Sabtu, 31 Agustus 2024

Perebutan

 


Talita duduk di sudut kelas dengan perasaan campur aduk. Hari ini rasanya berbeda. Cahyo, teman yang selalu ada di dekatnya, mulai menunjukkan perubahan sikap. Talita tahu betul bahwa ia dan Cahyo sudah lama dekat, meskipun mereka belum pernah secara resmi menyatakan perasaan. Namun, belakangan ini, Cahyo sering terlihat bersama Tasya, teman SMP mereka yang tiba-tiba saja kembali muncul dalam hidup Talita.

Talita tahu ada yang tidak beres ketika melihat Tasya dengan santainya meminta Cahyo untuk mengantarnya pulang. Tawa riang Tasya saat berbicara dengan Cahyo terasa seperti sebuah ejekan bagi Talita. Hatinya terasa panas, dipenuhi rasa cemburu dan marah. Bagaimana mungkin Tasya berani mendekati Cahyo ketika ia tahu Talita sudah dekat dengannya?

Tak tahan dengan perasaan yang berkecamuk, Talita memutuskan untuk menemui sahabatnya, Lala. Mereka duduk di taman sekolah saat istirahat, dan Talita langsung menceritakan kegundahannya.

"Lala, aku benar-benar kesal sama Tasya. Dia kan tahu kalau aku sudah lama dekat dengan Cahyo, tapi kenapa dia malah minta diantar pulang? Seakan-akan aku nggak ada artinya bagi Cahyo!" keluh Talita dengan nada suara yang jelas menunjukkan kemarahannya.

Namun, Lala malah tersenyum tipis dan tertawa kecil. "Wah, kayaknya seru tuh. Makin ramai persaingannya, kan?"

Talita terdiam, tidak percaya dengan reaksi sahabatnya. "Kamu serius, Lal? Ini bukan soal persaingan yang seru. Aku beneran nggak suka Tasya deket-deket sama Cahyo."

Lala mencoba menenangkan Talita dengan mengatakan bahwa mungkin Tasya tidak tahu perasaan Talita terhadap Cahyo. Namun, Talita tak bisa menerima alasan itu. Baginya, Tasya seharusnya tahu lebih baik.

"Kalau dia beneran sahabat, dia harusnya paham tanpa aku perlu ngomong!" jawab Talita dengan tegas.

Pikiran Talita terus dipenuhi oleh bayangan Tasya dan Cahyo bersama-sama. Ia tak bisa membiarkan hal ini terus berlanjut. Dia tahu bahwa jika dia diam saja, mungkin Tasya akan mengambil alih posisi yang selama ini ia pegang di hati Cahyo.

Akhirnya, Talita memutuskan untuk mengambil langkah lebih lanjut. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama Cahyo, mencoba mengingatkannya akan kedekatan mereka. Ia mengajak Cahyo pergi makan bersama, belajar bareng, bahkan mengirim pesan-pesan singkat setiap malam, berharap Cahyo akan mengerti isyarat yang ia berikan.

Namun, Tasya bukan gadis yang mudah menyerah. Meskipun Talita berusaha memperkuat posisinya, Tasya tetap saja terus mendekati Cahyo. Bahkan, ada beberapa kali Talita melihat Cahyo tersenyum lebar saat menerima pesan dari Tasya. Hal itu semakin membuat Talita marah dan frustrasi. Cahyo seharusnya tahu siapa yang selalu ada di sampingnya selama ini!

Hari demi hari, Talita semakin yakin bahwa dia harus mengambil tindakan yang lebih tegas. Ia memutuskan untuk menemui Tasya secara langsung. Di suatu siang yang panas, Talita menghampiri Tasya di taman belakang sekolah, tempat yang cukup sepi dan jauh dari keramaian

"Tasya, aku mau ngomong," ujar Talita dengan nada tegas.

Tasya yang sedang sibuk bermain ponsel, menoleh dengan kaget. "Eh, Talita. Ada apa?"

Talita tak ingin berbasa-basi. "Aku nggak suka kamu deket-deket sama Cahyo. Kamu tahu kan kalau aku sudah lama dekat sama dia. Tolong jangan ganggu."

Tasya menatap Talita dengan mata terkejut, tapi ia tidak mundur. "Talita, aku nggak bermaksud ngerebut Cahyo dari kamu. Aku cuma merasa nyaman aja ngobrol sama dia."

"Tasya, kalau kamu beneran teman, kamu harusnya ngerti posisiku. Aku nggak mau kehilangan Cahyo," jawab Talita dengan suara bergetar.

Tasya terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku paham perasaanmu, tapi Cahyo bukan milik siapa pun. Kalau dia memang lebih memilih kamu, ya biar dia yang memutuskan."

Kata-kata Tasya membuat Talita tertegun. Ia tidak menyangka Tasya akan berkata seperti itu. Di satu sisi, Talita merasa terancam, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa mungkin Tasya benar. Tapi itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Sebaliknya, Talita semakin tidak ingin menyerah.

Beberapa hari kemudian, sebuah kesempatan datang. Cahyo mengajak Talita untuk bicara secara pribadi. Mereka bertemu di kantin setelah jam pelajaran selesai. Cahyo terlihat serius, dan Talita bisa merasakan ketegangan di antara mereka.

"Talita, aku tahu kamu dekat dengan aku, dan aku juga merasakan hal yang sama," Cahyo memulai. "Tapi akhir-akhir ini, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Aku nggak mau ada perasaan yang saling melukai antara kamu dan Tasya."

Talita merasa detak jantungnya semakin cepat. "Apa maksudmu, Cahyo?"

"Aku nggak mau kamu dan Tasya bertengkar gara-gara aku. Aku ingin kita semua tetap bersahabat, tanpa ada yang merasa tersingkirkan," ujar Cahyo.

Talita terdiam, mencoba mencerna kata-kata Cahyo. Ia tahu apa yang diinginkan Cahyo, tetapi sulit baginya untuk menerima bahwa dia harus berbagi perhatian Cahyo dengan Tasya. Perasaan cemburu dan keinginan untuk memiliki Cahyo sepenuhnya masih membara di hatinya.

Namun, setelah merenung semalaman, Talita menyadari bahwa memaksa Cahyo untuk memilih mungkin bukan solusi yang tepat. Terkadang, dalam cinta, lebih baik mengikuti alurnya daripada berusaha mengontrolnya. Talita pun memutuskan untuk meredam emosinya dan memberi ruang bagi Cahyo untuk membuat pilihan yang terbaik.

Meski tidak mudah, Talita mencoba untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Tasya. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Cahyo mungkin tidak akan hilang, tetapi ia juga sadar bahwa persahabatan mereka terlalu berharga untuk dihancurkan hanya karena cinta yang belum pasti. Dan mungkin, seiring waktu, semuanya akan menemukan jalannya sendiri.


Antara Imaji dan Realita

 


Tania dikenal sebagai gadis yang ramah dan baik hati. Setiap teman yang mendekatinya akan merasakan kehangatan yang tak bisa dijelaskan. Mereka berkata bahwa Tania selalu ada saat dibutuhkan, memberikan nasihat bijak, terutama ketika datang ke masalah cinta. Namun, di balik semua itu, ada juga beberapa teman yang merasa Tania terlalu menjaga citra dirinya. 

"Dia seperti selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya, seolah takut salah langkah," kata seorang teman dalam percakapan ringan di sebuah kafe. 

Tania tidak terlalu peduli dengan apa yang dikatakan orang. Baginya, selama dia tetap menjadi dirinya sendiri, tak ada yang perlu dipermasalahkan. Apalagi, dia memiliki sahabat sejati, Maya, yang selalu mendukungnya tanpa syarat. Maya adalah seseorang yang bisa membaca Tania lebih dari siapapun. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita tentang hari-hari mereka dan tentunya, tentang cinta.

Tania memang sangat suka membaca novel cinta. Dunia di dalam novel selalu memikatnya. Setiap kali dia membaca, dia merasa seolah-olah berada di dalam cerita tersebut. Pengalamannya menyerap kisah-kisah cinta dalam novel membuatnya seakan-akan menjadi ahli dalam hal itu. Dia bisa mengutip berbagai teori cinta yang pernah dia baca, dan menganalisis situasi dengan sudut pandang yang mendalam.

"Menurutku, cinta itu bukan soal siapa yang lebih dulu atau siapa yang lebih mencintai, tapi soal bagaimana kita bisa saling memahami dan menerima kekurangan satu sama lain," kata Tania suatu hari saat dia dan Maya sedang duduk di taman.

Maya tersenyum mendengarnya. "Kamu selalu punya pandangan yang menarik tentang cinta. Kadang aku berpikir, kamu terlalu serius menanggapi setiap detailnya."

Tania hanya tertawa. "Mungkin. Tapi bagiku, cinta adalah sesuatu yang indah dan layak untuk diperjuangkan."

Namun, meski Tania selalu terlihat tenang dan bijak, ada satu hal yang dia sembunyikan dari semua orang, termasuk Maya. Di balik semua teori dan pengetahuannya tentang cinta, Tania belum pernah benar-benar merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya. Dia hanya mengenal cinta dari buku-buku yang dia baca, bukan dari pengalaman nyata. Perasaannya tentang cinta hanyalah imaji yang tercipta dari ribuan halaman novel yang telah dia lahap.

Suatu hari, seorang pria baru bergabung dengan kelompok belajar mereka di kampus. Namanya Raka. Dia tampan, cerdas, dan memiliki pesona yang membuat banyak gadis tergila-gila. Tania tak pernah merasa tertarik pada pria secara mendalam sebelumnya, tetapi ada sesuatu tentang Raka yang membuat hatinya berdebar. Setiap kali dia melihat Raka, Tania merasakan sesuatu yang asing, sesuatu yang tidak pernah dia temukan di halaman-halaman buku.

Maya, yang tak pernah melewatkan perubahan kecil pada sahabatnya, segera menyadari ada yang berbeda pada Tania. "Kamu suka Raka, ya?" tanya Maya suatu hari.

Tania terkejut dengan pertanyaan itu. "Tidak, tidak. Aku hanya kagum padanya. Lagi pula, aku tahu cinta itu tak sesederhana perasaan sesaat."

Maya mengangguk pelan, tapi dia tahu bahwa kali ini, sahabatnya sedang berusaha menyembunyikan sesuatu yang bahkan dirinya sendiri belum siap untuk mengakui.

Waktu berlalu, dan semakin sering Tania berinteraksi dengan Raka, semakin dia menyadari bahwa apa yang dia rasakan bukan sekadar kekaguman. Dia mulai mengerti bahwa cinta yang sesungguhnya tak bisa dipelajari hanya dari buku. Itu adalah sesuatu yang harus dialami, dengan segala kebahagiaan dan rasa sakitnya.

Pada akhirnya, Tania menyadari bahwa dia harus berhenti hidup dalam bayangan novel dan mulai menghadapi kenyataan. Dia tahu bahwa jika dia ingin memahami cinta yang sejati, dia harus berani mengambil risiko, dan yang paling penting, dia harus jujur pada dirinya sendiri.

Cerita Tania adalah kisah tentang perjalanan dari dunia imajinasi menuju realita, dari teori menuju pengalaman nyata. Dan saat dia melangkah keluar dari bayang-bayang citra yang selama ini dia jaga, dia pun menemukan cinta yang selama ini dia cari. Cinta yang lebih dari sekadar kata-kata indah dalam sebuah novel, tapi cinta yang nyata dan penuh warna.

Di Antara Bekal dan Cinta



Kelas telah sepi, dan hanya suara riuh dari kantin yang mengisi ruang kosong itu. Aku menatap Cahyo yang duduk di sampingku, merasa campur aduk antara senang dan cemas. Pagi ini, aku sengaja meminta Cahyo untuk tetap di kelas, sementara teman-temannya sudah melesat ke kantin. Aku tahu betul betapa dia menginginkan bergabung dengan teman-temannya, tapi aku tak bisa menahan keinginan untuk berbagi momen ini hanya dengan dia.

"Aku minta maaf sudah menahan kamu dari kantin," kataku sambil membuka kotak bekal yang disiapkan mamahku. "Aku cuma ingin makan bareng kamu."

Cahyo menatap bekal itu dengan senyuman lembut di wajahnya. "Kamu tahu, aku sebenarnya sudah merencanakan untuk ke kantin. Tapi kalau ini penting buat kamu, aku akan tetap di sini."

Aku merasa sedikit bersalah, karena dalam hati aku tahu betapa pentingnya waktu bersosialisasi bagi Cahyo. Aku mengangkat sendok dengan penuh perhatian, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa senangnya aku karena dia menemaniku.

Saat kami mulai makan, Cahyo mulai berbicara. "Jadi, ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan? Aku rasa ada yang berbeda dari biasanya."

Aku menatapnya, merasakan jantungku berdebar lebih cepat. "Sebenarnya, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu. Tidak ada yang spesial, cuma aku senang saat bersamamu."

Cahyo tersenyum, dan matanya bersinar dalam cahaya matahari yang menerobos jendela. "Kamu tahu, kadang-kadang hal-hal kecil seperti ini bisa berarti lebih daripada yang kita bayangkan."

Kami terus berbicara, mengobrol tentang berbagai hal sembari menikmati bekal sederhana namun istimewa itu. Suasana yang awalnya terasa canggung perlahan-lahan menjadi lebih akrab. Setiap kali Cahyo tertawa atau tersenyum, rasanya seperti dunia di sekitar kami menghilang.

Ketika makanan hampir habis, Cahyo menatapku dengan serius. "Aku tidak pernah menyangka, bahwa menghabiskan waktu seperti ini bisa terasa begitu berharga."

Aku mengangkat kepala dan bertemu tatapannya. "Aku juga tidak pernah menyangka kalau aku akan merasakan hal seperti ini saat hanya makan bekal. Tapi saat bersamamu, rasanya seperti semuanya jadi lebih berarti."

Ketika bel berbunyi dan kelas mulai kembali dipenuhi siswa, Cahyo berdiri dan meraih tanganku. "Aku senang bisa ada di sini bersamamu. Terima kasih sudah membuatku merasa spesial."

Aku merasa hangat di dalam hati, merasa semua keegoisan yang kupunya terbayar dengan kebahagiaan yang sederhana ini. Kami berdua keluar dari kelas, meninggalkan momen kecil namun berharga yang hanya kami berdua yang tahu betapa istimewanya.

Hadiah yang Tak Terduga

 


Natasha duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi kotak kecil berwarna merah yang baru saja diberikan oleh Indra. Hatinya berdebar-debar, tak percaya dengan apa yang ada di tangannya. Sejak lama Natasha mengimpikan benda ini, tetapi tidak pernah sekali pun dia memberitahu Indra. Bagaimana mungkin Indra tahu? Pertanyaan ini terus berputar di benaknya.

Dengan hati-hati, Natasha membuka kotak itu dan menemukan sebuah gelang perak yang berkilauan. Desainnya sederhana namun elegan, persis seperti yang dia inginkan selama ini. Natasha tersenyum, perasaan hangat mengalir di hatinya. Namun, bersamaan dengan itu, muncul rasa penasaran yang semakin kuat.

Dia meraih ponselnya dan segera mengirim pesan kepada sahabatnya, Rina, orang yang selalu dia andalkan untuk berbagi cerita dan rahasia. Dalam hitungan detik, pesan balasan dari Rina muncul di layarnya.

_"Natasha: Rin, kok Indra bisa tahu aku suka gelang itu? Aku nggak pernah ngomong sama dia, lho."_

_"Rina: Eh, iya ya? Mungkin dia tebak-tebak aja kali. Tapi, kenapa? Senang, kan?"_

_"Natasha: Senang sih, tapi aku jadi penasaran. Kamu ngomong ke dia nggak, Rin?"_

Terdapat jeda yang cukup lama sebelum Rina membalas. Hal ini membuat Natasha semakin curiga. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, pesan Rina akhirnya muncul.

_"Rina: Ya ampun, Nat. Maaf ya, aku memang sempat ngomong sama Indra. Dia tanya-tanya soal kamu, terus aku cerita deh. Aku pikir kamu bakal senang."_

Natasha terdiam, menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Dia merasa senang karena Indra begitu perhatian, tetapi di sisi lain, dia merasa sedikit kesal karena Rina membocorkan rahasianya. Rina, sahabatnya yang paling dia percayai, justru memberitahu Indra tanpa sepengetahuannya.

Keesokan harinya di sekolah, Natasha berusaha bersikap biasa saja ketika bertemu dengan Rina. Namun, Rina bisa melihat kegelisahan di wajah Natasha. Ketika mereka berada di kantin, Rina akhirnya angkat bicara.

"Natasha, aku benar-benar minta maaf soal kemarin. Aku nggak bermaksud membuat kamu kesal atau gimana. Aku cuma ingin bantu supaya Indra tahu apa yang kamu suka," ujar Rina dengan nada penuh penyesalan.

Natasha menghela napas panjang, menatap sahabatnya dengan campuran perasaan. "Aku tahu kamu bermaksud baik, Rin. Tapi aku pengin Indra tahu karena dia benar-benar mengenalku, bukan karena kamu kasih tahu dia."

Rina terdiam, menyadari kesalahannya. "Aku ngerti, Nat. Aku salah. Tapi aku harap kamu tahu, aku cuma pengen kamu bahagia."

Natasha mengangguk, senyumnya perlahan muncul. "Aku tahu, Rin. Dan aku nggak marah, kok. Cuma, aku pengin semuanya berjalan alami aja."

Setelah percakapan itu, Natasha merasa sedikit lega, meski bayang-bayang tentang Indra dan gelang itu masih terus mengusik pikirannya. Perasaannya terhadap Indra mulai berubah—ada sedikit rasa kecewa yang perlahan merayap di hatinya. Dia merasa hubungan mereka tidak seautentik yang dia harapkan.

Beberapa hari kemudian, Indra mengajak Natasha pergi ke sebuah kafe yang baru dibuka di dekat sekolah. Dengan suasana yang nyaman dan musik lembut yang mengalun, kafe itu menjadi tempat yang sempurna untuk menghabiskan waktu bersama. Namun, Natasha masih merasakan ada yang mengganjal.

Indra menatap Natasha dengan mata penuh kasih sayang, memegang tangannya dengan lembut. "Natasha, aku senang banget bisa bikin kamu bahagia. Aku berharap gelang itu bisa jadi simbol dari perasaanku ke kamu."

Natasha tersenyum, meski dalam hatinya masih ada keraguan. "Indra, aku sangat menghargai apa yang kamu lakukan. Tapi aku cuma pengen tahu... kenapa kamu nggak tanya langsung ke aku tentang apa yang aku suka?"

Indra terlihat sedikit bingung dengan pertanyaan Natasha. "Aku pikir aku mau kasih kejutan ke kamu. Jadi aku tanya-tanya ke Rina biar bisa kasih yang terbaik buat kamu."

Natasha menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Indra, aku senang kamu perhatian. Tapi aku juga pengen kita bisa lebih saling kenal, bukan cuma lewat orang lain. Aku pengin kamu tahu apa yang aku suka karena kamu benar-benar mengenalku, bukan karena kamu tanya orang lain."

Indra terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Natasha. Wajahnya perlahan berubah serius. "Maaf, Nat. Aku nggak bermaksud bikin kamu merasa nggak nyaman. Aku cuma pengen bikin kamu senang."

"Aku tahu, Indra," Natasha menjawab dengan lembut. "Dan aku senang. Tapi aku juga pengen kita bisa lebih jujur satu sama lain. Aku pengen hubungan kita tumbuh karena kita benar-benar kenal satu sama lain."

Indra mengangguk, menyadari apa yang dimaksud Natasha. "Kamu benar, Nat. Aku akan coba lebih baik lagi. Aku nggak mau kita punya hubungan yang didasarkan pada hal-hal yang nggak asli."

Percakapan itu membuat keduanya merenung lebih dalam tentang hubungan mereka. Meski ada sedikit pertikaian, mereka sadar bahwa setiap hubungan membutuhkan kejujuran dan pemahaman. Natasha dan Indra memutuskan untuk memulai kembali, kali ini dengan lebih banyak komunikasi dan usaha untuk benar-benar mengenal satu sama lain.

Dan meskipun hadiah itu adalah sesuatu yang diimpikan Natasha, dia menyadari bahwa yang paling berharga adalah hubungan yang dibangun di atas kepercayaan dan kejujuran. Mereka pun sepakat untuk lebih terbuka satu sama lain, membiarkan perasaan mereka tumbuh secara alami, tanpa campur tangan dari orang lain.

Akhirnya, hubungan mereka semakin kuat, bukan karena hadiah yang diberikan, tetapi karena komitmen untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain. Meskipun awalnya sedikit terguncang, Natasha dan Indra menemukan bahwa cinta yang tulus adalah yang paling penting, dan itu hanya bisa dicapai dengan komunikasi yang jujur dan perasaan yang tulus.

Dilema Hati Cathrin

 


Cathrin duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela yang terbuka. Angin malam yang sejuk berhembus pelan, menggerakkan tirai putih di kamarnya. Pikiran Cathrin terus berputar-putar, dipenuhi bayangan dua sosok yang tak pernah bisa hilang dari pikirannya: Tafif dan Cahyo. Dua nama itu telah mengisi hari-harinya dengan perasaan yang bercampur aduk, membuatnya bingung dan sulit tidur setiap malam.

Tafif adalah sosok yang memesona. Ganteng, sporty, dan selalu berhasil menarik perhatian semua orang dengan caranya yang karismatik. Setiap kali Cathrin melihatnya bermain basket di lapangan sekolah, jantungnya berdegup lebih kencang. Tafif memiliki cara untuk membuat segalanya terlihat begitu mudah, termasuk ketika ia dengan santai berbicara dengan Cathrin, membuat gadis itu merasa istimewa hanya dengan satu senyuman.

Namun di sisi lain, ada Cahyo. Berbeda dari Tafif, Cahyo adalah sosok yang lembut, penuh perhatian, dan selalu ada untuk Cathrin. Setiap kali Cathrin merasa sedih atau butuh seseorang untuk berbicara, Cahyo adalah orang pertama yang muncul dalam pikirannya. Cahyo tidak pernah gagal untuk membuat Cathrin merasa nyaman, seolah dunia ini tidak pernah seberat yang dia rasakan. Cahyo adalah tempat Cathrin bersandar, seseorang yang selalu mengerti dirinya.

Cathrin tahu bahwa perasaannya terhadap Tafif dan Cahyo bukan sekadar "cinta monyet." Dia bisa merasakan bagaimana hatinya tertarik kepada kedua pemuda itu dengan cara yang berbeda, namun sama-sama kuat. Tapi, memilih di antara mereka adalah pilihan yang sangat sulit. Setiap kali dia mencoba untuk memutuskan, pikirannya kembali terbelah—antara kegembiraan yang dia rasakan bersama Tafif dan kenyamanan yang dia temukan bersama Cahyo.

Suatu hari, semuanya mencapai puncaknya. Tafif mengajaknya untuk menonton pertandingan basket di akhir pekan. Tawaran yang begitu menggoda, apalagi Cathrin memang selalu menikmati momen-momen di mana dia bisa melihat Tafif di lapangan, menunjukkan kemampuannya yang luar biasa. Di sisi lain, Cahyo mengajak Cathrin untuk menghadiri acara musik di taman kota, sesuatu yang mereka berdua nikmati karena kecintaan mereka pada musik. Cathrin bingung. Bagaimana dia bisa memilih di antara dua acara yang sama-sama dia ingin hadiri? Lebih dari itu, bagaimana dia bisa memilih di antara dua pemuda yang telah mengisi hatinya dengan cara yang begitu berbeda?

Hari itu Cathrin memutuskan untuk merenung lebih dalam. Dia berjalan ke taman dekat rumahnya, tempat yang selalu dia datangi ketika dia membutuhkan waktu untuk berpikir. Duduk di bangku kayu, dia memejamkan matanya dan membiarkan pikirannya mengalir bebas. Dia mencoba membayangkan hidupnya tanpa Tafif, dan kemudian tanpa Cahyo. Kedua bayangan itu sama-sama menyakitkan. Seolah-olah ada sesuatu yang hilang dari hidupnya jika salah satu dari mereka tidak ada.

Saat Cathrin sedang tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ketika dia membuka matanya, dia melihat Tafif berdiri di depannya, dengan senyum lebar yang selalu membuat hatinya berdebar.

"Heh, Cathrin! Sedang apa di sini? Kelihatannya serius sekali," kata Tafif dengan nada menggoda.

Cathrin tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kebingungannya. "Aku hanya berpikir... tentang banyak hal."

"Apa itu termasuk tentang pertandingan akhir pekan ini? Aku harap kamu akan datang, aku butuh semua dukungan yang bisa kudapat," kata Tafif sambil mengedipkan mata.

Cathrin merasa hatinya bergetar, tapi sebelum dia bisa menjawab, dia melihat Cahyo datang dari arah lain, tampaknya baru saja tiba di taman.

"Cathrin, aku mencarimu. Kau tidak lupa kan, kita ada acara di taman kota akhir pekan ini?" Cahyo berbicara dengan lembut, tetapi ada kekhawatiran yang tergambar jelas di wajahnya.

Cathrin merasakan dunia seolah berputar lebih cepat. Kedua pemuda ini, dengan kepribadian mereka yang begitu berbeda, sekarang berdiri di depannya, seolah meminta jawaban yang selama ini dia hindari. Perasaannya berkecamuk, dan untuk pertama kalinya, dia tidak tahu harus berkata apa.

Cahyo menatap Tafif dengan sedikit rasa ingin tahu, seolah-olah dia baru menyadari keberadaan pemuda itu. "Oh, Tafif. Aku tidak tahu kau juga di sini."

Tafif tersenyum tipis, tetapi ada ketegangan yang mulai terlihat di matanya. "Ya, aku sedang berbicara dengan Cathrin tentang akhir pekan ini. Aku berharap dia bisa datang untuk menonton pertandinganku."

Cathrin merasa semakin tertekan di antara keduanya. Dia bisa merasakan bagaimana situasi ini bisa berubah menjadi sesuatu yang tidak diinginkannya. Dalam keheningan yang canggung itu, Cathrin mengambil napas dalam-dalam dan mencoba menemukan suaranya.

"Aku... Aku tidak tahu harus bagaimana," Cathrin berkata dengan suara pelan, hampir tidak terdengar. "Aku sangat menghargai kalian berdua, dan aku ingin ada untuk kalian, tapi..."

Cahyo melangkah lebih dekat, mencoba meredakan ketegangan. "Cathrin, kami tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa apa pun yang kau pilih, aku akan menghormati keputusanmu."

Tafif menambahkan dengan nada yang lebih serius, "Aku juga, Cathrin. Aku tahu ini tidak mudah bagimu, dan aku tidak ingin membuatmu tertekan."

Cathrin terdiam. Dia tahu bahwa apa pun yang dia pilih, ada risiko menyakiti salah satu dari mereka. Dia tidak ingin kehilangan Tafif atau Cahyo. Tapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa terus-menerus berdiri di tengah-tengah, tanpa membuat keputusan.

Dengan berat hati, Cathrin akhirnya berbicara. "Aku... Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku sangat peduli pada kalian berdua, tapi aku tidak bisa membuat keputusan sekarang. Aku harap kalian bisa memahami."

Keduanya menatap Cathrin dengan tatapan yang penuh pengertian, meskipun ada sedikit kekecewaan yang tersirat di wajah mereka.

"Kami akan menunggu, Cathrin," kata Cahyo dengan lembut. Tafif mengangguk setuju. "Ya, ambillah waktu yang kau butuhkan."

Cathrin merasa lega mendengar kata-kata mereka. Meski begitu, dia tahu bahwa waktu tidak akan menghapus perasaan yang dia miliki untuk keduanya. Namun, dia juga sadar bahwa perasaan ini mungkin hanya sebagian dari perjalanan hidupnya sebagai seorang remaja—perasaan yang mungkin akan berubah seiring waktu.

Cathrin menghabiskan beberapa hari berikutnya merenung, mencoba mencari jawaban di dalam hatinya. Dia menimbang perasaannya terhadap Tafif dan Cahyo, mencoba membayangkan masa depan yang mungkin bersama salah satu dari mereka. Tetapi semakin dia berpikir, semakin dia menyadari bahwa tidak ada jawaban yang benar atau salah dalam situasi ini.

Pada akhirnya, Cathrin memutuskan untuk tidak memilih di antara mereka. Dia menyadari bahwa dia masih muda, dan perasaannya mungkin berubah seiring waktu. Tafif dan Cahyo adalah bagian penting dalam hidupnya, tapi dia tidak ingin terburu-buru memutuskan sesuatu yang bisa merusak persahabatan mereka.

Cathrin bertemu dengan Tafif dan Cahyo secara terpisah, dan dengan hati-hati menjelaskan perasaannya. Dia berterima kasih kepada mereka atas perhatian dan cinta yang mereka berikan, tapi dia juga jujur bahwa dia tidak siap untuk memilih. Dia berharap mereka bisa tetap berteman, meskipun situasinya rumit.

Keduanya menerima keputusan Cathrin dengan hati yang besar. Meskipun ada sedikit kekecewaan, mereka menghormati kejujuran Cathrin dan memutuskan untuk tetap mendukungnya sebagai teman. Seiring berjalannya waktu, Cathrin belajar banyak dari pengalaman ini—tentang cinta, persahabatan, dan pentingnya memahami perasaan diri sendiri sebelum membuat keputusan besar.

Dan meskipun cinta monyet mungkin akan berlalu, persahabatan mereka tetap bertahan, mengingatkan Cathrin bahwa terkadang, tidak memilih juga merupakan sebuah pilihan yang bijaksana.

Di Balik Senyum Cathrin



Aku adalah Cathrin, gadis yang katanya cantik dan selalu menarik perhatian. Di sekolah, aku sering menjadi sorotan. Dengan wajah yang dianggap menarik dan gaya yang selalu up-to-date, tak heran jika banyak yang mendekatiku, menganggap hidupku sempurna tanpa masalah. Teman-teman selalu ingin dekat denganku, guru-guru sering menunjukku sebagai model dalam pembelajaran, dan aku selalu menjadi pusat perhatian di setiap kesempatan. Tapi, yang orang lain tidak tahu adalah, di balik senyumku, ada perasaan yang sering kali tidak mereka pahami.

Sejujurnya, aku tidak selalu merasa nyaman dengan perhatian yang aku dapatkan. Setiap kali guru menunjukku untuk menjadi contoh di depan kelas, aku merasa ada jarak yang semakin besar antara diriku dan teman-temanku. Mereka mulai menganggapku berbeda, seolah-olah aku tidak punya masalah seperti mereka. Padahal, aku sama seperti yang lainnya—aku juga merasakan tekanan, ketakutan, dan keraguan.

Satu orang yang paling menonjol dalam menunjukkan ketidaksukaannya padaku adalah Cecil. Dia dulu adalah teman dekatku, tapi seiring berjalannya waktu, sesuatu berubah. Entah kapan tepatnya, tapi aku mulai merasakan bahwa Cecil semakin menjauh. Dia berhenti mengajakku bicara, dan setiap kali aku melihatnya, tatapannya selalu dingin.

Cecil mulai menyebarkan cerita-cerita buruk tentangku, memengaruhi beberapa teman kami untuk ikut membenciku. Katanya, aku sombong dan merasa paling hebat. Katanya, aku suka mencari perhatian dan sengaja menjauhkan diri dari teman-teman. Padahal, semua itu tidak benar. Aku tidak pernah berniat untuk merasa lebih baik dari mereka. Tapi apa yang bisa kulakukan? Orang-orang percaya apa yang ingin mereka percaya.

Hari itu, saat aku sedang berada di kantin, aku melihat Cecil duduk bersama beberapa teman kami—teman yang dulu selalu bersamaku. Mereka tertawa dan berbicara dengan akrab, sementara aku duduk sendirian di sudut ruangan. Aku mencoba tidak peduli, berpura-pura menikmati makananku. Tapi di dalam hati, aku merasa sangat terluka.

Ketika aku hendak keluar dari kantin, aku mendengar salah satu dari mereka berkata dengan suara yang cukup keras untuk didengar seluruh kantin, "Lihat tuh si Cathrin, pasti mau cari perhatian lagi." Tawa mereka menggema, menusuk langsung ke dalam hatiku.

Aku tidak tahan lagi. Aku berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian, lalu berbalik mendekati meja mereka. Semua mata tertuju padaku saat aku berdiri di depan Cecil dan teman-temannya. Mereka terdiam, mungkin tidak menyangka bahwa aku akan menghadapi mereka.

"Cecil," suaraku bergetar, tapi aku berusaha keras untuk tetap tegar, "aku tidak tahu kenapa kamu berubah seperti ini. Tapi apa pun yang kamu pikirkan tentang aku, setidaknya kita pernah menjadi teman. Aku tidak pernah berpikir untuk menjatuhkanmu atau siapa pun. Kalau ada yang membuatmu marah, aku minta maaf. Tapi aku bukan orang seperti yang kamu katakan."

Cecil menatapku dengan tajam. Wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun tanda penyesalan. "Kamu nggak perlu pura-pura baik di sini, Cathrin," katanya dingin. "Kita semua tahu siapa kamu sebenarnya. Kamu cuma peduli sama dirimu sendiri."

Aku terdiam. Kata-kata Cecil terasa begitu menyakitkan, tapi aku tahu tidak ada gunanya berdebat lebih jauh. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku meninggalkan mereka dan keluar dari kantin. Di luar, aku merasa dadaku begitu sesak. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh juga.

Hari-hari berikutnya tidak menjadi lebih baik. Cecil terus menyebarkan cerita-cerita buruk tentangku, dan teman-teman yang dulu dekat mulai menjauh. Aku merasa sendirian di sekolah yang dulu terasa seperti rumah kedua bagiku. Tapi aku tahu, aku tidak bisa terus-menerus menghindar dari masalah ini. Aku harus menghadapi semuanya, meski itu berarti harus berdiri sendiri.

Suatu hari, aku memutuskan untuk menemui Cecil setelah sekolah selesai. Aku tahu dia selalu pulang lewat taman kecil di belakang sekolah, jadi aku menunggunya di sana. Ketika dia muncul, aku berdiri di depannya, mencoba untuk terlihat setenang mungkin.

"Cecil, kita perlu bicara," kataku.

Cecil tampak terkejut melihatku, tapi dia cepat-cepat memasang wajah dinginnya lagi. "Apa lagi sekarang? Kamu mau apa?"

"Aku nggak mau berdebat," kataku. "Aku cuma ingin tahu, kenapa kamu membenciku? Apa aku pernah melakukan sesuatu yang menyakitimu?"

Cecil terdiam, tampaknya tidak siap dengan pertanyaanku. Tapi akhirnya, dia menghela napas panjang dan mulai berbicara.

"Kamu nggak ngerti, Cathrin. Kamu nggak tahu gimana rasanya selalu berada di bayanganmu. Setiap kali kita bersama, semua orang selalu melihatmu. Kamu selalu lebih cantik, lebih populer, lebih segalanya. Aku cuma merasa tidak berarti saat berada di dekatmu."

Aku terkejut mendengar pengakuan Cecil. Selama ini, aku tidak pernah menyadari perasaan itu. Aku selalu berpikir bahwa kami berteman baik, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa Cecil merasa iri atau tersaingi.

"Cecil," kataku lembut, "aku tidak pernah berpikir seperti itu. Aku selalu menganggapmu teman baikku, seseorang yang bisa kuandalkan. Aku juga punya rasa tidak percaya diri, tapi aku nggak pernah berpikir untuk bersaing denganmu."

Cecil terlihat ragu sejenak. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia cepat-cepat mengalihkan pandangannya. "Aku... aku nggak tahu, Cathrin. Aku cuma merasa nggak cukup baik."

"Aku mengerti," kataku, meski sebenarnya aku tidak sepenuhnya mengerti. "Tapi kita bisa memperbaiki semuanya. Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai teman, Cecil. Kita bisa bicara dan menyelesaikan ini bersama."

Cecil terdiam lagi, dan kali ini air matanya benar-benar jatuh. "Aku minta maaf, Cathrin. Aku nggak tahu kenapa aku bisa sebodoh ini."

Aku tersenyum, merasa beban yang selama ini kupikul mulai terangkat. "Aku juga minta maaf kalau aku pernah bikin kamu merasa seperti itu. Kita bisa mulai dari awal lagi, kan?"

Cecil mengangguk pelan, dan aku tahu bahwa meski perjalanan untuk memperbaiki persahabatan kami mungkin akan panjang, ini adalah langkah pertama yang penting.

Kami berdua berjalan pulang bersama, berbicara tentang banyak hal yang selama ini tertahan. Aku merasa lega karena akhirnya bisa menyelesaikan masalah ini, meski dengan cara yang tidak pernah kubayangkan. Yang paling penting, aku belajar bahwa tidak semua orang melihat dunia dengan cara yang sama, dan terkadang, kita harus keluar dari zona nyaman kita untuk memahami perasaan orang lain.

Persahabatan kami mungkin tidak akan pernah sama lagi, tapi aku tahu kami berdua telah tumbuh dari pengalaman ini. Dan aku bersyukur, karena di balik semua konflik dan rasa sakit, kami menemukan jalan untuk menjadi lebih baik.

Kamis, 29 Agustus 2024

Bayang-Bayang di Ujung Jalan



Malam itu, jalanan di desa begitu sepi. Jam menunjukkan pukul 12.30 tengah malam. Di ujung jalan yang gelap, hanya diterangi samar-samar oleh sinar bulan, aku duduk di depan rumah, mencoba menikmati udara malam yang dingin. Suasana yang biasanya menenangkan, malam itu justru terasa ganjil, seolah ada sesuatu yang menghantui dari kegelapan.

Mataku menangkap sosok samar yang perlahan mendekat dari kejauhan. Awalnya, aku mengira itu hanya orang yang sedang mencari kodok di selokan. Pemandangan ini sudah biasa di desaku. Kodok-kodok yang ditangkap biasanya dijual di pasar untuk dibuat sweeke, makanan khas dari Purwodadi. Namun, semakin dekat sosok itu, perasaanku mulai tidak tenang.

Sosok itu adalah seorang perempuan. Rambutnya terurai panjang, wajahnya tertunduk, dan tangannya menyeret sesuatu. Ketika jaraknya hanya beberapa meter dariku, aku dapat melihat dengan jelas apa yang diseretnya. Seekor monyet yang mati. Mataku membelalak, jantungku berdebar tak menentu.

Wajah perempuan itu tampak sedih, dan di bawah sinar bulan yang redup, ekspresi wajahnya terlihat semakin muram. Ketika ia berhenti tepat di depan rumahku, aku merasa seolah waktu berhenti. Perlahan, perempuan itu menatapku, dan saat mata kami bertemu, seketika aku merasakan gelombang ketakutan yang begitu kuat. Wajahnya berubah, dari sedih menjadi penuh kemarahan.

Dadaku terasa sesak. Aku tahu ada sesuatu yang salah. Perasaan bersalah mulai menggerogoti pikiranku. Ingatan sore tadi melintas kembali, ketika aku menembak seekor lutung—monyet hitam yang menjadi target buruan isengku. Aku tak pernah berniat buruk, hanya ingin menguji ketepatan tembakanku, namun kini, di hadapanku, berdiri seorang perempuan dengan monyet mati di tangannya, seolah menuntut sesuatu dariku.

Tanpa berkata apa-apa, perempuan itu mengangkat monyet mati itu, memperlihatkannya padaku. Sorot matanya semakin tajam, menembus ketenanganku yang mulai rapuh. Dalam sekejap, aku merasakan sesuatu yang menakutkan—seperti ada hubungan antara lutung yang kutembak tadi sore dengan monyet mati yang diseret perempuan itu.

"Kenapa...?" tanyaku dalam hati, tapi lidahku kelu. Aku ingin berdiri, masuk ke dalam rumah, dan mengunci pintu rapat-rapat, tapi tubuhku seakan terpaku. Hanya mataku yang masih bisa mengikuti gerakannya.

Perempuan itu tidak mengatakan apa-apa. Hanya tatapan mata yang penuh amarah dan dendam. Kemudian, ia melangkah ke samping, menyeberangi jalan, meninggalkan aku dalam ketakutan yang semakin menjadi-jadi. Namun, sebelum sosoknya hilang dalam kegelapan, aku mendengar suara aneh. Suara ketukan... tidak, lebih tepatnya suara kentongan, seperti yang biasa dipukul saat ada bahaya atau bencana.

*Tok... tok... tok...*

Suara itu terdengar jelas di tengah malam yang sepi. Seketika, aku tersadar bahwa suara itu bukan berasal dari tempat jauh, melainkan dari arah perempuan itu. Ia memukul kentongan, seolah-olah memberi isyarat, mungkin peringatan.

Keringat dingin mulai membasahi dahiku. Aku memaksakan diriku berdiri dan berlari ke dalam rumah. Setibanya di dalam, aku langsung mengunci pintu dan jendela, mencoba menenangkan diri. Namun, suara kentongan itu terus bergema di telingaku.

Di dalam rumah, aku mencoba tidur, namun bayangan perempuan itu dan monyet mati yang diseretnya terus menghantui pikiranku. Malam terasa begitu panjang, dan aku tidak bisa memejamkan mata barang sedetik pun.

Pagi harinya, aku memberanikan diri keluar dan mencoba mencari tahu tentang perempuan itu. Aku bertanya ke beberapa tetangga, namun tidak ada yang melihat atau mendengar apapun semalam. Namun, saat aku berbicara dengan seorang kakek tua yang tinggal di ujung desa, ia menatapku dengan pandangan penuh arti.

"Kau menembak lutung kemarin, ya?" tanya kakek itu tiba-tiba, suaranya berat dan dalam.

Aku terkejut, namun segera mengangguk.

"Lutung itu bukan sembarang monyet. Di desa ini, kami percaya lutung hitam adalah penjaga hutan. Dan perempuan yang kau lihat semalam...," Kakek itu berhenti sejenak, menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Dia bukan manusia biasa. Dia adalah roh penunggu hutan yang datang menuntut balas."

Darahku seolah membeku mendengar kata-kata kakek itu. Ketakutanku malam tadi kembali menyeruak. Aku merasa dunia seakan berputar.

"Jika kau tidak ingin mendapat celaka, kau harus menebus kesalahanmu," lanjut kakek itu dengan suara bergetar. "Pergilah ke hutan tempat kau menembak lutung itu, dan mintalah maaf. Bawa sesajen dan doakan agar roh itu tenang."

Aku tak punya pilihan lain. Dengan rasa takut yang terus menghantui, aku pergi ke hutan, membawa sesajen yang disarankan kakek itu. Di bawah pohon tempat aku menembak lutung, aku berlutut, memohon maaf, dan berharap bahwa perempuan itu tidak lagi datang menggangguku.

Sejak malam itu, aku tak pernah lagi melihat sosok perempuan dengan monyet mati di tangannya. Namun, setiap kali aku mendengar suara kentongan di tengah malam, bulu kudukku selalu berdiri, mengingatkan pada malam mencekam itu. Malam di mana aku disadarkan bahwa ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar permainan senjata, dan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensinya sendiri.

PERMAINAN NATASHA

Natasha menghembuskan napas panjang saat memandangi layar ponselnya yang dipenuhi notifikasi dari Indra. Matanya menyipit, mencoba menahan gejolak amarah yang kembali muncul setiap kali nama itu muncul di layar. Dia ingat betul bagaimana kemarahan Indra meledak hanya karena dia berduet dengan Iwan saat acara karaoke seminggu yang lalu. Padahal, itu hanya acara biasa, tanpa maksud apa-apa. Tapi reaksi Indra begitu berlebihan, seolah-olah dia memiliki hak atas dirinya.

Natasha masih teringat jelas ekspresi wajah Indra ketika dia turun dari panggung kecil di kafe itu. Matanya menyala dengan amarah yang membuat Natasha merasa tidak nyaman. "Apa maksudmu berduet dengan Iwan?" Indra menegurnya dengan nada yang tidak bisa disalahartikan.

"Itu hanya karaoke, Indra. Tidak ada yang perlu kamu ributkan," balas Natasha saat itu, berusaha tetap tenang meski hatinya mendidih.

Namun, Indra tidak berhenti di situ. Dia terus menekan Natasha dengan pertanyaan-pertanyaan dan tuduhan-tuduhan tak berdasar sepanjang malam itu. Natasha merasa seperti terperangkap dalam perdebatan yang tidak ada habisnya. Dia benar-benar marah, bukan hanya karena tuduhan yang tidak berdasar, tetapi juga karena sikap Indra yang seakan-akan dia bisa mengontrol hidupnya.

Sejak malam itu, Natasha memutuskan untuk menjaga jarak dari Indra. Tapi Indra tidak berhenti. Dia terus mencoba menghubungi Natasha, mengirimkan pesan dan meneleponnya, memohon maaf atas perilakunya. Ponsel Natasha tidak pernah sepi dari notifikasi darinya, tapi Natasha memilih untuk mengabaikannya.

Pagi ini, seperti biasa, Natasha terbangun dengan perasaan campur aduk. Dia mengambil ponselnya dari meja samping tempat tidur dan melihat puluhan pesan dari Indra, semuanya penuh dengan permintaan maaf. "Maaf, Nat. Aku gak bermaksud bikin kamu marah. Aku cuma gak suka lihat kamu dekat-dekat dengan Iwan," salah satu pesannya berbunyi.

Natasha mendesah. "Seperti aku perlu izinnya untuk berduet dengan siapa pun," pikirnya sinis. Dia membaca pesan-pesan itu, tapi tidak membalas satu pun. Dia merasa Indra harus belajar bahwa tindakannya sudah kelewatan. Dia tidak bisa mengontrol siapa yang berduet dengannya atau dengan siapa dia berteman. Ini bukan pertama kalinya Indra bersikap seperti ini, dan Natasha mulai lelah dengan sikapnya yang posesif.

Sementara itu, di seberang sana, Indra yang melihat notifikasi "telah dibaca" di ponselnya langsung mencoba menelepon Natasha. Dia benar-benar merasa bersalah atas apa yang terjadi, tapi Natasha tetap tidak mengangkat teleponnya. Indra mencoba lagi dan lagi, tapi tetap tidak ada jawaban.

Di dalam kamar, Natasha yang mendengar dering teleponnya merasa semakin kesal. Dia tahu itu dari Indra, dan dia sengaja tidak mengangkatnya. Dia ingin memberikan pelajaran pada Indra, agar dia tahu bahwa tindakannya tidak bisa diterima begitu saja. Telepon itu terus berdering sampai akhirnya suara ibunya terdengar dari arah dapur, "Natashaaa, hp-nya berbunyi, nak!"

Natasha hanya menatap ponselnya yang terus berdering, lalu dengan tenang menekan tombol "reject" dan segera mengaktifkan mode "silent". Dia tidak ingin terganggu dengan panggilan yang tidak diinginkannya itu. Dia kemudian bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur untuk sarapan, mencoba mengalihkan pikirannya dari masalah ini.

Saat dia duduk di meja makan, ibunya menatapnya dengan curiga. "Siapa yang menelepon, Nat? Kok nggak diangkat?"

Natasha mengangkat bahu. "Nggak penting, Bu. Hanya teman."

Ibunya mengernyitkan dahi, tapi tidak menanyakan lebih lanjut. "Kamu kelihatan tidak semangat. Ada yang mengganggu pikiranmu?"

Natasha menggeleng pelan. "Nggak, Bu. Aku cuma... butuh waktu untuk berpikir."

Ibunya tersenyum hangat. "Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke Ibu. Jangan dipendam sendiri, ya?"

Natasha mengangguk sambil tersenyum kecil. Dia menghargai perhatian ibunya, tapi ini adalah masalah yang harus dia selesaikan sendiri. Setelah sarapan, dia memutuskan untuk keluar rumah sebentar. Udara segar mungkin bisa membantunya menjernihkan pikiran.

Saat dia berjalan tanpa tujuan di sekitar taman dekat rumahnya, pikiran Natasha kembali ke masalah dengan Indra. Kenapa dia harus begitu posesif? Bukankah mereka hanya berteman? Atau mungkin Indra merasa lebih dari sekadar teman? Pikiran itu membuat Natasha semakin bingung. Jika benar Indra memiliki perasaan padanya, kenapa dia harus menyatakannya dengan cara yang begitu kasar?

Natasha duduk di bangku taman, memandangi anak-anak kecil yang bermain ceria di sekitarnya. Dia mencoba membayangkan apa yang akan terjadi jika dia memaafkan Indra dan kembali berteman seperti biasa. Tapi dia tidak bisa menghilangkan rasa tidak nyaman yang kini muncul setiap kali dia memikirkan Indra.

Saat Natasha tenggelam dalam pikirannya, ponselnya bergetar lagi. Indra. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu.

Halo, Nat. Tolong, jangan tutup dulu," suara Indra terdengar di ujung sana, penuh harap.

"Ada apa, Indra?" Natasha menjawab dengan nada datar.

"Aku... Aku ingin minta maaf, Nat. Aku tahu aku salah waktu itu. Aku nggak bermaksud bikin kamu marah. Aku cuma… aku nggak suka lihat kamu dekat sama Iwan."

Natasha menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan diri untuk tidak marah lagi. "Indra, itu hanya karaoke. Hanya acara santai. Kenapa kamu harus bereaksi berlebihan seperti itu?"

"Aku... aku nggak tahu, Nat. Mungkin aku cemburu. Tapi aku tahu aku salah. Aku nggak punya hak untuk ngatur kamu. Aku cuma... Aku cuma nggak mau kehilangan kamu," Indra terdengar putus asa.

Natasha terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Indra. "Jadi ini tentang cemburu?" pikirnya. Apakah selama ini Indra menyimpan perasaan padanya? Tapi apakah itu alasan yang cukup untuk bersikap posesif?

"Indra, kalau memang kamu merasa seperti itu, kamu harus belajar mengendalikannya. Aku nggak bisa terus-menerus menghadapi sikap kamu yang seperti ini," kata Natasha akhirnya. "Aku bukan milik kamu. Aku berhak berteman dengan siapa saja, berduet dengan siapa saja, tanpa harus meminta izin dari kamu."

"Aku tahu, Nat. Aku benar-benar minta maaf. Aku janji, aku akan berubah. Tolong, beri aku kesempatan," pinta Indra dengan suara penuh penyesalan.

Natasha menghela napas. Dia bisa mendengar ketulusan dalam suara Indra, tapi luka yang ditinggalkan oleh sikapnya tidak mudah sembuh. "Indra, aku butuh waktu. Aku nggak bisa langsung percaya lagi sama kamu. Kamu harus buktikan bahwa kamu benar-benar berubah."

Indra terdiam sejenak di seberang telepon. "Aku mengerti, Nat. Aku akan buktiin. Aku akan berubah. Tapi tolong, jangan jauhin aku."

"Aku nggak menjauh, Indra. Aku cuma butuh waktu untuk memastikan semuanya baik-baik saja," jawab Natasha dengan lembut. "Kita bisa tetap berteman, tapi kamu harus mengerti batasannya."

Percakapan itu berakhir dengan janji dari Indra untuk memperbaiki dirinya. Tapi Natasha tahu, ini bukanlah akhir dari masalah mereka. Kepercayaan yang telah rusak tidak bisa pulih dalam sekejap. Dia membutuhkan waktu untuk melihat apakah Indra benar-benar bisa berubah.

Hari-hari berlalu, dan Natasha tetap menjaga jarak dari Indra. Dia tidak lagi menghindarinya, tapi dia juga tidak membiarkan dirinya terlalu dekat. Indra, di sisi lain, benar-benar berusaha menunjukkan perubahan. Dia lebih sopan, lebih menghargai privasi Natasha, dan tidak lagi bersikap posesif.

Namun, Natasha masih merasa ada sesuatu yang hilang. Meski Indra telah berjanji untuk berubah, hubungan mereka tidak pernah kembali seperti dulu. Rasa percaya yang dulu ada di antara mereka telah hilang, digantikan oleh kewaspadaan dan kehati-hatian.

Natasha tidak menyesali keputusannya. Dia tahu bahwa dia melakukan hal yang benar dengan memberikan batasan. Persahabatan mereka mungkin tidak akan pernah kembali seperti dulu, tapi setidaknya dia telah belajar sesuatu yang berharga dari pengalaman ini.

Suatu hari, ketika Natasha sedang duduk di kafe favoritnya, Indra datang menghampirinya. Dia duduk di seberang Natasha, membawa secangkir kopi. "Nat, aku cuma mau bilang terima kasih," kata Indra sambil tersenyum kecil.

Natasha mengernyit bingung. "Terima kasih? Untuk apa?"

"Untuk memberikan aku kesempatan. Aku tahu nggak mudah buat kamu, tapi kamu tetap memberikan aku waktu untuk berubah. (bersambung)

Makan Tuh Janji

  Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan waja...