan mata berbinar, yang menurut Faris, jauh dari kesan keren dan memukau.

“Apa yang kurang dari aku?” gumam Faris pada diri sendiri. “Aku punya segalanya—kekayaan, ketampanan, dan banyak teman. Kenapa bukan aku yang ada di samping Naema?”

Meskipun Faris memiliki segalanya, hatinya merasa terguncang setiap kali memikirkan Naema. Faris adalah anak dari keluarga kaya, dikenal banyak orang dan memiliki penampilan yang selalu diperhatikan. Namun, semua itu tidak cukup untuk menarik perhatian Naema. Gadis itu tampaknya lebih suka dengan lelaki yang sederhana tapi memiliki mata yang berbinar penuh semangat. Faris merasa ada yang salah, atau mungkin ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya yang membuat Naema tidak melihatnya.

“Suatu saat nanti, aku pasti bisa menaklukkannya,” tekad Faris. “Aku akan menjadi orang yang lebih baik, lebih dewasa. Saat aku sudah 17 tahun, aku akan punya segala yang Naema butuhkan. Tunggu saja, Naema. Mata berbinar itu pasti akan mengundurkan diri, dan aku akan maju untuk selalu bersamamu.”

Hari-hari berlalu, dan Faris berusaha mempersiapkan diri untuk masa depan. Dia bekerja keras di sekolah, belajar untuk mendapatkan nilai terbaik, dan bahkan mulai terlibat dalam kegiatan sosial untuk menunjukkan bahwa dia peduli. Faris ingin memperbaiki diri, bukan hanya untuk Naema, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Dia mulai menyadari bahwa mungkin apa yang dia miliki tidak selalu cukup untuk membuat seseorang jatuh hati—ia perlu menjadi pribadi yang lebih baik.

Saat hari ulang tahunnya yang ke-17 tiba, Faris merasa lebih percaya diri. Dia telah bekerja keras untuk memperbaiki dirinya, dan kini dia siap untuk menghadapi tantangan yang telah lama dia siapkan. Dengan keyakinan penuh, Faris memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Naema.

Dia mendekati Naema dengan hati berdebar. “Naema, aku ingin berbicara denganmu,” katanya dengan serius. “Aku tahu mungkin kamu tidak pernah melihatku seperti ini sebelumnya, tapi aku sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargaimu dan aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Naema menatap Faris dengan kaget. Ada sesuatu yang berbeda dari Faris hari ini. Bukan hanya penampilannya, tetapi juga caranya berbicara. Dia tampak lebih dewasa dan tulus. Naema tersenyum lembut. “Faris, aku senang melihat perubahanmu. Tapi, aku sudah terbiasa dengan seseorang yang sudah ada di hidupku. Aku menghargai perasaanmu, dan aku berterima kasih karena kamu telah berusaha.”

Meskipun Faris merasa kecewa, dia juga merasa lega. Dia menyadari bahwa usaha dan perubahannya bukan hanya untuk mendapatkan Naema, tetapi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dia tidak lagi terikat pada harapan yang tidak realistis, melainkan lebih pada perjalanan pribadi yang telah dia jalani.

Faris tersenyum pada Naema dan berkata, “Terima kasih, Naema. Aku benar-benar menghargai jujur kamu. Semoga kita bisa tetap berteman dan saling mendukung.”

Naema tersenyum kembali, “Tentu saja, Faris. Aku juga berharap yang terbaik untukmu.”

Dengan perasaan yang campur aduk, Faris melangkah pergi, namun dengan kepastian bahwa perjalanan hidupnya belum selesai. Dia telah belajar banyak dari pengalaman ini dan tahu bahwa cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang menghargai diri sendiri dan orang lain. Faris merasa siap menghadapi dunia dengan sikap baru, siap untuk mengejar mimpi-mimpinya tanpa terikat pada harapan yang tak pasti.

Makan Tuh Janji

  Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan waja...