Shifah menatap pantulan dirinya di cermin dengan senyum tipis. Hari ini adalah hari terakhir kampanye Pemilihan Ketua OSIS (Ketos) di SMP-nya, dan dia merasa yakin. Ini adalah kesempatan besar baginya untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa dia bisa memimpin. Meski harus bersaing dengan dua calon lain, Yuanas yang selalu mendapat perhatian siswa karena karismanya, dan Ismun, sosok yang tenang namun memiliki pengikut setia, Shifah tetap optimis.
Namun, ada hal lain yang membuat pikirannya terpecah. Shifah menyimpan perasaan yang tak pernah dia ungkapkan, bahkan kepada sahabat terdekatnya. Dia memiliki hati untuk Ismun—lawan politiknya. Meskipun mereka bersaing dalam ajang ini, setiap malam mereka sering saling berkirim pesan. Hubungan mereka yang terasa akrab di dunia maya, membuat Shifah semakin sulit mengabaikan apa yang dia rasakan. Tapi dalam situasi seperti ini, perasaan harus disimpan rapat-rapat.
Di kantin sekolah, Shifah melihat Yuanas yang tengah berbicara dengan sekelompok siswa. Semua mata tampak tertuju pada Yuanas, penuh kagum dan antusiasme. Shifah menghela napas panjang, merasa sedikit terguncang. Popularitas Yuanas tak bisa dianggap remeh. Sedangkan Ismun, duduk di ujung kantin, berbicara dengan beberapa teman dekatnya. Saat Ismun menoleh dan melihatnya, mereka bertukar senyum.
Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Ismun: "Gimana kampanye hari ini? Kamu pasti keren deh."
Shifah tersenyum kecil sambil mengetik balasan, "Lumayan, tapi masih harus kerja keras biar bisa saingin kamu."
Ismun membalas cepat, "Ah, aku yakin kamu bisa, Shifah. Kamu kuat."
Pesan singkat itu seolah memberi kekuatan lebih pada Shifah. Namun, di dalam hatinya ada konflik yang berkecamuk. Bagaimana mungkin dia bisa merasa nyaman dengan Ismun sementara mereka berdua bersaing memperebutkan posisi yang sama? Sebuah dilema besar yang tak mudah dipecahkan.
Saat debat kandidat dimulai di aula, ketiga calon diberi kesempatan untuk memaparkan visi dan misi mereka. Yuanas tampil percaya diri, memberikan gagasan yang berani tentang kegiatan OSIS yang modern dan dinamis. Siswa-siswa bertepuk tangan meriah setelah ia selesai berbicara. Kemudian giliran Ismun, yang dengan tenang menjelaskan rencananya untuk menciptakan OSIS yang lebih inklusif dan memperhatikan seluruh siswa. Gayanya yang tenang dan bijak membuat banyak orang tertarik.
Dan akhirnya, giliran Shifah. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke podium. Hatinya berdebar kencang, tetapi wajahnya tetap tenang. Dia memaparkan idenya tentang kepemimpinan yang lebih terbuka dan transparan, di mana setiap siswa bisa berkontribusi aktif dalam pengambilan keputusan. Tepuk tangan riuh mengisi ruangan saat dia mengakhiri pidatonya. Ada rasa bangga yang menyelimuti hatinya—dia tahu dia telah memberikan yang terbaik.
Namun, malam harinya, saat dia tengah merenung, ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari Ismun: *"Kamu tadi luar biasa. Aku jadi semakin nggak yakin bisa menang lawan kamu, haha."*
Shifah tertawa kecil membaca pesannya. Tapi, ada hal yang menggantung di pikirannya. Perasaan ini tak bisa terus dia sembunyikan.
”Ismun, ada sesuatu yang mau aku bilang..."
Pesannya terhenti. Dia tak tahu apakah ini saat yang tepat. Namun, sebelum dia sempat memikirkan lebih jauh, pesan balasan dari Ismun masuk: "Aku juga sebenarnya mau bilang sesuatu. Ini soal kita... Mungkin nggak pas sih di momen ini, tapi aku merasa ada sesuatu di antara kita."
Jantung Shifah berdebar lebih cepat. Dia tidak sendirian dalam merasakan ini. Ismun juga merasakan hal yang sama.
Namun, kenyataan kembali menghantam. Mereka adalah lawan politik di ajang Pemilos ini. Apa yang akan terjadi jika orang-orang tahu? Bagaimana jika hal ini memengaruhi hasil pemilihan?
Di hari pemilihan, ketegangan terasa di seluruh sekolah. Shifah terus berusaha fokus pada misinya. Namun, saat melangkah ke TPS untuk memberikan suara, dia bertemu pandang dengan Ismun di kejauhan. Mereka bertukar pandang sejenak, senyum kecil menghiasi wajah mereka.
Saat penghitungan suara dimulai, detik demi detik terasa sangat lambat. Shifah menggenggam erat ponselnya, menunggu hasil akhir. Suara Yuanas dan Ismun sama-sama tinggi, namun suara untuk Shifah juga tak kalah banyak. Hingga akhirnya, pengumuman resmi disampaikan: Shifah terpilih sebagai Ketua OSIS.
Sekolah riuh dengan tepuk tangan. Namun di tengah kegembiraan itu, hati Shifah dipenuhi rasa bingung. Dia baru saja memenangkan pemilihan, tetapi pikirannya langsung tertuju pada satu orang—Ismun.
Ketika semua orang mulai meninggalkan aula, Ismun menghampirinya. “Selamat, Shifah,” katanya dengan senyum tulus, meski ada rasa sedikit getir dalam suaranya.
Shifah tersenyum, meski hatinya dipenuhi berbagai emosi. “Makasih, Ismun. Tapi... tentang kita...”
Ismun mengangguk, seolah tahu apa yang akan dia katakan. “Kita bisa bicara nanti. Sekarang, kamu nikmati dulu kemenanganmu.”
Mereka saling menatap untuk beberapa saat, sebelum Ismun perlahan berbalik pergi, meninggalkan Shifah yang berdiri di tengah aula yang sepi. Meski hatinya penuh kemenangan, Shifah tak bisa mengabaikan rasa lain yang kini muncul—bahwa mungkin, ada hal yang lebih besar dari sekadar kemenangan ini.