Malam itu, jalanan di desa begitu sepi. Jam menunjukkan pukul 12.30 tengah malam. Di ujung jalan yang gelap, hanya diterangi samar-samar oleh sinar bulan, aku duduk di depan rumah, mencoba menikmati udara malam yang dingin. Suasana yang biasanya menenangkan, malam itu justru terasa ganjil, seolah ada sesuatu yang menghantui dari kegelapan.
Mataku menangkap sosok samar yang perlahan mendekat dari kejauhan. Awalnya, aku mengira itu hanya orang yang sedang mencari kodok di selokan. Pemandangan ini sudah biasa di desaku. Kodok-kodok yang ditangkap biasanya dijual di pasar untuk dibuat sweeke, makanan khas dari Purwodadi. Namun, semakin dekat sosok itu, perasaanku mulai tidak tenang.
Sosok itu adalah seorang perempuan. Rambutnya terurai panjang, wajahnya tertunduk, dan tangannya menyeret sesuatu. Ketika jaraknya hanya beberapa meter dariku, aku dapat melihat dengan jelas apa yang diseretnya. Seekor monyet yang mati. Mataku membelalak, jantungku berdebar tak menentu.
Wajah perempuan itu tampak sedih, dan di bawah sinar bulan yang redup, ekspresi wajahnya terlihat semakin muram. Ketika ia berhenti tepat di depan rumahku, aku merasa seolah waktu berhenti. Perlahan, perempuan itu menatapku, dan saat mata kami bertemu, seketika aku merasakan gelombang ketakutan yang begitu kuat. Wajahnya berubah, dari sedih menjadi penuh kemarahan.
Dadaku terasa sesak. Aku tahu ada sesuatu yang salah. Perasaan bersalah mulai menggerogoti pikiranku. Ingatan sore tadi melintas kembali, ketika aku menembak seekor lutung—monyet hitam yang menjadi target buruan isengku. Aku tak pernah berniat buruk, hanya ingin menguji ketepatan tembakanku, namun kini, di hadapanku, berdiri seorang perempuan dengan monyet mati di tangannya, seolah menuntut sesuatu dariku.
Tanpa berkata apa-apa, perempuan itu mengangkat monyet mati itu, memperlihatkannya padaku. Sorot matanya semakin tajam, menembus ketenanganku yang mulai rapuh. Dalam sekejap, aku merasakan sesuatu yang menakutkan—seperti ada hubungan antara lutung yang kutembak tadi sore dengan monyet mati yang diseret perempuan itu.
"Kenapa...?" tanyaku dalam hati, tapi lidahku kelu. Aku ingin berdiri, masuk ke dalam rumah, dan mengunci pintu rapat-rapat, tapi tubuhku seakan terpaku. Hanya mataku yang masih bisa mengikuti gerakannya.
Perempuan itu tidak mengatakan apa-apa. Hanya tatapan mata yang penuh amarah dan dendam. Kemudian, ia melangkah ke samping, menyeberangi jalan, meninggalkan aku dalam ketakutan yang semakin menjadi-jadi. Namun, sebelum sosoknya hilang dalam kegelapan, aku mendengar suara aneh. Suara ketukan... tidak, lebih tepatnya suara kentongan, seperti yang biasa dipukul saat ada bahaya atau bencana.
*Tok... tok... tok...*
Suara itu terdengar jelas di tengah malam yang sepi. Seketika, aku tersadar bahwa suara itu bukan berasal dari tempat jauh, melainkan dari arah perempuan itu. Ia memukul kentongan, seolah-olah memberi isyarat, mungkin peringatan.
Keringat dingin mulai membasahi dahiku. Aku memaksakan diriku berdiri dan berlari ke dalam rumah. Setibanya di dalam, aku langsung mengunci pintu dan jendela, mencoba menenangkan diri. Namun, suara kentongan itu terus bergema di telingaku.
Di dalam rumah, aku mencoba tidur, namun bayangan perempuan itu dan monyet mati yang diseretnya terus menghantui pikiranku. Malam terasa begitu panjang, dan aku tidak bisa memejamkan mata barang sedetik pun.
Pagi harinya, aku memberanikan diri keluar dan mencoba mencari tahu tentang perempuan itu. Aku bertanya ke beberapa tetangga, namun tidak ada yang melihat atau mendengar apapun semalam. Namun, saat aku berbicara dengan seorang kakek tua yang tinggal di ujung desa, ia menatapku dengan pandangan penuh arti.
"Kau menembak lutung kemarin, ya?" tanya kakek itu tiba-tiba, suaranya berat dan dalam.
Aku terkejut, namun segera mengangguk.
"Lutung itu bukan sembarang monyet. Di desa ini, kami percaya lutung hitam adalah penjaga hutan. Dan perempuan yang kau lihat semalam...," Kakek itu berhenti sejenak, menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Dia bukan manusia biasa. Dia adalah roh penunggu hutan yang datang menuntut balas."
Darahku seolah membeku mendengar kata-kata kakek itu. Ketakutanku malam tadi kembali menyeruak. Aku merasa dunia seakan berputar.
"Jika kau tidak ingin mendapat celaka, kau harus menebus kesalahanmu," lanjut kakek itu dengan suara bergetar. "Pergilah ke hutan tempat kau menembak lutung itu, dan mintalah maaf. Bawa sesajen dan doakan agar roh itu tenang."
Aku tak punya pilihan lain. Dengan rasa takut yang terus menghantui, aku pergi ke hutan, membawa sesajen yang disarankan kakek itu. Di bawah pohon tempat aku menembak lutung, aku berlutut, memohon maaf, dan berharap bahwa perempuan itu tidak lagi datang menggangguku.
Sejak malam itu, aku tak pernah lagi melihat sosok perempuan dengan monyet mati di tangannya. Namun, setiap kali aku mendengar suara kentongan di tengah malam, bulu kudukku selalu berdiri, mengingatkan pada malam mencekam itu. Malam di mana aku disadarkan bahwa ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar permainan senjata, dan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar