Natasha duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi kotak kecil berwarna merah yang baru saja diberikan oleh Indra. Hatinya berdebar-debar, tak percaya dengan apa yang ada di tangannya. Sejak lama Natasha mengimpikan benda ini, tetapi tidak pernah sekali pun dia memberitahu Indra. Bagaimana mungkin Indra tahu? Pertanyaan ini terus berputar di benaknya.
Dengan hati-hati, Natasha membuka kotak itu dan menemukan sebuah gelang perak yang berkilauan. Desainnya sederhana namun elegan, persis seperti yang dia inginkan selama ini. Natasha tersenyum, perasaan hangat mengalir di hatinya. Namun, bersamaan dengan itu, muncul rasa penasaran yang semakin kuat.
Dia meraih ponselnya dan segera mengirim pesan kepada sahabatnya, Rina, orang yang selalu dia andalkan untuk berbagi cerita dan rahasia. Dalam hitungan detik, pesan balasan dari Rina muncul di layarnya.
_"Natasha: Rin, kok Indra bisa tahu aku suka gelang itu? Aku nggak pernah ngomong sama dia, lho."_
_"Rina: Eh, iya ya? Mungkin dia tebak-tebak aja kali. Tapi, kenapa? Senang, kan?"_
_"Natasha: Senang sih, tapi aku jadi penasaran. Kamu ngomong ke dia nggak, Rin?"_
Terdapat jeda yang cukup lama sebelum Rina membalas. Hal ini membuat Natasha semakin curiga. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, pesan Rina akhirnya muncul.
_"Rina: Ya ampun, Nat. Maaf ya, aku memang sempat ngomong sama Indra. Dia tanya-tanya soal kamu, terus aku cerita deh. Aku pikir kamu bakal senang."_
Natasha terdiam, menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Dia merasa senang karena Indra begitu perhatian, tetapi di sisi lain, dia merasa sedikit kesal karena Rina membocorkan rahasianya. Rina, sahabatnya yang paling dia percayai, justru memberitahu Indra tanpa sepengetahuannya.
Keesokan harinya di sekolah, Natasha berusaha bersikap biasa saja ketika bertemu dengan Rina. Namun, Rina bisa melihat kegelisahan di wajah Natasha. Ketika mereka berada di kantin, Rina akhirnya angkat bicara.
"Natasha, aku benar-benar minta maaf soal kemarin. Aku nggak bermaksud membuat kamu kesal atau gimana. Aku cuma ingin bantu supaya Indra tahu apa yang kamu suka," ujar Rina dengan nada penuh penyesalan.
Natasha menghela napas panjang, menatap sahabatnya dengan campuran perasaan. "Aku tahu kamu bermaksud baik, Rin. Tapi aku pengin Indra tahu karena dia benar-benar mengenalku, bukan karena kamu kasih tahu dia."
Rina terdiam, menyadari kesalahannya. "Aku ngerti, Nat. Aku salah. Tapi aku harap kamu tahu, aku cuma pengen kamu bahagia."
Natasha mengangguk, senyumnya perlahan muncul. "Aku tahu, Rin. Dan aku nggak marah, kok. Cuma, aku pengin semuanya berjalan alami aja."
Setelah percakapan itu, Natasha merasa sedikit lega, meski bayang-bayang tentang Indra dan gelang itu masih terus mengusik pikirannya. Perasaannya terhadap Indra mulai berubah—ada sedikit rasa kecewa yang perlahan merayap di hatinya. Dia merasa hubungan mereka tidak seautentik yang dia harapkan.
Beberapa hari kemudian, Indra mengajak Natasha pergi ke sebuah kafe yang baru dibuka di dekat sekolah. Dengan suasana yang nyaman dan musik lembut yang mengalun, kafe itu menjadi tempat yang sempurna untuk menghabiskan waktu bersama. Namun, Natasha masih merasakan ada yang mengganjal.
Indra menatap Natasha dengan mata penuh kasih sayang, memegang tangannya dengan lembut. "Natasha, aku senang banget bisa bikin kamu bahagia. Aku berharap gelang itu bisa jadi simbol dari perasaanku ke kamu."
Natasha tersenyum, meski dalam hatinya masih ada keraguan. "Indra, aku sangat menghargai apa yang kamu lakukan. Tapi aku cuma pengen tahu... kenapa kamu nggak tanya langsung ke aku tentang apa yang aku suka?"
Indra terlihat sedikit bingung dengan pertanyaan Natasha. "Aku pikir aku mau kasih kejutan ke kamu. Jadi aku tanya-tanya ke Rina biar bisa kasih yang terbaik buat kamu."
Natasha menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Indra, aku senang kamu perhatian. Tapi aku juga pengen kita bisa lebih saling kenal, bukan cuma lewat orang lain. Aku pengin kamu tahu apa yang aku suka karena kamu benar-benar mengenalku, bukan karena kamu tanya orang lain."
Indra terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Natasha. Wajahnya perlahan berubah serius. "Maaf, Nat. Aku nggak bermaksud bikin kamu merasa nggak nyaman. Aku cuma pengen bikin kamu senang."
"Aku tahu, Indra," Natasha menjawab dengan lembut. "Dan aku senang. Tapi aku juga pengen kita bisa lebih jujur satu sama lain. Aku pengen hubungan kita tumbuh karena kita benar-benar kenal satu sama lain."
Indra mengangguk, menyadari apa yang dimaksud Natasha. "Kamu benar, Nat. Aku akan coba lebih baik lagi. Aku nggak mau kita punya hubungan yang didasarkan pada hal-hal yang nggak asli."
Percakapan itu membuat keduanya merenung lebih dalam tentang hubungan mereka. Meski ada sedikit pertikaian, mereka sadar bahwa setiap hubungan membutuhkan kejujuran dan pemahaman. Natasha dan Indra memutuskan untuk memulai kembali, kali ini dengan lebih banyak komunikasi dan usaha untuk benar-benar mengenal satu sama lain.
Dan meskipun hadiah itu adalah sesuatu yang diimpikan Natasha, dia menyadari bahwa yang paling berharga adalah hubungan yang dibangun di atas kepercayaan dan kejujuran. Mereka pun sepakat untuk lebih terbuka satu sama lain, membiarkan perasaan mereka tumbuh secara alami, tanpa campur tangan dari orang lain.
Akhirnya, hubungan mereka semakin kuat, bukan karena hadiah yang diberikan, tetapi karena komitmen untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain. Meskipun awalnya sedikit terguncang, Natasha dan Indra menemukan bahwa cinta yang tulus adalah yang paling penting, dan itu hanya bisa dicapai dengan komunikasi yang jujur dan perasaan yang tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar