Selasa, 31 Desember 2024

Persahabatan yang Berujung Cinta

 

Zaza dan Erwin telah bersahabat sejak kelas 7. Hubungan mereka begitu erat, hingga banyak yang mengira mereka berpacaran. Namun, keduanya selalu tertawa mendengar anggapan itu, menganggapnya tidak lebih dari candaan.

Suatu hari, di bawah rindangnya pohon mangga di halaman sekolah, Zaza dan Erwin duduk bersama untuk mengerjakan tugas membuat skenario drama.
“Kita ambil tema apa, Za?” tanya Erwin, menggoyangkan kakinya sambil memandang ke arah lapangan.
Zaza tersenyum tipis. “Gimana kalau tentang persahabatan yang berubah jadi cinta?”
Erwin terdiam sejenak, menatap Zaza dengan ekspresi bingung. “Kok, kayaknya itu familiar banget, ya?” candanya sambil tertawa kecil.

Mereka mulai menulis cerita. Dalam skenario itu, tokoh utama adalah dua sahabat, Raka dan Laila, yang selalu bersama. Awalnya, mereka saling berbagi suka duka sebagai teman, hingga suatu saat Laila mulai merasa cemburu ketika Raka terlalu dekat dengan gadis lain. Raka juga, tanpa disadari, mulai menunjukkan perhatian lebih pada Laila.

Saat menulis bagian di mana Raka akhirnya menyadari perasaannya dan menyatakan cinta, Zaza tiba-tiba terdiam.
“Kenapa berhenti? Bagian ini justru paling seru,” ujar Erwin, penasaran.
Zaza menatap Erwin sejenak, lalu berkata, “Kamu pernah ngerasain nggak, Win? Punya sahabat yang... tiba-tiba kamu sadar, mungkin dia lebih dari sekadar teman?”
Pertanyaan itu membuat Erwin tertegun. “Za, maksudmu apa?”
“Lupakan,” jawab Zaza cepat, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Namun, sejak percakapan itu, suasana di antara mereka berubah. Erwin mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya ia anggap biasa—senyum Zaza, caranya tertawa, hingga bagaimana Zaza selalu ada untuknya.

Suatu hari, ketika Zaza tampak murung karena mendengar kabar Erwin dekat dengan seorang gadis dari kelas lain, Erwin merasa ada yang salah. Dia mendekati Zaza di taman sekolah, tempat favorit mereka.
“Za, kamu marah ya?” tanya Erwin pelan.
Zaza menggeleng, namun matanya berkaca-kaca. “Aku nggak marah, cuma... aku takut kehilangan kamu.”
“Kehilangan? Zaza, aku nggak ke mana-mana. Aku selalu di sini, untuk kamu,” jawab Erwin, menahan napas.

Zaza menunduk, lalu berkata lirih, “Tapi kalau kamu punya seseorang yang lebih penting, mungkin aku nggak lagi jadi yang pertama.”
Erwin terdiam, menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan. Ia meraih tangan Zaza dan berkata dengan serius, “Za, kamu nggak akan pernah terganti. Mungkin aku baru sadar sekarang, tapi kamu lebih dari sekadar sahabat. Kamu adalah seseorang yang aku nggak mau kehilangan, apapun yang terjadi.”

Zaza terkejut, tapi senyum perlahan menghiasi wajahnya. Mereka berdua tahu, hubungan mereka telah berubah. Persahabatan mereka memang berujung cinta, namun itu adalah cinta yang tumbuh dari pengertian, kepercayaan, dan waktu.

Akhirnya, skenario drama mereka selesai, namun kisah nyata mereka baru saja dimulai.

Kamis, 26 Desember 2024

Zifa, Si Pencari Perhatian

 


Di sebuah sekolah menengah pertama yang tak terlalu besar, nama Zifa sering terdengar di antara para siswa. Bukan karena prestasi akademik atau bakat luar biasa, melainkan karena kelakuannya yang selalu mencuri perhatian. Zifa suka menjadi pusat perhatian—berbicara keras, berlagak dramatis, bahkan kadang membuat lelucon yang menurutnya lucu, meskipun sering kali tidak dihargai orang lain.

“Dasar lebay,” gumam Dina, salah satu teman sekelasnya, setiap kali Zifa beraksi di depan kelas.

Namun, Zifa tak peduli. Baginya, hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan menjadi biasa-biasa saja.

Hari itu, di tengah jam istirahat, Zifa berdiri di bangku kantin, memerankan adegan dari drama favoritnya. Ia memegang sendok plastik seolah itu adalah pedang, sambil mengucapkan dialog dengan penuh emosi.

“Beraninya kau menghianati aku, pangeran kegelapan!” teriak Zifa, membuat semua orang di kantin menoleh.

Sebagian tertawa mengejek, sebagian lagi memutar mata, merasa malu berada di tempat yang sama dengannya. Tapi Zifa? Ia hanya tertawa lebar, menikmati momen itu seolah ia berada di panggung besar.

Di sudut kantin, seorang anak laki-laki bernama Reza memperhatikan Zifa diam-diam. Berbeda dengan siswa lain yang merasa risih dengan tingkah Zifa, Reza justru menemukan sesuatu yang menarik darinya. Zifa terlihat berbeda—berani, percaya diri, dan tidak takut menjadi dirinya sendiri.

Suatu sore, ketika sekolah sudah hampir sepi, Reza melihat Zifa duduk sendirian di taman sekolah. Tidak ada senyum lebar atau suara nyaring seperti biasanya. Ia hanya menunduk, menggambar sesuatu di buku sketsa kecilnya.

Rasa penasaran membawa Reza mendekat. “Hei, lagi ngapain?” tanyanya.

Zifa mendongak, terlihat sedikit terkejut. “Nggak ngapa-ngapain. Cuma gambar.”

Reza duduk di sampingnya. “Aku nggak tahu kamu suka menggambar.”

Zifa tersenyum kecil. “Ada banyak hal yang orang nggak tahu tentang aku, Rez. Mereka cuma lihat aku yang suka heboh. Padahal, aku nggak selalu seperti itu.”

Reza mengangguk pelan. Ia melihat gambar di buku Zifa—sebuah pemandangan kota dengan gedung-gedung tinggi dan lampu-lampu yang berkilauan. Gambar itu penuh detail dan terlihat sangat hidup.

“Keren banget,” puji Reza tulus.

Zifa tersenyum lebar. “Makasih. Tapi nggak banyak yang peduli soal ini. Mereka lebih suka ngomongin aku yang lebay.”

Sejak hari itu, Reza sering melihat sisi lain dari Zifa yang tidak diketahui banyak orang. Di balik sikapnya yang suka cari perhatian, Zifa sebenarnya adalah seseorang yang punya banyak impian dan keinginan untuk diterima apa adanya.

Di satu sisi, Reza semakin kagum pada Zifa. Ia sadar, meskipun banyak yang tidak menyukai gadis itu, Zifa tetap berani menjadi dirinya sendiri.

Suatu hari, di depan kelas, Reza memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak terduga. Saat beberapa teman mengejek Zifa karena aksinya yang berlebihan, Reza berdiri dan berkata lantang, “Kalian semua cuma iri karena kalian nggak punya keberanian kayak Zifa. Dia berani jadi dirinya sendiri, dan itu keren.”

Semua orang terdiam. Zifa menatap Reza dengan mata membelalak, tidak percaya bahwa seseorang membelanya.

“Terima kasih, Rez,” bisik Zifa setelah semua kembali tenang.

Reza tersenyum. “Kamu nggak perlu terima kasih. Kamu layak untuk dihargai.”

Sejak saat itu, Zifa mulai berubah, bukan karena ejekan atau kritik dari orang lain, tapi karena ia merasa ada yang benar-benar memahami dirinya. Ia masih suka mencari perhatian, tetapi dengan cara yang lebih positif. Ia mulai menunjukkan bakat menggambarnya di depan teman-teman, bahkan ikut serta dalam lomba seni di sekolah.

Dan Reza? Ia tetap menjadi teman yang selalu ada untuk Zifa, membuktikan bahwa di tengah banyaknya orang yang tidak suka, akan selalu ada seseorang yang melihat keindahan di balik kekurangan.

Kadang, menjadi diri sendiri memang tidak mudah. Tapi seperti Zifa, keberanian untuk tetap menjadi apa adanya adalah hal yang membuat seseorang benar-benar istimewa.

Cinta di Persimpangan Janji



Di bawah langit jingga senja, Yuan dan Deva berdiri berhadapan di taman kecil dekat sekolah mereka. Angin sore menyapu wajah mereka, membawa suasana canggung yang menggantung di antara mereka.

“Yuan, aku nggak ngerti kenapa kamu jadi kayak gini,” suara Deva terdengar serak. Matanya penuh harap, tetapi ada kepedihan yang tidak bisa disembunyikan.

Yuan mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Deva yang menusuk. “Aku udah bilang, Dev. Kita nggak bisa kayak dulu lagi.”

Deva mengernyit. “Kenapa? Apa aku kurang buat kamu? Aku udah kasih semuanya. Aku selalu ada buat kamu.”

Yuan terdiam. Ia tahu, kata-kata itu benar. Deva memang selalu ada untuknya—menjemputnya setiap pagi, mendengarkan keluh kesahnya, bahkan meninggalkan hobinya demi waktu bersama Yuan. Tapi, hatinya kini terikat pada orang lain.

“Deva, aku… aku nggak bisa bohong sama diri aku sendiri,” ucap Yuan akhirnya, suaranya bergetar.

Semua berubah sejak Yuan bertemu Raka, seorang siswa baru yang memikatnya dengan caranya yang dewasa dan penuh perhatian. Raka tidak seperti Deva yang polos dan cenderung terlalu mengalah. Raka penuh tantangan, memberikan janji-janji besar tentang masa depan, dan membuat Yuan merasa spesial dengan caranya yang berbeda.

Yuan merasa hatinya bergerak ke arah Raka, meski ia tahu Deva tidak pantas diperlakukan seperti ini. Tetapi, pesona Raka terlalu sulit untuk diabaikan.

“Jadi, ini karena dia?” Deva akhirnya mengucapkan pertanyaan yang sudah lama berputar di kepalanya.

Yuan tertegun. “Aku nggak bilang gitu.”

“Tapi itu kenyataannya, kan?” Deva memotong, nadanya lebih tajam. “Aku tahu kamu dekat sama Raka. Aku lihat sendiri kalian jalan bareng. Dia yang bikin kamu berubah!”

Yuan terdiam. Ia tidak tahu harus membenarkan atau menyangkal. Kata-kata Deva seperti duri yang menusuknya, tapi juga mengingatkan bahwa keputusan ini bukan tanpa konsekuensi.

“Aku cuma… aku nggak yakin sama kita lagi, Dev,” Yuan akhirnya berkata, suaranya melemah.

Deva menatap Yuan lama, mencoba membaca hatinya. “Aku nggak pernah nyangka kamu bakal kayak gini, Yuan. Aku pikir kita bisa melewati semuanya.”

Yuan menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. “Maaf, Dev. Aku nggak bisa.”

Malam itu, Yuan duduk sendiri di kamarnya, merenungkan apa yang terjadi. Bayangan tatapan kecewa Deva tidak mau pergi dari pikirannya. Ia tahu Deva tulus mencintainya, tapi hatinya sudah memilih Raka.

Namun, Yuan juga mulai bertanya-tanya, apakah janji-janji Raka benar adanya? Apakah ia benar-benar orang yang tepat untuk menggantikan Deva?

Keesokan harinya, Yuan pergi menemui Raka. Mereka bertemu di sudut taman sekolah, tempat Raka sering mengajaknya berbicara. Tetapi, sesuatu di wajah Raka membuat Yuan ragu.

“Raka,” Yuan mulai, “kamu beneran serius sama aku, kan?”

Raka tersenyum tipis. “Tentu saja, Yuan. Kenapa kamu nanya kayak gitu?”

“Tapi kenapa aku merasa kamu nggak seutuhnya ada buat aku?” Yuan menatap Raka dengan penuh harap.

Raka terdiam sesaat, lalu berkata, “Kita jalanin aja, Yuan. Nggak usah terlalu mikir jauh.”

Kata-kata itu membuat hati Yuan mencelos. Ia teringat bagaimana Deva selalu memberinya kepastian, selalu ada untuknya, dan tidak pernah ragu menunjukkan cintanya.

Hari-hari berikutnya, Yuan mulai merasa hampa. Raka memang menarik, tetapi kehangatannya tidak sama seperti Deva. Perlahan, Yuan menyadari bahwa ia telah meninggalkan sesuatu yang sejati demi sesuatu yang hanya terlihat indah di permukaan.

Ketika Yuan mencoba kembali mendekati Deva, semuanya sudah terlambat. Deva, meski masih mencintainya, sudah mulai belajar melepaskan. Ia menyadari bahwa cinta yang dipaksakan hanya akan melukai mereka berdua.

Di bawah langit yang sama, Yuan kembali menatap senja dengan hati yang penuh penyesalan. Kadang, kita baru menyadari apa yang benar-benar berharga setelah semuanya pergi.

Bulan, Bintang, dan Aku yang Lupa



Diana duduk di jendela kamarnya, memandangi langit malam yang cerah. Bulan bersinar lembut, dikelilingi oleh bintang-bintang kecil yang berkelip-kelip. Angin dingin menyelinap masuk, tetapi Diana tidak bergeming. Di tangannya, sebuah buku harian terbuka dengan halaman kosong yang menanti untuk ditulisi.

"Setahun berlalu," gumamnya pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. "Apa yang sudah aku lakukan?"

Diana adalah seorang remaja biasa. Seperti banyak orang seusianya, ia sibuk dengan sekolah, teman-teman, dan media sosial. Namun, ada satu hal yang ia sadari telah lama ia lupakan—Tuhannya.

Setahun ini, Diana seperti berjalan tanpa kompas. Ia jarang berdoa, bahkan lupa bersyukur atas hal-hal kecil yang ia terima setiap hari. Hidupnya terasa datar, meskipun ia punya segalanya. Keluarga yang menyayanginya, teman-teman yang selalu ada, dan prestasi di sekolah. Namun, ketika masalah datang, ia merasa dunia seakan runtuh.

Ada satu momen yang tidak akan ia lupakan. Suatu hari, ia bertengkar hebat dengan sahabatnya, Maya. Diana merasa dikhianati hanya karena Maya tidak setuju dengan pendapatnya. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan persahabatan itu. Setelah itu, hari-harinya menjadi lebih sepi.

Saat kesepian melanda, Diana sering menenggelamkan diri dalam musik atau menonton video lucu untuk menghibur diri. Tapi, malam ini berbeda. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang lebih besar dari sekadar persahabatan atau hiburan.

“Kenapa aku jadi seperti ini?” tanya Diana sambil memandangi bulan. Ia merasa bulan dan bintang seperti mendengarkannya.

Dalam diam, Diana teringat momen-momen kecil ketika ia merasa Tuhan begitu dekat. Saat ia kecil, ia selalu berdoa sebelum tidur, memohon agar esok hari berjalan lancar. Saat ia takut menghadapi ujian, ia selalu memohon keberanian. Tapi kini, semua itu terasa jauh.

"Tuhan mungkin marah," pikirnya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu Tuhan tidak pernah meninggalkannya. Hanya ia yang menjauh, sibuk dengan dunianya sendiri.

Bulan dan bintang seperti berbisik padanya, mengingatkan bahwa masih ada waktu untuk kembali. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri.

Diana menutup buku hariannya. Ia menulis satu kalimat:
“Tuhan, aku ingin lebih dekat dengan-Mu lagi.”

Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Ia harus memulai dengan langkah kecil: mengingat untuk bersyukur setiap hari, berdoa sebelum tidur, dan memohon ampunan atas semua kelalaiannya.

Langit malam tetap sama, tetapi bagi Diana, ada yang berubah. Ia merasa lebih ringan, seolah-olah bulan dan bintang telah memberinya jawaban.

“Tuhan masih sayang aku,” bisiknya sambil tersenyum.

Tahun baru mungkin tidak akan sempurna, tetapi Diana bertekad untuk menjadikannya lebih baik. Langkah kecilnya malam ini adalah awal dari perjalanan panjang untuk menemukan kembali makna hidup bersama Tuhan.

Sabtu, 21 Desember 2024

Bayang-Bayang Hanif



Malam itu, hujan turun deras. Di kamar sempitnya, Cipa duduk memeluk lutut, memandang kosong ke jendela yang berembun. Di luar sana, gemuruh petir sesekali menyentakkan lamunannya, tapi tidak mampu mengusir bayang-bayang Hanif dari pikirannya.

Pertemuan singkat mereka di sebuah seminar literasi dua minggu lalu telah menorehkan kesan mendalam di hati Cipa. Tatapan tajam Hanif, senyum tipisnya, dan cara dia berbicara dengan penuh percaya diri seolah melekat di benak Cipa. Ia bahkan masih ingat dengan jelas parfum Hanif yang beraroma segar seperti hujan pagi hari.

Namun, hidup Cipa berubah sejak saat itu. Fokusnya terpecah, pekerjaannya di kantor mulai berantakan, bahkan hobinya menulis cerpen pun terbengkalai. Setiap kali dia mencoba memulai cerita baru, sosok Hanif selalu terselip di antara kata-kata, seakan memaksanya untuk mengingat.

Sementara itu, Hanif menjalani harinya seperti biasa. Bagi Hanif, pertemuan dengan Cipa hanyalah salah satu dari sekian banyak momen yang ia alami setiap hari. Dia memang menikmati percakapan mereka saat itu, tapi tidak lebih dari itu. Bagi Hanif, semuanya biasa saja.

Suatu hari, Cipa memutuskan untuk mengakhiri kebingungannya. Dia memberanikan diri menghubungi Hanif melalui media sosial, dengan alasan ingin bertanya sesuatu tentang seminar. Hanif membalas pesannya dengan ramah, bahkan mengusulkan untuk bertemu di sebuah kafe kecil dekat kantor mereka.

Saat pertemuan itu tiba, hati Cipa berdebar tak karuan. Ia mengenakan pakaian terbaiknya dan mencoba terlihat percaya diri. Hanif datang tepat waktu, membawa sebuah buku yang ingin ia rekomendasikan untuk Cipa.

Percakapan mereka berjalan santai, tapi Cipa tidak bisa menahan diri. Dengan gugup, ia berkata, “Hanif, aku tahu ini mungkin aneh, tapi aku merasa sejak pertemuan kita waktu itu, aku... aku terus memikirkanmu.”

Hanif terdiam. Ada keheningan canggung di antara mereka. Tapi kemudian, Hanif tersenyum kecil dan menjawab, “Cipa, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku senang kita bisa bertemu lagi, tapi aku rasa aku harus jujur.”

Hati Cipa mencelos. Ia sudah menduga jawaban itu, tapi mendengarnya langsung terasa jauh lebih menyakitkan.

“Aku sudah memiliki seseorang,” kata Hanif pelan, tetapi tegas. “Aku tidak ingin memberikan harapan yang salah. Kamu orang yang luar biasa, dan aku sangat menghargai keberanianmu untuk jujur. Tapi aku rasa hubungan kita hanya sebatas teman.”

Cipa tersenyum getir. Ia berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Setelah pertemuan itu, ia pulang dengan langkah lunglai.

Namun, malam itu, sesuatu di dalam dirinya berubah. Ia sadar bahwa cinta tidak selalu harus memiliki. Kadang, cinta adalah tentang merelakan dan membiarkan diri tumbuh dari pengalaman itu.

Cipa kembali menulis cerpen malam itu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa bebas. Ia menulis tentang perasaan yang pernah mengikatnya, tentang bayang-bayang Hanif yang perlahan memudar. Dan di akhir ceritanya, ia menemukan dirinya yang baru—lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih siap menghadapi dunia.

Hanif mungkin hanya menjadi sebuah kisah singkat dalam hidupnya, tapi bagi Cipa, kisah itu telah mengajarinya tentang makna mencintai tanpa harus memiliki.

Sabtu, 07 Desember 2024

Makan Tuh Janji

 


Langit sore menyala jingga, meneteskan cahaya terakhir sebelum malam datang. Talita berdiri di teras rumah, melipat tangannya dengan wajah yang sudah lebih dari muram. Rian, pacarnya, baru saja pulang dengan bau rokok yang melekat di tubuhnya.

“Lagi?” tanya Talita dengan nada rendah namun tajam.

Rian menghela napas, mencoba mencari pembenaran. “Aku cuma satu batang tadi. Stres hari ini, Tal. Kamu ngerti kan?”

Talita menatapnya dingin. “Satu batang? Besok dua, lusa tiga. Janji-janji kamu semuanya cuma ucapan kosong. Berapa kali aku bilang, aku gak suka kamu ngerokok.”

“Tal, aku berusaha—”

“Berusaha? Makan tuh janji!” potong Talita. Suaranya meledak seperti petasan, memecah ketenangan sore.

Rian terdiam. Mata Talita mulai berkaca-kaca, tapi kemarahannya menutup kemungkinan air mata itu jatuh.

“Aku marah bukan karena aku benci sama kamu, Rian. Aku marah karena aku peduli. Rokok itu pelan-pelan bunuh kamu, dan aku gak mau jadi saksi kamu menghancurkan diri sendiri,” lanjutnya, suara bergetar.

Rian merasa bersalah, tapi egonya menahannya untuk mengakuinya. “Kamu selalu bikin ini jadi masalah besar, Tal. Semua orang juga ngerokok, tapi hidup mereka baik-baik aja.”

Talita menggelengkan kepala, kecewa. “Masalahnya bukan orang lain, Rian. Masalahnya kamu. Dan aku gak mau terus-terusan begini.”

Dia masuk ke rumah, membanting pintu. Suasana berubah sunyi, hanya suara angin yang terdengar.

Malam itu

Talita duduk di tempat tidur dengan mata sembap. Dia tahu Rian mungkin tidak akan berubah. Dia kasihan melihat Rian terus membiarkan kebiasaan buruk itu merusak dirinya, tapi rasa kasihan itu tidak cukup untuk menutupi kekecewaannya.

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Dengan malas, Talita bangkit dan membukanya.

Rian berdiri di sana, memegang sekotak kecil. “Aku tahu aku banyak salah. Aku tahu aku sudah mengecewakan kamu, Tal.”

“Apa ini?” Talita bertanya dingin.

“Lihat aja sendiri,” katanya sambil menyerahkan kotak itu.

Talita membuka kotaknya dan menemukan sebatang rokok—yang dipatahkan menjadi dua. Ada catatan kecil di dalamnya: ‘Ini yang terakhir. Aku janji.’

“Rian…” Talita menatapnya, bingung.

“Aku tahu aku gak bisa cuma ngomong, jadi aku mulai dari sini. Aku tahu kamu marah karena kamu peduli, dan aku gak mau kehilangan itu,” katanya dengan serius.

Talita memeluk Rian tanpa berkata apa-apa. Di dalam pelukan itu, ia hanya bisa berharap kali ini Rian benar-benar menepati janjinya.

Namun, di dalam hatinya, Talita tahu ini bukan akhir dari perjuangan mereka. Ini baru permulaan.

Haiiii Opa

Di sebuah sekolah menengah pertama yang penuh semangat, ada seorang gadis berusia 14 tahun bernama Oche. Cerdas, tekun, dan penuh ambisi. ...