Di bawah langit jingga senja, Yuan dan Deva berdiri berhadapan di taman kecil dekat sekolah mereka. Angin sore menyapu wajah mereka, membawa suasana canggung yang menggantung di antara mereka.
“Yuan, aku nggak ngerti kenapa kamu jadi kayak gini,” suara Deva terdengar serak. Matanya penuh harap, tetapi ada kepedihan yang tidak bisa disembunyikan.
Yuan mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Deva yang menusuk. “Aku udah bilang, Dev. Kita nggak bisa kayak dulu lagi.”
Deva mengernyit. “Kenapa? Apa aku kurang buat kamu? Aku udah kasih semuanya. Aku selalu ada buat kamu.”
Yuan terdiam. Ia tahu, kata-kata itu benar. Deva memang selalu ada untuknya—menjemputnya setiap pagi, mendengarkan keluh kesahnya, bahkan meninggalkan hobinya demi waktu bersama Yuan. Tapi, hatinya kini terikat pada orang lain.
“Deva, aku… aku nggak bisa bohong sama diri aku sendiri,” ucap Yuan akhirnya, suaranya bergetar.
Semua berubah sejak Yuan bertemu Raka, seorang siswa baru yang memikatnya dengan caranya yang dewasa dan penuh perhatian. Raka tidak seperti Deva yang polos dan cenderung terlalu mengalah. Raka penuh tantangan, memberikan janji-janji besar tentang masa depan, dan membuat Yuan merasa spesial dengan caranya yang berbeda.
Yuan merasa hatinya bergerak ke arah Raka, meski ia tahu Deva tidak pantas diperlakukan seperti ini. Tetapi, pesona Raka terlalu sulit untuk diabaikan.
“Jadi, ini karena dia?” Deva akhirnya mengucapkan pertanyaan yang sudah lama berputar di kepalanya.
Yuan tertegun. “Aku nggak bilang gitu.”
“Tapi itu kenyataannya, kan?” Deva memotong, nadanya lebih tajam. “Aku tahu kamu dekat sama Raka. Aku lihat sendiri kalian jalan bareng. Dia yang bikin kamu berubah!”
Yuan terdiam. Ia tidak tahu harus membenarkan atau menyangkal. Kata-kata Deva seperti duri yang menusuknya, tapi juga mengingatkan bahwa keputusan ini bukan tanpa konsekuensi.
“Aku cuma… aku nggak yakin sama kita lagi, Dev,” Yuan akhirnya berkata, suaranya melemah.
Deva menatap Yuan lama, mencoba membaca hatinya. “Aku nggak pernah nyangka kamu bakal kayak gini, Yuan. Aku pikir kita bisa melewati semuanya.”
Yuan menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. “Maaf, Dev. Aku nggak bisa.”
Malam itu, Yuan duduk sendiri di kamarnya, merenungkan apa yang terjadi. Bayangan tatapan kecewa Deva tidak mau pergi dari pikirannya. Ia tahu Deva tulus mencintainya, tapi hatinya sudah memilih Raka.
Namun, Yuan juga mulai bertanya-tanya, apakah janji-janji Raka benar adanya? Apakah ia benar-benar orang yang tepat untuk menggantikan Deva?
Keesokan harinya, Yuan pergi menemui Raka. Mereka bertemu di sudut taman sekolah, tempat Raka sering mengajaknya berbicara. Tetapi, sesuatu di wajah Raka membuat Yuan ragu.
“Raka,” Yuan mulai, “kamu beneran serius sama aku, kan?”
Raka tersenyum tipis. “Tentu saja, Yuan. Kenapa kamu nanya kayak gitu?”
“Tapi kenapa aku merasa kamu nggak seutuhnya ada buat aku?” Yuan menatap Raka dengan penuh harap.
Raka terdiam sesaat, lalu berkata, “Kita jalanin aja, Yuan. Nggak usah terlalu mikir jauh.”
Kata-kata itu membuat hati Yuan mencelos. Ia teringat bagaimana Deva selalu memberinya kepastian, selalu ada untuknya, dan tidak pernah ragu menunjukkan cintanya.
Hari-hari berikutnya, Yuan mulai merasa hampa. Raka memang menarik, tetapi kehangatannya tidak sama seperti Deva. Perlahan, Yuan menyadari bahwa ia telah meninggalkan sesuatu yang sejati demi sesuatu yang hanya terlihat indah di permukaan.
Ketika Yuan mencoba kembali mendekati Deva, semuanya sudah terlambat. Deva, meski masih mencintainya, sudah mulai belajar melepaskan. Ia menyadari bahwa cinta yang dipaksakan hanya akan melukai mereka berdua.
Di bawah langit yang sama, Yuan kembali menatap senja dengan hati yang penuh penyesalan. Kadang, kita baru menyadari apa yang benar-benar berharga setelah semuanya pergi.