Kamis, 29 Agustus 2024

PERMAINAN NATASHA

Natasha menghembuskan napas panjang saat memandangi layar ponselnya yang dipenuhi notifikasi dari Indra. Matanya menyipit, mencoba menahan gejolak amarah yang kembali muncul setiap kali nama itu muncul di layar. Dia ingat betul bagaimana kemarahan Indra meledak hanya karena dia berduet dengan Iwan saat acara karaoke seminggu yang lalu. Padahal, itu hanya acara biasa, tanpa maksud apa-apa. Tapi reaksi Indra begitu berlebihan, seolah-olah dia memiliki hak atas dirinya.

Natasha masih teringat jelas ekspresi wajah Indra ketika dia turun dari panggung kecil di kafe itu. Matanya menyala dengan amarah yang membuat Natasha merasa tidak nyaman. "Apa maksudmu berduet dengan Iwan?" Indra menegurnya dengan nada yang tidak bisa disalahartikan.

"Itu hanya karaoke, Indra. Tidak ada yang perlu kamu ributkan," balas Natasha saat itu, berusaha tetap tenang meski hatinya mendidih.

Namun, Indra tidak berhenti di situ. Dia terus menekan Natasha dengan pertanyaan-pertanyaan dan tuduhan-tuduhan tak berdasar sepanjang malam itu. Natasha merasa seperti terperangkap dalam perdebatan yang tidak ada habisnya. Dia benar-benar marah, bukan hanya karena tuduhan yang tidak berdasar, tetapi juga karena sikap Indra yang seakan-akan dia bisa mengontrol hidupnya.

Sejak malam itu, Natasha memutuskan untuk menjaga jarak dari Indra. Tapi Indra tidak berhenti. Dia terus mencoba menghubungi Natasha, mengirimkan pesan dan meneleponnya, memohon maaf atas perilakunya. Ponsel Natasha tidak pernah sepi dari notifikasi darinya, tapi Natasha memilih untuk mengabaikannya.

Pagi ini, seperti biasa, Natasha terbangun dengan perasaan campur aduk. Dia mengambil ponselnya dari meja samping tempat tidur dan melihat puluhan pesan dari Indra, semuanya penuh dengan permintaan maaf. "Maaf, Nat. Aku gak bermaksud bikin kamu marah. Aku cuma gak suka lihat kamu dekat-dekat dengan Iwan," salah satu pesannya berbunyi.

Natasha mendesah. "Seperti aku perlu izinnya untuk berduet dengan siapa pun," pikirnya sinis. Dia membaca pesan-pesan itu, tapi tidak membalas satu pun. Dia merasa Indra harus belajar bahwa tindakannya sudah kelewatan. Dia tidak bisa mengontrol siapa yang berduet dengannya atau dengan siapa dia berteman. Ini bukan pertama kalinya Indra bersikap seperti ini, dan Natasha mulai lelah dengan sikapnya yang posesif.

Sementara itu, di seberang sana, Indra yang melihat notifikasi "telah dibaca" di ponselnya langsung mencoba menelepon Natasha. Dia benar-benar merasa bersalah atas apa yang terjadi, tapi Natasha tetap tidak mengangkat teleponnya. Indra mencoba lagi dan lagi, tapi tetap tidak ada jawaban.

Di dalam kamar, Natasha yang mendengar dering teleponnya merasa semakin kesal. Dia tahu itu dari Indra, dan dia sengaja tidak mengangkatnya. Dia ingin memberikan pelajaran pada Indra, agar dia tahu bahwa tindakannya tidak bisa diterima begitu saja. Telepon itu terus berdering sampai akhirnya suara ibunya terdengar dari arah dapur, "Natashaaa, hp-nya berbunyi, nak!"

Natasha hanya menatap ponselnya yang terus berdering, lalu dengan tenang menekan tombol "reject" dan segera mengaktifkan mode "silent". Dia tidak ingin terganggu dengan panggilan yang tidak diinginkannya itu. Dia kemudian bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur untuk sarapan, mencoba mengalihkan pikirannya dari masalah ini.

Saat dia duduk di meja makan, ibunya menatapnya dengan curiga. "Siapa yang menelepon, Nat? Kok nggak diangkat?"

Natasha mengangkat bahu. "Nggak penting, Bu. Hanya teman."

Ibunya mengernyitkan dahi, tapi tidak menanyakan lebih lanjut. "Kamu kelihatan tidak semangat. Ada yang mengganggu pikiranmu?"

Natasha menggeleng pelan. "Nggak, Bu. Aku cuma... butuh waktu untuk berpikir."

Ibunya tersenyum hangat. "Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke Ibu. Jangan dipendam sendiri, ya?"

Natasha mengangguk sambil tersenyum kecil. Dia menghargai perhatian ibunya, tapi ini adalah masalah yang harus dia selesaikan sendiri. Setelah sarapan, dia memutuskan untuk keluar rumah sebentar. Udara segar mungkin bisa membantunya menjernihkan pikiran.

Saat dia berjalan tanpa tujuan di sekitar taman dekat rumahnya, pikiran Natasha kembali ke masalah dengan Indra. Kenapa dia harus begitu posesif? Bukankah mereka hanya berteman? Atau mungkin Indra merasa lebih dari sekadar teman? Pikiran itu membuat Natasha semakin bingung. Jika benar Indra memiliki perasaan padanya, kenapa dia harus menyatakannya dengan cara yang begitu kasar?

Natasha duduk di bangku taman, memandangi anak-anak kecil yang bermain ceria di sekitarnya. Dia mencoba membayangkan apa yang akan terjadi jika dia memaafkan Indra dan kembali berteman seperti biasa. Tapi dia tidak bisa menghilangkan rasa tidak nyaman yang kini muncul setiap kali dia memikirkan Indra.

Saat Natasha tenggelam dalam pikirannya, ponselnya bergetar lagi. Indra. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu.

Halo, Nat. Tolong, jangan tutup dulu," suara Indra terdengar di ujung sana, penuh harap.

"Ada apa, Indra?" Natasha menjawab dengan nada datar.

"Aku... Aku ingin minta maaf, Nat. Aku tahu aku salah waktu itu. Aku nggak bermaksud bikin kamu marah. Aku cuma… aku nggak suka lihat kamu dekat sama Iwan."

Natasha menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan diri untuk tidak marah lagi. "Indra, itu hanya karaoke. Hanya acara santai. Kenapa kamu harus bereaksi berlebihan seperti itu?"

"Aku... aku nggak tahu, Nat. Mungkin aku cemburu. Tapi aku tahu aku salah. Aku nggak punya hak untuk ngatur kamu. Aku cuma... Aku cuma nggak mau kehilangan kamu," Indra terdengar putus asa.

Natasha terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Indra. "Jadi ini tentang cemburu?" pikirnya. Apakah selama ini Indra menyimpan perasaan padanya? Tapi apakah itu alasan yang cukup untuk bersikap posesif?

"Indra, kalau memang kamu merasa seperti itu, kamu harus belajar mengendalikannya. Aku nggak bisa terus-menerus menghadapi sikap kamu yang seperti ini," kata Natasha akhirnya. "Aku bukan milik kamu. Aku berhak berteman dengan siapa saja, berduet dengan siapa saja, tanpa harus meminta izin dari kamu."

"Aku tahu, Nat. Aku benar-benar minta maaf. Aku janji, aku akan berubah. Tolong, beri aku kesempatan," pinta Indra dengan suara penuh penyesalan.

Natasha menghela napas. Dia bisa mendengar ketulusan dalam suara Indra, tapi luka yang ditinggalkan oleh sikapnya tidak mudah sembuh. "Indra, aku butuh waktu. Aku nggak bisa langsung percaya lagi sama kamu. Kamu harus buktikan bahwa kamu benar-benar berubah."

Indra terdiam sejenak di seberang telepon. "Aku mengerti, Nat. Aku akan buktiin. Aku akan berubah. Tapi tolong, jangan jauhin aku."

"Aku nggak menjauh, Indra. Aku cuma butuh waktu untuk memastikan semuanya baik-baik saja," jawab Natasha dengan lembut. "Kita bisa tetap berteman, tapi kamu harus mengerti batasannya."

Percakapan itu berakhir dengan janji dari Indra untuk memperbaiki dirinya. Tapi Natasha tahu, ini bukanlah akhir dari masalah mereka. Kepercayaan yang telah rusak tidak bisa pulih dalam sekejap. Dia membutuhkan waktu untuk melihat apakah Indra benar-benar bisa berubah.

Hari-hari berlalu, dan Natasha tetap menjaga jarak dari Indra. Dia tidak lagi menghindarinya, tapi dia juga tidak membiarkan dirinya terlalu dekat. Indra, di sisi lain, benar-benar berusaha menunjukkan perubahan. Dia lebih sopan, lebih menghargai privasi Natasha, dan tidak lagi bersikap posesif.

Namun, Natasha masih merasa ada sesuatu yang hilang. Meski Indra telah berjanji untuk berubah, hubungan mereka tidak pernah kembali seperti dulu. Rasa percaya yang dulu ada di antara mereka telah hilang, digantikan oleh kewaspadaan dan kehati-hatian.

Natasha tidak menyesali keputusannya. Dia tahu bahwa dia melakukan hal yang benar dengan memberikan batasan. Persahabatan mereka mungkin tidak akan pernah kembali seperti dulu, tapi setidaknya dia telah belajar sesuatu yang berharga dari pengalaman ini.

Suatu hari, ketika Natasha sedang duduk di kafe favoritnya, Indra datang menghampirinya. Dia duduk di seberang Natasha, membawa secangkir kopi. "Nat, aku cuma mau bilang terima kasih," kata Indra sambil tersenyum kecil.

Natasha mengernyit bingung. "Terima kasih? Untuk apa?"

"Untuk memberikan aku kesempatan. Aku tahu nggak mudah buat kamu, tapi kamu tetap memberikan aku waktu untuk berubah. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makan Tuh Janji

  Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan waja...