Jumat, 11 Oktober 2024

Rasa dan Ambisi

 


Shifah menatap pantulan dirinya di cermin dengan senyum tipis. Hari ini adalah hari terakhir kampanye Pemilihan Ketua OSIS (Ketos) di SMP-nya, dan dia merasa yakin. Ini adalah kesempatan besar baginya untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa dia bisa memimpin. Meski harus bersaing dengan dua calon lain, Yuanas yang selalu mendapat perhatian siswa karena karismanya, dan Ismun, sosok yang tenang namun memiliki pengikut setia, Shifah tetap optimis.

Namun, ada hal lain yang membuat pikirannya terpecah. Shifah menyimpan perasaan yang tak pernah dia ungkapkan, bahkan kepada sahabat terdekatnya. Dia memiliki hati untuk Ismun—lawan politiknya. Meskipun mereka bersaing dalam ajang ini, setiap malam mereka sering saling berkirim pesan. Hubungan mereka yang terasa akrab di dunia maya, membuat Shifah semakin sulit mengabaikan apa yang dia rasakan. Tapi dalam situasi seperti ini, perasaan harus disimpan rapat-rapat.

Di kantin sekolah, Shifah melihat Yuanas yang tengah berbicara dengan sekelompok siswa. Semua mata tampak tertuju pada Yuanas, penuh kagum dan antusiasme. Shifah menghela napas panjang, merasa sedikit terguncang. Popularitas Yuanas tak bisa dianggap remeh. Sedangkan Ismun, duduk di ujung kantin, berbicara dengan beberapa teman dekatnya. Saat Ismun menoleh dan melihatnya, mereka bertukar senyum.

Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Ismun: "Gimana kampanye hari ini? Kamu pasti keren deh."

Shifah tersenyum kecil sambil mengetik balasan, "Lumayan, tapi masih harus kerja keras biar bisa saingin kamu."

Ismun membalas cepat, "Ah, aku yakin kamu bisa, Shifah. Kamu kuat."

Pesan singkat itu seolah memberi kekuatan lebih pada Shifah. Namun, di dalam hatinya ada konflik yang berkecamuk. Bagaimana mungkin dia bisa merasa nyaman dengan Ismun sementara mereka berdua bersaing memperebutkan posisi yang sama? Sebuah dilema besar yang tak mudah dipecahkan.

Saat debat kandidat dimulai di aula, ketiga calon diberi kesempatan untuk memaparkan visi dan misi mereka. Yuanas tampil percaya diri, memberikan gagasan yang berani tentang kegiatan OSIS yang modern dan dinamis. Siswa-siswa bertepuk tangan meriah setelah ia selesai berbicara. Kemudian giliran Ismun, yang dengan tenang menjelaskan rencananya untuk menciptakan OSIS yang lebih inklusif dan memperhatikan seluruh siswa. Gayanya yang tenang dan bijak membuat banyak orang tertarik.

Dan akhirnya, giliran Shifah. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke podium. Hatinya berdebar kencang, tetapi wajahnya tetap tenang. Dia memaparkan idenya tentang kepemimpinan yang lebih terbuka dan transparan, di mana setiap siswa bisa berkontribusi aktif dalam pengambilan keputusan. Tepuk tangan riuh mengisi ruangan saat dia mengakhiri pidatonya. Ada rasa bangga yang menyelimuti hatinya—dia tahu dia telah memberikan yang terbaik.

Namun, malam harinya, saat dia tengah merenung, ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari Ismun: *"Kamu tadi luar biasa. Aku jadi semakin nggak yakin bisa menang lawan kamu, haha."*

Shifah tertawa kecil membaca pesannya. Tapi, ada hal yang menggantung di pikirannya. Perasaan ini tak bisa terus dia sembunyikan.

”Ismun, ada sesuatu yang mau aku bilang..." 

Pesannya terhenti. Dia tak tahu apakah ini saat yang tepat. Namun, sebelum dia sempat memikirkan lebih jauh, pesan balasan dari Ismun masuk: "Aku juga sebenarnya mau bilang sesuatu. Ini soal kita... Mungkin nggak pas sih di momen ini, tapi aku merasa ada sesuatu di antara kita."

Jantung Shifah berdebar lebih cepat. Dia tidak sendirian dalam merasakan ini. Ismun juga merasakan hal yang sama.

Namun, kenyataan kembali menghantam. Mereka adalah lawan politik di ajang Pemilos ini. Apa yang akan terjadi jika orang-orang tahu? Bagaimana jika hal ini memengaruhi hasil pemilihan?

Di hari pemilihan, ketegangan terasa di seluruh sekolah. Shifah terus berusaha fokus pada misinya. Namun, saat melangkah ke TPS untuk memberikan suara, dia bertemu pandang dengan Ismun di kejauhan. Mereka bertukar pandang sejenak, senyum kecil menghiasi wajah mereka.

Saat penghitungan suara dimulai, detik demi detik terasa sangat lambat. Shifah menggenggam erat ponselnya, menunggu hasil akhir. Suara Yuanas dan Ismun sama-sama tinggi, namun suara untuk Shifah juga tak kalah banyak. Hingga akhirnya, pengumuman resmi disampaikan: Shifah terpilih sebagai Ketua OSIS.

Sekolah riuh dengan tepuk tangan. Namun di tengah kegembiraan itu, hati Shifah dipenuhi rasa bingung. Dia baru saja memenangkan pemilihan, tetapi pikirannya langsung tertuju pada satu orang—Ismun.

Ketika semua orang mulai meninggalkan aula, Ismun menghampirinya. “Selamat, Shifah,” katanya dengan senyum tulus, meski ada rasa sedikit getir dalam suaranya.

Shifah tersenyum, meski hatinya dipenuhi berbagai emosi. “Makasih, Ismun. Tapi... tentang kita...”

Ismun mengangguk, seolah tahu apa yang akan dia katakan. “Kita bisa bicara nanti. Sekarang, kamu nikmati dulu kemenanganmu.”

Mereka saling menatap untuk beberapa saat, sebelum Ismun perlahan berbalik pergi, meninggalkan Shifah yang berdiri di tengah aula yang sepi. Meski hatinya penuh kemenangan, Shifah tak bisa mengabaikan rasa lain yang kini muncul—bahwa mungkin, ada hal yang lebih besar dari sekadar kemenangan ini.

Rabu, 25 September 2024

Antara Cinta dan Teman

 


Hari-hari Salsa di SMP favoritnya di Demak selalu penuh keceriaan. Dengan teman-teman yang ceria, ia menikmati setiap detik di kelas 9. Namun, di balik senyumannya, ada cerita yang tidak ia sadari: seorang teman pria bernama Resky selalu mengikuti langkahnya dari jauh.

Resky adalah sosok yang pendiam, sering terlihat tersenyum setiap kali Salsa lewat. Salsa mengira Resky hanya tertarik pada Livi, teman baiknya yang ceria dan penuh pesona. Livi, dengan senyuman menawannya, selalu menarik perhatian banyak orang, termasuk Resky. Namun, Salsa tak tahu bahwa di balik sikapnya yang tenang, Resky sebenarnya menyimpan perasaan mendalam untuknya.

Suatu hari, saat Salsa dan Livi duduk di taman sekolah, Livi mengungkapkan harapannya. “Salsa, aku suka sama Resky. Kamu pikir dia juga suka sama aku?” Salsa terkejut mendengar pengakuan itu. Dalam hatinya, ia berusaha menenangkan diri, padahal ia tahu bahwa Resky sebenarnya tidak memperhatikan Livi seperti yang diharapkannya.

“Saya rasa… Resky tidak tertarik pada siapapun, Livi. Dia lebih sering melihat ke arahku,” jawab Salsa dengan ragu, merasa bingung antara ingin jujur dan melindungi perasaan temannya. 

Malam harinya, Salsa tidak bisa tidur. Ia teringat tatapan Resky yang sering tertangkapnya. Ada sesuatu yang berbeda di antara mereka, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Rasa bingungnya semakin dalam ketika keesokan harinya, Resky berani menghampirinya.

“Hey, Salsa. Boleh kita bicara sebentar?” tanya Resky, suaranya lembut namun tegas. Jantung Salsa berdebar kencang. Ia mengangguk, berusaha menahan rasa gugupnya.

Di pojok sekolah, di bawah pohon rindang, Resky mulai berbicara. “Salsa, aku… aku suka kamu. Selama ini aku mengikuti kamu, dan aku tidak bisa menahan perasaanku lagi,” ungkapnya. Kata-kata itu seperti petir menyambar dalam benak Salsa. Semua asumsi dan kebingungan akhirnya terjawab.

Namun, saat rasa bahagia itu muncul, ia teringat pada Livi. “Resky, aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Livi menyukaimu,” jawabnya dengan suara bergetar. Ekspresi Resky berubah, tampak kecewa, tetapi dia berusaha tersenyum.

“Aku hanya ingin jujur padamu. Jika kamu tidak merasa sama, aku akan menghormatinya,” katanya. Dalam hati, Salsa merasa terjebak. Di satu sisi, ia ingin menerima perasaan Resky, tetapi di sisi lain, ia tidak ingin menyakiti Livi.

Hari-hari berikutnya, ketegangan terus menyelimuti hubungan mereka. Salsa merasa bersalah karena mengabaikan Livi yang berharap mendapatkan Resky. Sementara itu, Resky semakin menjaga jarak, mencoba menghormati keputusan Salsa. 

Suatu sore, Salsa memutuskan untuk berbicara dengan Livi. “Livi, ada sesuatu yang perlu aku katakan. Resky suka padaku, tapi aku juga tidak ingin menyakitimu,” ungkapnya. Livi terkejut, tetapi setelah beberapa saat, ia menghela napas dan tersenyum. “Salsa, aku tidak ingin memperjuangkan seseorang yang tidak mencintaiku. Jika Resky mencintaimu, aku akan mendukung kalian.”

Pernyataan Livi mengubah segalanya. Salsa merasa beban di hatinya berkurang, dan ia menyadari bahwa ia harus memilih untuk mengikuti perasaannya sendiri. Dengan keberanian baru, ia mencari Resky dan mengatakan, “Aku juga suka padamu. Mari kita coba bersama.”

Resky tersenyum lebar, dan dari situ, mereka mulai menjalin hubungan yang tulus. Walaupun ada ketegangan di awal, mereka belajar untuk saling menghargai satu sama lain, termasuk Livi yang tetap menjadi teman baik mereka. 

Dalam perjalanan cinta yang rumit ini, Salsa menyadari bahwa hidup tak selalu mudah, tetapi dengan keberanian dan kejujuran, mereka bisa menemukan kebahagiaan bersama.

Minggu, 22 September 2024

Debat Hati Asyifa


Asyifa duduk dengan anggun di samping panggung kecil itu, jemarinya dengan lincah memegang microphone. Hari itu, sekolahnya mengadakan acara debat SMP dalam rangkaian pembelajaran P5 bertema “Suara Demokrasi”. Sebagai MC, tugasnya adalah memastikan acara berjalan lancar dan teratur. Namun, di balik profesionalisme yang ia jaga, ada sesuatu yang menggetarkan hatinya hari itu—Barry.

Sosok lelaki remaja itu adalah salah satu peserta debat. Barry, dengan timnya, berdiri di depan podium, bersiap untuk adu argumen dengan kelompok lawan. Dengan postur tegap dan percaya diri, ia tampak tak terintimidasi oleh suasana formal. Malahan, ia memancarkan semangat yang membuat Asyifa diam-diam terpukau. Tidak hanya wajahnya yang teduh dan caranya berbicara yang tenang, tetapi cara Barry mengemukakan pendapat membuat jantung Asyifa berdebar lebih cepat dari biasanya.

Debat dimulai. Suara Barry mengalun tegas saat ia menyampaikan argumennya. Matanya tajam, memancarkan keyakinan akan pendapat yang ia perjuangkan. Asyifa, yang seharusnya fokus pada jalannya acara, mendapati dirinya mulai hanyut dalam argumen-argumen Barry. Rasanya, setiap kata yang keluar dari mulut Barry begitu masuk akal dan mengesankan. Ada ketertarikan yang semakin kuat, yang tak bisa ia abaikan.

Sesekali, Asyifa mencuri pandang ke arah Barry, dan di setiap pandangannya, ia mendapati hatinya berdegup kencang. “Apa yang terjadi padaku?” batinnya. Setiap detik terasa semakin sulit untuk mengendalikan perasaannya yang tiba-tiba mekar. Barry, dengan segala kesederhanaan dan karismanya, tanpa sadar telah menempati ruang khusus di hati Asyifa.

Debat itu berjalan sengit, tapi bagi Asyifa, perhatian utamanya hanya tertuju pada satu orang. Setiap kali Barry berbicara, Asyifa mendengarkan dengan saksama. Saat lawan bicaranya melontarkan argumen balasan, Barry tak goyah. Ia mampu mempertahankan pendapatnya dengan sangat baik, seolah tidak ada yang bisa menandinginya. Hati Asyifa semakin kagum. 

Ketika debat berakhir, Asyifa kembali ke tugasnya sebagai MC. Namun, kali ini ada kegugupan yang tidak biasa. Biasanya, ia mampu menutup acara dengan penuh percaya diri dan keceriaan, tapi kali ini berbeda. Ia berjalan ke panggung dengan langkah yang sedikit ragu. Di dalam hatinya, terjadi konflik antara profesionalisme dan perasaannya yang sedang bergejolak.

“Asyifa, fokus!” bisiknya dalam hati. Namun, itu tak mudah. Barry masih ada di sana, berdiri di barisan depan bersama timnya. Sorotan mata Asyifa tak bisa berpaling dari sosoknya. 

“Terima kasih kepada seluruh peserta debat yang sudah tampil luar biasa pada hari ini,” ucap Asyifa dengan suara sedikit bergetar. “Dan tentunya kepada penonton yang sudah hadir, serta semua pihak yang telah membantu jalannya acara.”

Saat matanya tak sengaja bertemu dengan pandangan Barry, Asyifa merasa seolah dunia berhenti sejenak. Jantungnya berdebar kencang. Wajahnya sedikit memerah, dan ia mulai merasa salah tingkah. Tanpa sadar, senyumnya yang ceria berubah menjadi senyum yang lebih lembut, hampir centil. Semua orang yang mengenal Asyifa pasti tahu, ada yang berbeda darinya hari itu.

Dengan sedikit grogi, Asyifa menutup acara. “Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya, dan... semoga kita bisa bertemu lagi di acara berikutnya.”

Begitu acara selesai, Asyifa segera meninggalkan panggung dengan langkah terburu-buru. Wajahnya merona, dan hatinya tak karuan. “Apa aku terlalu jelas tadi?” tanyanya dalam hati. Ia tersenyum sendiri, malu pada perasaannya yang tiba-tiba muncul. Barry mungkin tak menyadari, tapi bagi Asyifa, hari itu adalah momen spesial yang tak akan ia lupakan.

Barry telah berhasil memukau banyak orang dengan keterampilannya berdebat. Tapi di hati Asyifa, ia telah memenangi debat lain—debat perasaan.

Selasa, 17 September 2024

Faris dan Harapan yang Menggelora



Faris duduk di bangku taman sekolah, mengamati Naema dari kejauhan. Gadis cantik itu sedang tertawa ceria dengan teman-temannya, dan senyumnya yang memikat tidak bisa diabaikan. Faris merasa hatinya berdebar setiap kali melihatnya. Naema, dengan segala keindahannya, membuat Faris penasaran—kenapa gadis secantik dia bisa jatuh hati pada seorang lelaki dengan mata berbinar, yang menurut Faris, jauh dari kesan keren dan memukau.

“Apa yang kurang dari aku?” gumam Faris pada diri sendiri. “Aku punya segalanya—kekayaan, ketampanan, dan banyak teman. Kenapa bukan aku yang ada di samping Naema?”

Meskipun Faris memiliki segalanya, hatinya merasa terguncang setiap kali memikirkan Naema. Faris adalah anak dari keluarga kaya, dikenal banyak orang dan memiliki penampilan yang selalu diperhatikan. Namun, semua itu tidak cukup untuk menarik perhatian Naema. Gadis itu tampaknya lebih suka dengan lelaki yang sederhana tapi memiliki mata yang berbinar penuh semangat. Faris merasa ada yang salah, atau mungkin ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya yang membuat Naema tidak melihatnya.

“Suatu saat nanti, aku pasti bisa menaklukkannya,” tekad Faris. “Aku akan menjadi orang yang lebih baik, lebih dewasa. Saat aku sudah 17 tahun, aku akan punya segala yang Naema butuhkan. Tunggu saja, Naema. Mata berbinar itu pasti akan mengundurkan diri, dan aku akan maju untuk selalu bersamamu.”

Hari-hari berlalu, dan Faris berusaha mempersiapkan diri untuk masa depan. Dia bekerja keras di sekolah, belajar untuk mendapatkan nilai terbaik, dan bahkan mulai terlibat dalam kegiatan sosial untuk menunjukkan bahwa dia peduli. Faris ingin memperbaiki diri, bukan hanya untuk Naema, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Dia mulai menyadari bahwa mungkin apa yang dia miliki tidak selalu cukup untuk membuat seseorang jatuh hati—ia perlu menjadi pribadi yang lebih baik.

Saat hari ulang tahunnya yang ke-17 tiba, Faris merasa lebih percaya diri. Dia telah bekerja keras untuk memperbaiki dirinya, dan kini dia siap untuk menghadapi tantangan yang telah lama dia siapkan. Dengan keyakinan penuh, Faris memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Naema.

Dia mendekati Naema dengan hati berdebar. “Naema, aku ingin berbicara denganmu,” katanya dengan serius. “Aku tahu mungkin kamu tidak pernah melihatku seperti ini sebelumnya, tapi aku sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargaimu dan aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Naema menatap Faris dengan kaget. Ada sesuatu yang berbeda dari Faris hari ini. Bukan hanya penampilannya, tetapi juga caranya berbicara. Dia tampak lebih dewasa dan tulus. Naema tersenyum lembut. “Faris, aku senang melihat perubahanmu. Tapi, aku sudah terbiasa dengan seseorang yang sudah ada di hidupku. Aku menghargai perasaanmu, dan aku berterima kasih karena kamu telah berusaha.”

Meskipun Faris merasa kecewa, dia juga merasa lega. Dia menyadari bahwa usaha dan perubahannya bukan hanya untuk mendapatkan Naema, tetapi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dia tidak lagi terikat pada harapan yang tidak realistis, melainkan lebih pada perjalanan pribadi yang telah dia jalani.

Faris tersenyum pada Naema dan berkata, “Terima kasih, Naema. Aku benar-benar menghargai jujur kamu. Semoga kita bisa tetap berteman dan saling mendukung.”

Naema tersenyum kembali, “Tentu saja, Faris. Aku juga berharap yang terbaik untukmu.”

Dengan perasaan yang campur aduk, Faris melangkah pergi, namun dengan kepastian bahwa perjalanan hidupnya belum selesai. Dia telah belajar banyak dari pengalaman ini dan tahu bahwa cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang menghargai diri sendiri dan orang lain. Faris merasa siap menghadapi dunia dengan sikap baru, siap untuk mengejar mimpi-mimpinya tanpa terikat pada harapan yang tak pasti.

Lita dan Rasa Beraninya

 


Lita adalah seorang remaja yang tergolong pemalu. Ketika di sekolah, dia lebih suka duduk di belakang kelas, menunduk, dan menghindari kontak mata dengan siapa pun. Jika ada sesuatu yang ingin dia katakan kepada temannya, dia lebih memilih menuliskannya di WhatsApp daripada berbicara langsung. Namun, sesuatu yang aneh terjadi saat dia chatting. Di sana, Lita seperti berubah. Dia bisa berbicara apa saja, tanpa takut atau ragu.

Di antara semua guru, ada satu sosok yang membuatnya sangat gugup, yaitu Pak Indra, guru BK di kelasnya. Setiap kali melihat Pak Indra, Lita merasa takut dan gugup tanpa alasan yang jelas. Bahkan saat Pak Indra sekadar lewat di depannya, Lita merasa seperti ingin hilang dari pandangan. Rasa tidak berani itu semakin menjadi-jadi setiap kali Pak Indra memanggilnya ke depan kelas. Saat itu terjadi, Lita hanya bisa mengerut, menundukkan kepala, dan berharap pertemuan itu segera selesai.

Namun, berbeda ketika Lita berhadapan dengan guru lain, terutama Bu Rini, guru yang sangat dia sukai. Ketika bersama Bu Rini, Lita seperti orang yang berbeda. Dia bercakap-cakap tanpa henti, tertawa lepas, dan terlihat nyaman seperti berbicara dengan teman sebaya. Ini membuat sahabatnya, Sekar, merasa bingung. Sekar sering memperhatikan Lita yang bisa begitu takut dengan Pak Indra tapi begitu ceria dengan Bu Rini. Dia tahu bahwa Lita perlu menemukan keseimbangan, terutama dalam menghadapi orang-orang yang membuatnya merasa gugup.

Suatu hari, Sekar memberanikan diri untuk berbicara dengan Lita.

"Lita, kamu tahu nggak, kamu harus bisa berubah. Pak Indra itu nggak seseram yang kamu pikirkan. Aku perhatikan, kamu terlalu takut sama dia, padahal dia cuma pengen kamu lebih berani dan jujur sama diri kamu sendiri," kata Sekar lembut.

Lita hanya mengangguk pelan, namun di dalam hatinya, dia tahu Sekar benar. "Tapi gimana caranya? Aku selalu takut setiap kali melihat Pak Indra," jawab Lita dengan nada ragu.

"Aku pernah dengar bahwa ketakutan itu sering kali hanya ada di pikiran kita. Coba deh kamu berani bicara duluan sama Pak Indra, siapa tahu dia malah bisa bantu kamu," Sekar memberi saran.

Hari-hari berlalu, dan nasihat Sekar terus berputar di kepala Lita. Sampai suatu hari, ketika ada tugas dari Pak Indra yang menuntut mereka untuk menyelesaikan masalah pribadi dalam bentuk diskusi kelas, Lita merasa ini adalah kesempatan baginya. Dengan gemetar, dia mengangkat tangannya untuk pertama kalinya dalam diskusi itu.

"Pak Indra... saya mau coba bicara soal masalah yang saya hadapi," kata Lita pelan, tetapi cukup terdengar.

Pak Indra tersenyum. "Silakan, Lita. Aku senang kamu akhirnya mau berbicara."

Dengan perasaan gugup tapi bersemangat, Lita mulai menceritakan ketakutannya, terutama tentang bagaimana dia merasa takut untuk berbicara di depan umum dan mengakui bahwa dia selalu merasa tertekan saat harus berhadapan dengan Pak Indra.

Pak Indra mendengarkan dengan seksama dan memberi respons yang tak terduga. "Lita, aku nggak pernah berniat untuk menakut-nakuti kamu. Tugas guru BK adalah membantu kalian merasa nyaman dan bisa menjadi versi terbaik dari diri kalian. Aku bangga kamu sudah mulai berani."

Mendengar itu, hati Lita terasa lega. Dia menyadari bahwa rasa takutnya selama ini hanya ada dalam pikirannya, dan bahwa Pak Indra, seperti yang dikatakan Sekar, sebenarnya sangat ingin membantunya.

Sejak hari itu, Lita perlahan berubah. Dia mulai berani berbicara di kelas, tidak hanya dengan Bu Rini, tetapi juga dengan guru-guru lain, termasuk Pak Indra. Sekar terus mendukung Lita dalam perubahannya, dan mereka sering tertawa bersama tentang betapa lucunya ketakutan Lita dulu.

Lita belajar bahwa rasa takut hanya bisa dilawan dengan keberanian untuk mencoba. Dan dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus berkembang dan menjadi contoh bagi teman-temannya, bahwa tidak ada ketakutan yang tidak bisa diatasi dengan usaha dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya.



Dinda, Kevin, dan Rasa yang Salah



Istirahat siang itu, Dinda dengan langkah ringan menuju kelas sahabatnya, Lia. Mereka berdua memang selalu punya topik seru untuk dibahas, terutama yang sedang hangat—drama terbaru di sekolah. Kali ini, topik utamanya adalah draktor terbaru, yang katanya lebih memukau dari yang pernah mereka bayangkan. Dinda larut dalam obrolan seru, tak terasa waktu istirahat hampir habis. Bel masuk pun berbunyi, dan Dinda buru-buru kembali ke kelasnya.

Sampai di depan pintu kelas, mata Dinda langsung tertuju pada sosok Kevin. Cowok itu baru saja keluar dari kelas dengan gaya tengilnya yang khas. Rambutnya yang sedikit berantakan, tapi justru terlihat keren, membuat jantung Dinda berdetak lebih cepat dari biasanya. Hatinya dag-dig-dug tak karuan, apalagi saat mata mereka bertemu. Sejenak, Kevin tersenyum kecil, dan seketika pipi Dinda memerah. "Wah, wasshoi... dia tampan banget," pikirnya dalam hati. Tapi, Dinda tahu satu hal: meskipun tampan, Kevin juga terkenal sedikit tengil. Itu yang membuatnya ragu, tapi perasaannya justru semakin dalam setiap kali mereka berpapasan.

Hari-hari berlalu, dan Dinda merasa dirinya makin sulit mengendalikan perasaannya. Setiap kali Kevin ada di dekatnya, dia tak bisa menahan jantungnya yang berdegup kencang. Setiap gerak-gerik Kevin seakan menghipnotisnya. Kevin memang sering tersenyum atau menyapa, tapi Dinda selalu merasa Kevin melakukan itu kepada semua orang, bukan hanya dirinya.

Suatu hari, saat sedang duduk di kantin bersama Lia, Dinda melihat Kevin sedang berbicara dengan teman-temannya di meja sebelah. Sekali lagi, jantung Dinda berdebar keras. “Kapan sih, gue berhenti salting begini?” gumamnya, merasa malu pada dirinya sendiri. Lia, yang mendengar itu, hanya tertawa kecil. "Dinda, kamu tuh lucu banget. Kevin itu ya, sama semua orang sikapnya gitu. Jangan kebanyakan berharap deh."

Kata-kata Lia terngiang-ngiang di kepala Dinda. Semakin dia memikirkan hal itu, semakin dia merasa kecil. Kenapa dia selalu berharap lebih pada Kevin? Padahal, Kevin tidak pernah memberikan sinyal yang jelas. Setiap kali Dinda berusaha mendekati Kevin, rasanya ada tembok yang tidak bisa dia tembus. Kevin memang ramah, tapi hanya sebatas itu. Tak ada hal spesial yang Kevin tunjukkan padanya.

Puncaknya, suatu sore saat pulang sekolah, Dinda melihat Kevin sedang berbicara dengan seorang cewek dari kelas lain. Cewek itu, Maya, cantik dan populer. Senyum Kevin tampak begitu tulus saat mereka bercanda bersama. Hati Dinda serasa remuk. Dia mulai merasakan bahwa Kevin mungkin bukanlah orang yang selama ini dia bayangkan. Semua harapan dan khayalan tentang Kevin tampak sia-sia.

Dinda pulang dengan perasaan kacau. Di kamar, dia merenung, bertanya-tanya kenapa selama ini dia begitu terpaku pada Kevin. Apakah hanya karena tampangnya yang tampan? Atau mungkin karena bayangan yang Dinda buat sendiri tentang siapa Kevin? Semakin dipikirkan, semakin dia merasa bodoh. Ternyata, selama ini dia hanya terperangkap dalam perasaannya sendiri, berharap menjadi seseorang yang spesial untuk Kevin, padahal Kevin bahkan tidak pernah menganggapnya istimewa.

Malam itu, Dinda menangis. Tapi di balik air matanya, ada rasa lega. Lega karena akhirnya dia sadar, Kevin bukanlah orang yang tepat untuknya. Kevin hanyalah sosok idola semu yang tak pernah benar-benar peduli. Dinda akhirnya memutuskan untuk berhenti berharap pada Kevin, berhenti membayangkan hal-hal yang tidak akan pernah terjadi.

Keesokan harinya, Dinda pergi ke sekolah dengan perasaan baru. Meski masih ada sedikit rasa kecewa, tapi dia tahu satu hal: dia tak butuh Kevin untuk merasa istimewa. Dia bisa menjadi spesial dengan caranya sendiri, tanpa harus berharap pada orang lain yang bahkan tidak pernah memperhatikannya lebih dari sekadar teman biasa.

Dan dengan senyum tipis, Dinda berjalan melewati Kevin tanpa merasakan debaran yang sama seperti sebelumnya. Hari itu, Dinda akhirnya bisa melangkah tanpa bayang-bayang Kevin di hatinya.

Sabtu, 14 September 2024

Kebencian yang Berbalik



Di bawah langit senja yang mulai memerah, Najwa duduk di beranda rumahnya. Matanya menatap lurus ke depan, namun pikirannya berkelana jauh, penuh dengan rasa benci. Kebenciannya pada Reno, lelaki yang pernah membuatnya percaya, sudah begitu mendalam hingga setiap kali mendengar namanya, detak jantungnya seolah berubah menjadi gemuruh badai.

"Najwa, aku dengar Reno tertarik sama kamu," ujar Naewa, sahabat terdekatnya, saat mereka sedang berjalan pulang dari sekolah beberapa hari yang lalu.

Najwa menoleh dengan tatapan tajam. "Jangan bercanda, Naewa. Aku benci dia," suaranya dingin.

Naewa terkekeh, seolah tidak mengindahkan ketegangan yang jelas di udara. "Kebencian itu bisa berubah jadi cinta, tau? Hati-hati loh!"

Mendengar itu, Najwa meledak. "Apa maksudmu?! Aku tak pernah akan jatuh cinta pada orang sepicik dia!"

Naewa terdiam. Dia tak menyangka Najwa akan bereaksi sekeras itu. Namun, dia hanya tersenyum kecil, memilih untuk tidak memperpanjang perdebatan. Tapi Najwa terus bergelut dengan pikirannya sendiri, mengingat semua hal yang membuatnya membenci Reno.

Reno bukan orang asing bagi Najwa. Mereka satu sekolah, sering bertemu di berbagai acara, dan bahkan pernah mengerjakan beberapa proyek bersama. Di mata orang lain, Reno adalah sosok yang kharismatik, ramah, dan selalu bisa mencairkan suasana. Tapi di mata Najwa, dia hanyalah seorang pengecut yang selalu bersembunyi di balik senyum palsunya.

Suatu hari, ketika mereka masih saling kenal secara baik, Reno pernah membuat janji besar. Dia berjanji akan membantu Najwa dalam salah satu proyek pentingnya. Namun, di saat-saat krusial, Reno menghilang tanpa kabar. Proyek itu gagal, dan Najwa merasa dipermalukan. Sejak itu, Najwa menyimpan dendam.

Beberapa minggu berlalu sejak Naewa mengungkapkan hal yang membuat Najwa geram. Kabar bahwa Reno tertarik padanya membuat darah Najwa mendidih. Dia tidak percaya seseorang seperti Reno bisa berani memikirkan hal itu.

Di sisi lain, Reno sendiri tidak menyadari kebencian mendalam Najwa. Hingga suatu hari, Putra, sahabat Reno, memberitahunya. "Bro, gue denger kabar kalau Najwa benci banget sama lo. Gimana tuh?"

Reno mengernyit. "Serius? Gue nggak pernah merasa ngelakuin hal buruk ke dia."

"Ya, mungkin ada hal yang lo nggak sadar, Ren. Gue cuma ngasih tahu biar lo siap-siap."

Reno mulai berpikir ulang tentang semua interaksi mereka di masa lalu. Mungkin ada sesuatu yang dia lewatkan. Tapi, di sisi lain, dia masih merasa ada ketertarikan yang tak bisa dijelaskan pada Najwa. Meskipun sekarang, semuanya terasa jauh lebih rumit.

Satu sore, Reno memutuskan untuk mengakhiri kebingungannya. Dia menunggu Najwa di luar sekolah mencoba mencari momen untuk berbicara dengannya. Najwa, yang keluar bersama Naewa, langsung berhenti saat melihat Reno di depannya.

"Najwa, gue mau ngomong," kata Reno dengan suara rendah tapi tegas.

Najwa hanya menatapnya dengan dingin. "Ngomong apa lagi? Gue nggak ada urusan sama lo."

"Gue denger lo benci sama gue. Gue nggak tahu apa yang salah, tapi gue mau jelasin—"

"Jangan buang waktu gue, Reno! Gue benci lo, titik!" teriak Najwa, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh.

Reno menahan napas. "Gue nggak mau lo salah paham. Gue pernah bikin kesalahan, tapi gue nggak pernah punya niat buruk sama lo."

Najwa mendekat, menatap mata Reno dengan penuh kebencian. "Lo pikir cuma minta maaf bakal nyelesain semuanya? Gue nggak peduli! Lo nggak penting buat gue!"

Naewa, yang berdiri di samping Najwa, mencoba menenangkan sahabatnya. "Najwa, cukup. Dia cuma mau jelasin..."

"Lo juga diam!" Najwa membentak, membuat Naewa terkejut. Untuk pertama kalinya, Najwa membentaknya di depan orang lain. Naewa tak percaya sahabat yang dia kenal bisa berubah seganas ini.

Mata Naewa berkaca-kaca. "Najwa, gue cuma mau bantu lo. Jangan biarkan kebencian lo menghancurkan persahabatan kita."

Najwa terdiam, sadar bahwa dia telah melampaui batas. Namun, kebenciannya pada Reno masih terlalu kuat, mengaburkan logika dan perasaannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan pergi, meninggalkan Reno dan Naewa yang terluka.

Di perjalanan pulang, Najwa menangis. Bukan karena Reno, tapi karena dirinya sendiri. Naewa benar. Kebenciannya yang begitu dalam pada Reno mulai mengubahnya menjadi seseorang yang dia benci. Dia membenci dirinya sendiri karena membiarkan perasaan itu menguasainya.

Sementara itu, Reno hanya bisa terdiam. Dia tak pernah mengira kebencian Najwa padanya akan sebesar ini. Tapi dalam hatinya, dia tetap yakin ada alasan yang lebih dalam di balik semua ini. Mungkin kebencian itu bukan hanya tentang kegagalan proyek. Mungkin, ada sesuatu yang lebih personal, sesuatu yang belum pernah mereka ungkapkan.

Naewa yang melihat keduanya terluka, tahu satu hal. Kebencian memang bisa memakan segalanya, bahkan hal yang baik di dalam hati seseorang. 

Dan Najwa? Mungkin, kebencian itu tidak akan bertahan selamanya.

Haiiii Opa

Di sebuah sekolah menengah pertama yang penuh semangat, ada seorang gadis berusia 14 tahun bernama Oche. Cerdas, tekun, dan penuh ambisi. ...