Talita duduk di sudut kelas dengan perasaan campur aduk. Hari ini rasanya berbeda. Cahyo, teman yang selalu ada di dekatnya, mulai menunjukkan perubahan sikap. Talita tahu betul bahwa ia dan Cahyo sudah lama dekat, meskipun mereka belum pernah secara resmi menyatakan perasaan. Namun, belakangan ini, Cahyo sering terlihat bersama Tasya, teman SMP mereka yang tiba-tiba saja kembali muncul dalam hidup Talita.
Talita tahu ada yang tidak beres ketika melihat Tasya dengan santainya meminta Cahyo untuk mengantarnya pulang. Tawa riang Tasya saat berbicara dengan Cahyo terasa seperti sebuah ejekan bagi Talita. Hatinya terasa panas, dipenuhi rasa cemburu dan marah. Bagaimana mungkin Tasya berani mendekati Cahyo ketika ia tahu Talita sudah dekat dengannya?
Tak tahan dengan perasaan yang berkecamuk, Talita memutuskan untuk menemui sahabatnya, Lala. Mereka duduk di taman sekolah saat istirahat, dan Talita langsung menceritakan kegundahannya.
"Lala, aku benar-benar kesal sama Tasya. Dia kan tahu kalau aku sudah lama dekat dengan Cahyo, tapi kenapa dia malah minta diantar pulang? Seakan-akan aku nggak ada artinya bagi Cahyo!" keluh Talita dengan nada suara yang jelas menunjukkan kemarahannya.
Namun, Lala malah tersenyum tipis dan tertawa kecil. "Wah, kayaknya seru tuh. Makin ramai persaingannya, kan?"
Talita terdiam, tidak percaya dengan reaksi sahabatnya. "Kamu serius, Lal? Ini bukan soal persaingan yang seru. Aku beneran nggak suka Tasya deket-deket sama Cahyo."
Lala mencoba menenangkan Talita dengan mengatakan bahwa mungkin Tasya tidak tahu perasaan Talita terhadap Cahyo. Namun, Talita tak bisa menerima alasan itu. Baginya, Tasya seharusnya tahu lebih baik.
"Kalau dia beneran sahabat, dia harusnya paham tanpa aku perlu ngomong!" jawab Talita dengan tegas.
Pikiran Talita terus dipenuhi oleh bayangan Tasya dan Cahyo bersama-sama. Ia tak bisa membiarkan hal ini terus berlanjut. Dia tahu bahwa jika dia diam saja, mungkin Tasya akan mengambil alih posisi yang selama ini ia pegang di hati Cahyo.
Akhirnya, Talita memutuskan untuk mengambil langkah lebih lanjut. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama Cahyo, mencoba mengingatkannya akan kedekatan mereka. Ia mengajak Cahyo pergi makan bersama, belajar bareng, bahkan mengirim pesan-pesan singkat setiap malam, berharap Cahyo akan mengerti isyarat yang ia berikan.
Namun, Tasya bukan gadis yang mudah menyerah. Meskipun Talita berusaha memperkuat posisinya, Tasya tetap saja terus mendekati Cahyo. Bahkan, ada beberapa kali Talita melihat Cahyo tersenyum lebar saat menerima pesan dari Tasya. Hal itu semakin membuat Talita marah dan frustrasi. Cahyo seharusnya tahu siapa yang selalu ada di sampingnya selama ini!
Hari demi hari, Talita semakin yakin bahwa dia harus mengambil tindakan yang lebih tegas. Ia memutuskan untuk menemui Tasya secara langsung. Di suatu siang yang panas, Talita menghampiri Tasya di taman belakang sekolah, tempat yang cukup sepi dan jauh dari keramaian
"Tasya, aku mau ngomong," ujar Talita dengan nada tegas.
Tasya yang sedang sibuk bermain ponsel, menoleh dengan kaget. "Eh, Talita. Ada apa?"
Talita tak ingin berbasa-basi. "Aku nggak suka kamu deket-deket sama Cahyo. Kamu tahu kan kalau aku sudah lama dekat sama dia. Tolong jangan ganggu."
Tasya menatap Talita dengan mata terkejut, tapi ia tidak mundur. "Talita, aku nggak bermaksud ngerebut Cahyo dari kamu. Aku cuma merasa nyaman aja ngobrol sama dia."
"Tasya, kalau kamu beneran teman, kamu harusnya ngerti posisiku. Aku nggak mau kehilangan Cahyo," jawab Talita dengan suara bergetar.
Tasya terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku paham perasaanmu, tapi Cahyo bukan milik siapa pun. Kalau dia memang lebih memilih kamu, ya biar dia yang memutuskan."
Kata-kata Tasya membuat Talita tertegun. Ia tidak menyangka Tasya akan berkata seperti itu. Di satu sisi, Talita merasa terancam, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa mungkin Tasya benar. Tapi itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Sebaliknya, Talita semakin tidak ingin menyerah.
Beberapa hari kemudian, sebuah kesempatan datang. Cahyo mengajak Talita untuk bicara secara pribadi. Mereka bertemu di kantin setelah jam pelajaran selesai. Cahyo terlihat serius, dan Talita bisa merasakan ketegangan di antara mereka.
"Talita, aku tahu kamu dekat dengan aku, dan aku juga merasakan hal yang sama," Cahyo memulai. "Tapi akhir-akhir ini, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Aku nggak mau ada perasaan yang saling melukai antara kamu dan Tasya."
Talita merasa detak jantungnya semakin cepat. "Apa maksudmu, Cahyo?"
"Aku nggak mau kamu dan Tasya bertengkar gara-gara aku. Aku ingin kita semua tetap bersahabat, tanpa ada yang merasa tersingkirkan," ujar Cahyo.
Talita terdiam, mencoba mencerna kata-kata Cahyo. Ia tahu apa yang diinginkan Cahyo, tetapi sulit baginya untuk menerima bahwa dia harus berbagi perhatian Cahyo dengan Tasya. Perasaan cemburu dan keinginan untuk memiliki Cahyo sepenuhnya masih membara di hatinya.
Namun, setelah merenung semalaman, Talita menyadari bahwa memaksa Cahyo untuk memilih mungkin bukan solusi yang tepat. Terkadang, dalam cinta, lebih baik mengikuti alurnya daripada berusaha mengontrolnya. Talita pun memutuskan untuk meredam emosinya dan memberi ruang bagi Cahyo untuk membuat pilihan yang terbaik.
Meski tidak mudah, Talita mencoba untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Tasya. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Cahyo mungkin tidak akan hilang, tetapi ia juga sadar bahwa persahabatan mereka terlalu berharga untuk dihancurkan hanya karena cinta yang belum pasti. Dan mungkin, seiring waktu, semuanya akan menemukan jalannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar