Senin, 24 Februari 2025

Haiiii Opa



Di sebuah sekolah menengah pertama yang penuh semangat, ada seorang gadis berusia 14 tahun bernama Oche. Cerdas, tekun, dan penuh ambisi. Dia memimpikan suatu hari bisa kuliah di Universitas Gadjah Mada. Keinginan itu bukanlah sekadar impian kosong—Oche adalah tipe orang yang gigih. Bahkan, meskipun sering kali mood-nya naik turun, ia tidak pernah menyerah begitu saja. Dalam setiap langkah, ada keyakinan bahwa masa depannya bisa lebih baik.

Suatu hari, sekolahnya mengumumkan adanya rekrutmen tim podcast. Setiap kelompok diminta untuk membuat konten menarik yang bisa mengedukasi sekaligus menghibur. Oche pun membentuk kelompok dengan teman-temannya, Sekar dan Taufik, dua sahabat yang sudah sangat ia kenal dan akrab. Mereka bertiga sering menghabiskan waktu bersama, baik belajar kelompok maupun sekadar bercanda.

Oche tahu betul bahwa jika mereka ingin sukses, mereka harus memilih topik yang relevan dan menarik untuk didiskusikan. Setelah beberapa diskusi, mereka sepakat untuk mengangkat tema yang menurut mereka sangat penting—Krisis Bahasa pada Anak Remaja Sekarang.

"Bahasa kita sekarang kayaknya makin kacau, ya," ujar Taufik, menggenggam mic dengan penuh semangat. "Gara-gara social media, banyak kata-kata aneh yang muncul. Padahal itu kayaknya nggak sesuai banget dengan bahasa yang baik dan benar."

Sekar setuju, namun ia menambahkan, "Iya, dan banyak dari kita yang nggak sadar kalau ternyata kata-kata itu mulai masuk ke percakapan sehari-hari, loh. Gimana jadinya kalau itu terus berlanjut?"

Oche tersenyum mendengar percakapan teman-temannya. "Kita wawancara salah satu guru aja, yuk! Yang bisa nyambung sama kita, deh, yang bisa ngomongin ini dengan gaya yang anak muda banget."

Setelah memilih guru yang menurut mereka cocok, yaitu Pak Adi, seorang guru muda yang selalu bisa mengimbangi gaya anak-anak SMP, mereka pun menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Hari wawancara pun tiba, dan suasana di ruang podcast sekolah semakin tegang. Semua anggota kelompok Oche sudah siap.

Saat Pak Adi masuk, Oche spontan menyapa dengan gaya santainya. "Halo, Opa! Apa kabar?"

Teman-temannya terdiam sejenak, lalu langsung tertawa terbahak-bahak. Taufik hampir saja jatuh dari kursinya, sementara Sekar menutup mulutnya mencoba menahan tawa. Pak Adi, yang sebenarnya masih muda, hanya tersenyum dan mengangkat alis.

"Opa?" tanya Pak Adi, tersenyum jenaka.

Oche terlihat kaget, tapi dengan cepat ia menjelaskan, "Eh, maaf, Pak Adi. Gaya ngomong anak-anak sekarang kan suka begitu, lebih santai aja. Jadi kadang-kadang suka memanggil orang lebih akrab gitu, nggak harus pake sebutan formal. Haha, kebawa suasana."

Mereka semua tertawa, dan suasana wawancara menjadi sangat cair. Tanpa disadari, percakapan mengalir begitu lancar. Pak Adi pun berbicara tentang bahasa yang berkembang di kalangan remaja, pentingnya menjaga komunikasi yang baik, dan bagaimana kita harus lebih bijak dalam menggunakan bahasa, apalagi di dunia digital yang serba cepat dan terhubung.

"Anak-anak sekarang, ya, banyak yang berkomunikasi dengan gaya yang lebih ekspresif dan spontan, seperti yang Oche tadi lakukan," kata Pak Adi. "Tapi itu nggak berarti kita boleh sembarangan dalam menggunakan kata-kata. Ada banyak pengaruh negatif dari kata-kata yang tidak tepat, apalagi yang berbahaya atau merendahkan orang lain."

Oche mendengarkan dengan serius, meskipun di dalam hati ia tetap merasa sedikit geli mengenang insiden "Opa" tadi. Ternyata, wawancara itu tidak hanya menghibur, tapi juga memberikan banyak wawasan. Mereka berbicara tentang bagaimana bahasa bisa mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain, dan bagaimana pentingnya menggunakan bahasa yang bijaksana.

Setelah sesi wawancara selesai, mereka memutuskan untuk mengedit podcast mereka dengan ceria. Hasilnya luar biasa! Podcast itu mendapat sambutan positif dari teman-teman sekelas dan juga para guru. Mereka mendapatkan banyak feedback yang membangun. Banyak yang mengatakan, meskipun pembahasannya serius, cara mereka menyampaikan dengan gaya santai dan menghibur membuat orang lebih mudah memahami isu yang diangkat.

Oche merasa puas dengan hasil kerja keras mereka, namun ia tetap merenung sejenak. Betapa pentingnya untuk bisa mengimbangi kreativitas dengan tanggung jawab, terutama dalam hal berbahasa. Ia mulai berpikir, mungkin saja, sebuah perubahan kecil dalam cara kita berkomunikasi bisa membawa dampak besar di masa depan.

Dan walaupun dia sering badmood, Oche tahu bahwa dengan semangat, kerja keras, dan sedikit humor, ia bisa mencapai segala sesuatu yang ia impikan, termasuk kuliah di Universitas Gadjah Mada.

Di ujung hari, sambil melangkah pulang, Oche tersenyum lebar. Ternyata, dunia itu luas dan penuh kesempatan, hanya perlu beSekar untuk memulai dan berusaha sebaik mungkin.

"Selamat tinggal, Opa!" kata Oche, tertawa kecil, saat mengingat bagaimana ia memanggil Pak Adi tadi. Terkadang, hal-hal spontan yang terjadi dalam hidup justru bisa membawa kebahagiaan dan pelajaran yang luar biasa.

 


Selasa, 18 Februari 2025

Kebiasaan yang Bikin Ngakak

 


Sinta adalah seorang remaja yang selalu ceria dan penuh semangat. Hari itu, ia dan teman-temannya dari SMP di Kabupaten Demak sedang melakukan outing class ke Yogyakarta. Perjalanan begitu seru, penuh canda tawa, dan tentu saja, sesi foto-foto ala selebgram di setiap sudut kota.

Setelah puas mengunjungi berbagai tempat, tibalah waktu makan siang. Rombongan pun berhenti di sebuah rumah makan bernama "Lestari". Semua siswa langsung mencari tempat duduk dan mulai menyantap hidangan yang sudah tersedia.

Sinta, yang terbiasa membantu ibunya di rumah, dengan lahap menyantap makanannya. Setelah perutnya kenyang, tanpa pikir panjang, tangannya langsung refleks mengambil piringnya dan berjalan ke wastafel. Dengan penuh ketelatenan, ia mulai mencuci piringnya seperti yang biasa ia lakukan di rumah.

Cipratan air dan busa sabun beterbangan ke sana-sini. Saat itulah beberapa teman yang melihatnya langsung terdiam, sebelum akhirnya meledak dalam tawa.

"Woi, Sin! Kita di rumah makan, bukan di rumah sendiri!" teriak salah satu temannya.

"Eh?" Sinta menoleh dengan ekspresi bingung, sementara tangannya masih menggosok piring dengan tekun.

Seisi rumah makan langsung riuh dengan tawa. Para pelanggan lain menoleh ke arahnya dengan ekspresi heran, sementara beberapa teman bahkan mulai merekam kejadian itu. Salah satu guru yang ikut mendampingi pun tak bisa menahan senyum.

"Sinta, kamu baik banget, ya. Tapi di sini piringnya nggak perlu dicuci sendiri, lho. Ada pegawainya yang bertugas," ujar Bu Rina sambil menahan tawa.

Mendengar itu, wajah Sinta seketika memerah. Ia buru-buru membilas piringnya dan kembali ke meja dengan langkah malu-malu.

"Udah, Sin. Besok-besok kalo ke restoran cukup makan aja, nggak usah bonus nyuci piring," goda Rina, sahabatnya.

Sejak kejadian itu, Sinta pun mendapat julukan baru dari teman-temannya: "Sinta si pencuci piring". Meski awalnya malu, ia akhirnya ikut tertawa dan menganggapnya sebagai kenangan lucu yang akan selalu ia ingat sepanjang hidupnya.

Haiiii Opa

Di sebuah sekolah menengah pertama yang penuh semangat, ada seorang gadis berusia 14 tahun bernama Oche. Cerdas, tekun, dan penuh ambisi. ...